Di ujung barat daya Pulau Sumatera, di garis khatulistiwa yang diberkahi, Samudra Hindia dengan gemuruhnya menari membentuk mahakarya alam.
Di sanalah, di pesisir Teluk Lagundri, Kabupaten Nias Selatan, terhampar permata biru bernama Pantai Sorake.
Sebuah nama yang tak asing lagi bagi para petualang ombak di seluruh penjuru dunia.
Sejak pertama kali "ditemukan" oleh sekelompok peselancar Australia yang tak sengaja tersesat pada tahun 1975, lalu diabadikan dalam film kultus "Storm Riders" (1982), ombak kanan panjang Sorake telah menjadi bisikan suci, rahasia yang dijaga ketat di komunitas selancar global.
Namun, sejak tahun 2018, bisikan itu menjelma menjadi raungan megah yang mendunia: Nias Pro.
Nias Pro bukan sekadar kompetisi selancar; ini adalah sebuah manifestasi keajaiban alam, pameran ketangkasan manusia, dan festival budaya yang sarat makna.
Setiap tahun, ajang yang kini menjadi bagian prestisius dari World Surf League (WSL) Qualifying Series (QS) ini, dengan kategori puncak QS 6000 dan Pro Junior, memanggil ratusan peselancar terbaik dari lima benua untuk menaklukkan gelombang ikonik Sorake yang legendaris.
Ini adalah medan pertempuran para ksatria ombak, sekaligus panggung bagi mimpi-mimpi yang bergelora.
Mengapa Nias Pro Begitu Memukau, Menggetarkan Jiwa, dan Wajib Diabadikan?