Tahun 2002 adalah tahun yang pahit bagi bangsa Indonesia. Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) memutuskan Pulau Sipadan dan Ligitan sah milik Malaysia. Kekalahan itu meninggalkan luka mendalam yang tak bisa kita lupakan.Â
Kini, sejarah seolah mengulang kembali ketegangan di perairan yang sama. Isu Blok Ambalat kembali memanas, memunculkan pertanyaan yang menakutkan: akankah kita kembali kecolongan, atau kali ini kita benar-benar siap?
Masalah Ambalat memang bukan hal baru, tapi kembali menjadi sorotan publik belakangan ini.
Pemicunya adalah pernyataan dari beberapa pejabat Malaysia yang secara terbuka menolak istilah "Blok Ambalat" dan bersikeras menyebut wilayah itu sebagai "Laut Sulawesi".
Protes keras dari Indonesia, baik melalui jalur diplomatik maupun pernyataan publik, membuat isu ini kembali menjadi topik utama.
Kecemasan itu wajar, tetapi banyak ahli meyakini bahwa nasib Ambalat tidak akan serupa. Posisi Indonesia jauh lebih kuat berkat landasan hukum yang kokoh, pengalaman dari masa lalu, dan strategi yang lebih matang.
Ini bukan lagi soal gertakan, tapi soal kesiapan dan harga diri bangsa.
Inti Sengketa: Konflik Hukum, Ekonomi, dan Perebutan Narasi
Sengketa Ambalat jauh lebih kompleks dari sekadar perebutan cadangan minyak dan gas (migas) triliunan rupiah. Ini adalah konflik berlapis yang melibatkan hukum, ekonomi, dan perang narasi.
1. Sengketa Hukum Tumpang Tindih: Masalahnya dimulai dari interpretasi yang berbeda terhadap Konvensi Hukum Laut PBB atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982.
Indonesia, sebagai negara kepulauan, berhak menarik garis pangkal dari titik terluar pulau-pulaunya, menjadikan Ambalat sebagai kelanjutan dari landas kontinen Pulau Kalimantan.