Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Anies yang Gelisah Soal Lahan Makam dan PSBB "Super Ketat" yang Tetap Percuma

20 September 2020   15:49 Diperbarui: 21 September 2020   06:03 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan meninjau TPU Pondok Ranggon, Cipayung, Jakarta Timur, Sabtu (19/9/2020) | Gambar: KOMPAS.com/ Instagram @aniesbaswedan

Jumlah kasus positif Covid-19 secara global hingga Minggu, 20 September 2020 dikabarkan sudah mencapai 30.973.668 kasus (berdasarkan data yang dirilis Worldometers). Rinciannya, kasus sembuh sebanyak 22.569.415, kasus meninggal dunia sebanyak 960.830, dan kasus aktif sedang tersisa sebanyak 7.443.423. 

Sementara di tanah air sendiri, Melansir KOMPAS.com Minggu, (20/9/2020), sejumlah 244.676 kasus (bertambah 3.989 kasus). Total kasus sembuh sebanyak 177.327, kasus meninggal dunia sebanyak 9.553, dan kasus aktif masih sebanyak 57.796.

Di antara jumlah kasus positif nasional di atas, DKI Jakarta berstasus sebagai wilayah penyumbang kasus terbanyak, yakni sejumlah 60.828 kasus. Sebanyak 47.176 kasus berhasil sembuh, 1.527 dinyatakan meninggal dunia, dan kasus aktif sebanyak 12.125.

Kasus meninggal dunia di ibu kota semakin memprihatinkan. Lahan pemakaman khusus diperkirakan tidak mampu menampung jenazah.

Kavling yang tersedia disebutkan akan habis pada Oktober 2020, jika kasus meninggal dunia terus bertambah. Lahan untuk pemakaman jenazah kasus positif saat ini berada di dua lokasi, yaitu di TPU Tegal Alur (Jakarta Barat) dan TPU Pondok Ranggon (Jakarta Timur).

Melihat fakta kasus meninggal dunia dan terbatasnya lahan pemakaman, Gubernur Anies Baswedan gelisah dan khawatir. Maka dari itu, ia menginstruksikan dinas terkait untuk memperlebar lahan seluas 13.000 meter persegi di TPU Pondok Ranggon supaya kebutuhan tercukupi.

Untuk memastikan ketersediaan lahan, Anies sampai turun langsung meninjau proses pengerjaan. Pada Sabtu, 19 September 2020, sekitar pukul 21.00 WIB, ia sengaja mendatangi lokasi TPU Pondok Ranggon melakukan pengecekan, sembari berbincang dengan para pekerja di sana.

Tampaknya PSBB "Super Ketat" yang diberlakukan kembali oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sejak beberapa waktu yang lalu tidak banyak membantu tercapainya penurunan jumlah kasus positif, apalagi kasus meninggal dunia.

Padahal ketika diumumkan oleh Anies, sebagian pihak menganggap kebijakan itu bakal membuahkan hasil signifikan, namun ternyata tidak.

Adakah yang salah dengan PSBB "Jilid II" di DKI Jakarta? Mengapa tidak efektif menekan jumlah kasus positif? Bukankah disebut lebih ketat dibanding PSBB jilid sebelumnya? Mengapa akhirnya Anies malah memusingkan diri memikirkan ketersediaan lahan makam?

Pemberlakuan PSBB sejak awal hingga sekarang sebenarnya sudah cukup baik. Semua aktivitas dan gerak-gerik masyarakat telah diatur sedemikian rupa. Pertanyaannya, sudahkah rambu-rambu PSBB dijalankan dengan benar di lapangan, khususnya terkait penerapan PSBB "Jilid II"?

Pasti sebagian ada yang mengatakan "sudah", dan sebagian lagi mengaku "belum". Namun jika dilihat sungguh-sungguh di lapangan, penerapan PSBB "Jilid II" ternyata tidak maksimal, persis sama dengan "nasib" PSBB sebelumnya.

Contoh fakta, pada hari pertama pemberlakuan PSBB "Jilid II", pihak kepolisian mencatat setidaknya ada 221 kasus pelanggaran. Mengapa ini bisa terjadi? Bukankah penerapannya mestinya lebih maksimal karena diakui "super ketat"? Di mana letak kesalahannya?

Kesalahannya terletak pada ketidakpatuhan masyarakat akan protokol kesehatan, serta ketidakseriusan pemangku kebijakan dalam menegakan aturan. Masalah watak masyarakat yang ogah patuh, rasanya sulit diperbaiki dalam waktu cepat. Namun apakah hal yang sama berlaku juga dengan ketegasan pemberlakuan aturan? Mestinya tidak.

Mengapa Pemprov DKI Jakarta tampak kurang serius menjalankan aturan PSBB "Jilid II"? Mengapa di satu sisi gencar menghimbau masyarakat taat protokol kesehatan, tapi di sisi lain masih membiarkan aktivitas yang menimbulkan kerumunan?

Untuk kejadian hari ini misalnya (Minggu, 20/9/2020), meskipun kawasan khusus pesepeda (KKP) telah ditiadakan semenjak pengumuman PSBB "Jilid II", ternyata masih banyak warga yang berkeliling menggunakan sepeda dan sekali-sekali berswafoto di sekitar kawasan Bundaran HI. Mereka terdiri dari anak, remaja, dan orangtua.

Fatalnya, di lokasi, para petugas tidak melarang para pesepeda, walaupun jelas melanggar aturan. Petugas hanya menyapa dan mengingatkan pesepeda agar tetap menggunakan masker.

Bukankah sebaiknya pesepeda dilarang melintas karena melanggar aturan soal peniadaan KKP? Mengapa KKP disebut ditiadakan padahal faktanya tidak demikian?

Berikutnya, kawasan Gelora Bung Karno tetap dibuka sebagai lokasi berolahraga atau sekadar berjalan-jalan. Mengapa Pemprov DKI Jakarta tidak tegas melarang pembukaan fasilitas publik yang minim manfaat dalam penekanan jumlah kasus positif Covid-19 dan berpotensi menimbulkan kerumunan?

Di sinilah letak kesalahannya Pemprov DKI Jakarta. Punya banyak kebijakan dan aturan, tapi tidak dijalankan sungguh-sungguh sebagaimana mestinya. Percuma PSBB dibuat berjilid-jilid jika penerapannya konsisten jauh dari harapan.

Ketidaktegasan dalam menerapkan aturan PSBB di DKI Jakarta pada akhirnya membingungkan, meningkatnya pelanggaran masyarakat, bertambahnya jumlah kasus positif (dan meninggal dunia), serta memperparah kegelisahan Anies soal lahan pemakaman.

Semoga penerapan aturan PSBB "Jilid II" di DKI Jakarta lebih dimaksimalkan lagi. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun