Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba Amerika Serikat menawarkan bantuan yang cukup fantastis kepada Indonesia. Bantuan berupa uang sebesar 2 miliar dolar AS atau setara Rp 28 triliun.
Artinya, bantuan ini ditawarkan sepihak oleh AS tanpa ada permintaan dari Indonesia. Dan ternyata lagi, bantuan yang diberi mesti memenuhi persyaratan, yaitu Indonesia wajib menjalin hubungan diplomatik dengan Israel.
AS memang pintar membaca waktu dan kesempatan, kapan saat yang tepat dalam menawarkan bantuan. AS tahu kalau Indonesia termasuk negara yang sedang mengalami krisis keuangan gara-gara pandemi Covid-19.
Membantu kok menyodorkan syarat? Tidak ikhlas, dong? Sebagai pihak penawar bantuan, harusnya AS tidak menyajikan syarat yang tidak masuk akal. Sebab, Indonesia akhirnya berpikir macam-macam.
Apa hubungan bantuan yang diberikan dengan urusan hubungan bilateral Indonesia dan Israel? Mengapa bukan antara Indonesia dan AS saja jika mau dinilai wajar?
Andai saja Indonesia tidak berpikir panjang, apalagi di tengah pandemi ini, mungkin uang sebanyak itu mustahil dipertimbangkan untuk diterima. Ya, Indonesia sungguh butuh uang.
Akan tetapi, dengan adanya syarat yang sudah pasti "ada udang di balik batu", Indonesia tentunya pantas mempertimbangkan tawaran. Pasti ada "sesuatu" di balik bantuan.
Dunia, termasuk AS, tahu bahwa Indonesia salah satu negara yang kukuh menolak berhubungan "lebih intim" dengan Israel. Salah satu alasannya adalah keberpihakan pada "nasib buruk" Palestina.
Sampai sekarang, Indonesia terus berjuang mendukung Palestina agar terbebas penuh dari "kekangan" Israel dan kemudian menjadi negara merdeka seutuhnya.
Bagaimana mungkin Indonesia mau ikhlas "dijebak" dan mengingkari janjinya terhadap Palestina hanya karena persoalan kebutuhan uang triliunan rupiah?
Bahwa belakangan pihak AS mengklarifikasi tujuannya, yakni bukan memaksa Indonesia memihak Israel, melainkan sekadar membuka jalinan saja, tidak otomatis Indonesia luluh bertekuk lutut.