Mohon tunggu...
Tuhombowo Wau
Tuhombowo Wau Mohon Tunggu... Penulis - Kompasianer

tuho.sakti@yahoo.co.uk

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Tips Menabung dari 3 Nenek Ini Luar Biasa, Patut Dicoba

11 Juli 2019   00:48 Diperbarui: 11 Juli 2019   12:58 3072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya. Itulah sebuah peribahasa lama yang akan tetap aktual dan relevan sampai kapan pun. Peribahasa tersebut begitu mengena ketika didengar dan dihayati. Dan akan lebih bermanfaat jika diterapkan sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari.

Maknanya bahwa mustahil seseorang bisa pandai atau cerdas tanpa belajar (rajin), dan mustahil pula bisa kaya tanpa berhemat (tidak boros). Artinya apa pun yang diinginkan memerlukan kemauan dan usaha.

Apakah Anda sudah mengaktualisasikan peribahasa di atas dalam kehidupan Anda? Semoga. 

Kalau saya pribadi belum maksimal. Untuk poin pertama terkait kepandaian, sedang dan akan terus saya upayakan. Sedangkan poin kedua tentang kekayaan, "api jauh dari panggangan". 

Yang paling banyak terjadi sepanjang umur saya adalah "lebih besar pasak daripada tiang". Anda pasti paham arti peribahasa terakhir ini. 

Dan sepertinya bukan cuma saya yang punya masalah dengan yang namanya "hemat pangkal kaya". Tentu ada sekian banyak orang yang bernasib sama dengan saya.

Menghemat berarti menggunakan penghasilan (katakanlah dalam bentuk uang) sesuai kebutuhan. Tapi sebelumnya, uang yang dihemat itu dari hasil keringat sendiri loh ya. Bukan hasil keringat orang lain yang dirampas (dicuri, dikorupsi dan sebagainya).

Kembali ke persoalan, mengapa saya dan mungkin Anda susah sekali menabung? Saya andaikan yang saya uraikan berikut mirip dengan yang ada di pikiran Anda. Mudah-mudahan saya tidak dianggap sedang menggurui Anda.

Pertama, tidak punya pekerjaan. Kalau begini jelas, apa yang mau ditabung, sumber penghasilan saja tidak ada kok. Dan agar bisa punya uang untuk ditabung, maka bekerjalah, apa pun itu yang penting halal dan tidak merugikan orang lain.

Kedua, punya pekerjaan tapi uang yang dihasilkan sedikit. Benarkah demikian? Jawaban kita pasti berbeda-beda. Ada yang mengatakan benar dan ada juga yang mengatakan tidak benar. Kalau saya pribadi, saya katakan benar.

Lah bagaimana saya mau menabung, penghasilan saya pas-pasan, sedangkan biaya kehidupan saya dan keluarga amat besar. Maklum, saya dan keluarga tinggal di ibukota.

Akan tetapi orang-orang yang mahir mengelola keuangan tidak akan menemukan masalah. Mereka sudah terbiasa memilah mana yang diperlukan dan mana yang tidak. Mana yang sekadar keinginan dan mana pula kebutuhan.

Ketiga, masih berkaitan dengan poin kedua, yakni terbiasa hidup boros dan bermewah-mewahan. Pokoknya segala benda yang 'menarik mata" selalu dibeli, meskipun belum tentu digunakan. Pada akhirnya benda yang dibeli cuma jadi pajangan.

Saya punya satu pengalaman (dari sekian banyak dan ini bukan curhat). Saat masih lajang, saya itu orangnya suka membeli buku, apa pun jenisnya yang penting menarik (jangan dikaitkan dengan "rajin pangkal pandai"). 

Menarik itu umpamanya ukurannya tebal, cover-nya bagus, sedang hangat dibahas publik, dan seterusnya. Padahal, setelah saya beli, saya belum tentu akan membaca isi buku itu sampai selesai.

Kemudian akhirnya saya sadar saat menjalani hidup berkeluarga. Saya membayangkan seandainya saja saya mengendorkan 'semangat berlebih' membeli buku asal-asalan, pasti saya punya uang tabungan yang agak lumayan sekarang ini. Tapi ya sudahlah, "nasi sudah menjadi bubur".

Apakah saya menyesalinya terlalu mendalam? Tentu tidak, saya masih simpan buku-buku itu, dan akan saya jadikan sebagai bahan untuk perpustakaan mini di rumah, kelak kalau punya rumah sendiri. Ya, saat ini saya dan keluarga tinggal di rumah kontrakan.

Di antara Anda pasti punya kebiasaan buruk serupa, apalagi Anda yang berstatus lajang (istilah kerennya "milenial"). Belajarlah dari pengalaman saya. Jangan terbius memandang rupa dan cepat tergiur akan mode. 

Mulai sekarang pilah mana kebutuhan dan mana keinginan. Jika uang di dompet Anda meluap saking banyaknya, mending tabung untuk keperluan di hari depan.

Uraian alasan-alasan susah menabung saya hentikan di sini. Saya kurang ahli dalam mengelola uang, seperti pengakuan saya di atas. Anda bisa cari referensi dari sumber lain, entah lewat membaca atau berkonsultasi langsung dengan pakar keuangan.

Lagi pula Anda juga dari tadi menunggu, apa sebenarnya paparan pokok tulisan sederhana ini sesuai yang tertera pada judul: "Tips Menabung dari 3 Nenek Ini Luar Biasa, Patut Dicoba".

Langsung saja, di sini saya meramu beberapa kisah orang-orang yang dalam keterbatasannya konsisten menabung. Kisah mereka saya kira akan bermanfaat buat saya dan Anda (khususnya generasi milenial).

Tujuan mereka menabung pun bukan untuk menjadi kaya, karena memang mereka sudah berusia lanjut dan sepertinya nyaman dengan apa yang mereka miliki saat ini. Mereka menabung untuk sebuah tujuan mulia, yaitu menunaikan ibadah haji.

Pertama, kisah Wa Sego. Nenek berusia 88 tahun yang ditinggal (mati) suaminya ini hidup di Desa Lamaninggara, Kecamatan Siompu Barat, Kabupaten Buton Selatan, Sulawesi Tenggara. Dia bekerja sebagai petani (kebun), tidak bisa berbahasa Indonesia dan hanya menggunakan bahasa daerah dalam kesehariannya.

Wa Sego (kiri) dan Anaknya, Faazila (kanan) | Gambar: kompas.com
Wa Sego (kiri) dan Anaknya, Faazila (kanan) | Gambar: kompas.com
Semenjak suaminya masih hidup, dia ingin sekali pergi bersama ke Tanah Suci (Mekah) naik haji. Karena keinginan itu, dia dan suaminya berhemat serta menyisihkan uang dari jualan hasil kebun.

"Kadang kalau ubinya ada hasil, sebagian disisihkan sebagian untuk digunakan. Jadi ibu saya menyimpannya di dalam karung jagung di atas loteng rumah," kata Faazila, anak Wa Sego.

Menurut Faazila, jika uang yang disimpan di rumah sudah mencapai satu juta rupiah, ibunya (Wa Sego) akan menyuruh agar disimpan di bank.

Aktivitas menabung dijalankannya selama 30 tahun. Waktu yang cukup panjang, bukan? Tapi kala ada niat pasti akan enak dijalani.

Dari hasil menghemat, dia bisa menabung uang puluhan juta rupiah. Cukup buat dia dan suaminya berangkat naik haji. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain, dia sendiri yang berangkat tahun ini. Suaminya meninggal dunia pada 2018 yang lalu.

Kedua, kisah Tri Darini. Nenek berusia 53 tahun ini tinggal di Dukuh Kenangan, Desa Sribit, Kecamatan Delanggu, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Dia sehari-hari bekerja sebagai penjual kerupuk. Dia melakukan itu sejak masa lajang (sebelum menikah) hingga sekarang.

Tri Darini | Gambar: kompas.com
Tri Darini | Gambar: kompas.com
Kerupuk yang dijualnya pun bukanlah bikinan sendiri, tapi diambil dari produsen. Dengan menggunakan sepeda ontel, tiap pagi dia harus bangun pukul 03.00 pagi WIB untuk menyiapkan barang dagangannya. Dia mengaku suka bekerja.

"Saya ini orangnya tidak bisa diam, jadi sejak muda memang sukanya bekerja," tuturnya.

Sama dengan Wa Sego, Tri Darini juga pergi ibadah haji tahun ini. Lalu bagaimana akhirnya bisa berangkat ke Tanah Suci? Sejak menikah 28 tahun lalu, dia mengaku selalu menyisihkan uang sebesar Rp 5.000 setiap hari dari hasil jualan. Keren, bukan?

Di samping keinginan sendiri, dia juga mengaku bahwa pergi ke Tanah Suci merupakan wasiat dari sang ayah.

"Saya anak ketiga dari enam bersaudara. Saudara saya semua sudah naik haji. Bapak saya pesan agar saya juga naik haji," katanya.

Luar biasa! Menunaikan ibadah haji sekaligus merealisasikan wasiat orang tua. Selamat ya, Bu Tri Darini!

Ketiga, kisah Marliah. Nenek berusia 63 tahun ini tinggal di Desa Balongbesuk, Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Dia adalah seorang pedagang sayur keliling. Pekerjaan sebagai 'bakul lijo' sudah dijalaninya selama kurang lebih 35 tahun.

Marliah | Gambar: kompas.com
Marliah | Gambar: kompas.com
Pergi ke Tanah Suci merupakan cita-citanya sejak kecil. Setelah berkeluarga, dia sempat tidak yakin keinginannya bakal terwujud. Alasannya, kondisi ekonomi keluarganya belum memungkinkan untuk biaya pergi haji.

Namun berkat kegigihannya, akhirnya cita-cita itu menjadi kenyataan. Bagaimana caranya? Ya dia berhemat dan menyisihkan sebagian uang dari hasil jualan sayur.

"Nabung setiap hari Rp 10.000, mulai tahun 2011. Setiap hari (penghasilan) saya sisihkan untuk tabungan (haji) itu," ungkapnya.

Tahun ini dia mantap pergi ke Tanah Suci. Mudah-mudahan selamat dan menambah tingkat keimanan kepada Tuhan.

Sekali lagi, selamat buat Nenek Wa Sego, Nenek Tri Darini dan Nenek Marliah. Semoga perjalanan berangkat dan pulang aman, nyaman dan selamat.

Para pembaca yang budiman, itulah tiga kisah yang menurut saya amat inspiratif. Adakah hikmah yang dapat kita petik dari kisah tersebut?

Mestinya ada. Kita bisa belajar bagaimana hidup itu dijalani dengan gembira. Seperti apa pun kondisi hidup kita, jangan sampai membuat kita lupa bersyukur. 

Bersyukur berarti menikmati apa yang ada, terus berusaha, dan menyisihkan sebagaian dari rezeki untuk kebutuhan di masa yang akan datang.

Tentu kita punya 'goals' masing-masing dalam hidup ini, dan mungkin berbeda dengan yang dimiliki ketiga nenek di atas. Misalnya ada yang berkeinginan punya rumah, akan berkeluarga, mau melanjutkan studi, dan sebagainya.

Kiranya semua itu baru akan terwujud bila kita mampu mengelola penghasilan secara mandiri. Tips atau caranya bisa Anda cari dan kembangkan sendiri. Dan yang paling penting segera dimulai.

Selamat 'menempuh hidup baru' bagi Anda yang sedang punya kebiasaan buruk seperti yang pernah saya alami. Sukses buat kita semua!

***

Referensi: [1] [2] [3] 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun