Bayangkan ini: kamu masuk ke sebuah kafe kekinian yang terlihat dari luar sangat menjanjikan. Dinding kaca besar, furnitur kayu estetik, tanaman gantung yang menjuntai manja, dan barista dengan apron denim yang sibuk menyeduh kopi dari alat yang bentuknya seperti mesin uji bahan bakar roket.
Kamu duduk, pesan cappuccino, buka laptop. Tapi lima menit kemudian, kamu sadar: tidak ada musik.
Kosong.
Sunyi.
Hening seperti ruang ujian, tapi tidak ada dosen.
Suasana hampa yang bahkan bisa bikin suara bisikan hati kamu terdengar seperti orasi.
Sambil meneguk kopi, kamu mulai merenung. Tapi bukan karena kopinya enak, melainkan karena kamu bingung:
"Ini aku di kafe, atau di rumah duka tanpa lilin?"
Kafe tanpa Musik, Mirip Lab Psikotes
Kafe yang tidak memutar musik itu seperti sayur tanpa garam, gebetan tanpa respon, atau negara tanpa sinyal. Ada, tapi bikin frustrasi.
Musik di kafe bukan sekadar hiburan. Ia adalah perekat sosial, peredam awkwardness, penjaga suasana, dan penanda bahwa tempat itu dihuni oleh makhluk bernyawa.
Kalau tidak ada musik, yang terdengar cuma sendok nabrak gelas dan suara orang ngunyah croissant seperti zombie menyantap korban.
Dan yang lebih mengerikan adalah ketika kamu mendengar pasangan di sebelah kamu berdebat tentang isi chat mantan karena tidak ada suara latar untuk menenggelamkan drama domestik mereka. Sumpah, pengalaman itu lebih menegangkan dari plot drama Korea.
Musik, Sumber Inspirasi dan Pengusir Kesepian
Bayangkan kamu lagi nulis puisi di kafe. Tanpa musik, inspirasi tidak datang. Yang datang malah suara kipas angin tua yang bunyinya seperti dinosaurus sesak napas.
Musik membantu otak kita merasa hidup. Tanpa musik, kamu jadi overthinking. Kamu tidak hanya mikirin mantan, kamu mulai mikir:
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!