Mohon tunggu...
Tsastyani Dipananda
Tsastyani Dipananda Mohon Tunggu... Lainnya - Murid SMAN 28 Jakarta

Tsastyani Dipananda (34) - XI MIPA 3 - SMAN 28 Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hilangnya Mentari

24 November 2020   21:50 Diperbarui: 24 November 2020   22:00 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari itu gelap seperti biasa. Matahari bersinar terang diatas kepala, bayangan berangsur hilang seperti tersedot kedalam telapak kaki setiap makhluk hidup. Namun, bagiku hari itu tetap gelap. Seperti hari-hari sebelumnya dan sebelumnya lagi. Aku tidak pernah tahu apa rasanya hangat mentari atau indahnya cahaya matahari yang mengintip malu-malu di pagi hari. Bagiku sepanjang hari itu gelap.

Tidak selamanya selalu seperti ini, semuanya bermula ketika Ibu berpulang dan aku tidak lagi mengenal apa itu kehangatan.   

“Habis pulang sekolah mau ngapain?” Suara Bapak yang habis menyiram tanaman di halaman terdengar. Aku sedang mengikat tali sepatu-ku di depan pintu, bersiap berangkat ke sekolah. “Tidak tahu.” Jawabku singkat. Aku tahu Bapak bertanya bukan karena semata-mata ia peduli, pasti ada hal yang lain. “Oh, Bapak nanti mau ke rumah Tante Dewi dulu ya sebentar. Kamu jangan lupa kunci-kunci pintu kalau Bapak belum pulang.” Lanjut Bapak kemudian, bersamaan dengan aku beranjak dari teras untuk berangkat ke sekolah. “Iya.” Respon ku singkat sebelum membuka pagar rumah.

Tante Dewi itu teman lama Bapak, atau lebih tepatnya calon ibu tiriku. Tante Dewi tidak jahat seperti ibu tiri Cinderella, tapi aku belum bisa mengikhlaskan Ibu yang pergi lima tahun yang lalu. Bagaimana Bapak bisa mengikhlaskan Ibu yang begitu baik? Aku tidak tahu. Buatku, Bapak tidak adil.

Hari itu gelap seperti biasa, langit cerah tapi bagiku semuanya tetap redup. Kapan terakhir kali aku ingat wangi bunga Mawar? Aku juga tidak tahu. Aku telah kehilangan caranya merasa ketika bunyi telepon rumah di hari itu berdering. Satu-satunya kenangan tentang Ibu hanyalah telepon dari pihak berwajib dan berita utama di TV.

Selama lima tahun terakhir aku familiar dengan ketidaktahuan. Aku tidak lagi merasa. Ketika aku berjalan rasanya ringan dan dingin seperti membawa sebuah batu es. Titik terberat ku hanyalah rasa penyesalan mendalam, tentang malam itu sebelum Ibu pergi keluar rumah dan tidak kembali lagi.

Pulang sekolah aku langsung keluar seperti biasa. Aku bukannya tidak mau bersosialisasi, tapi rasanya hal-hal seperti itu tidak lagi menarik perhatianku. Dalam gelapnya hari yang aku jalani setiap hari berdiam di rumah adalah hal yang terbaik. Tanpa cahaya maka warna tidak ada, jadi aku tidak lagi bisa mengenali warna. Duka yang mendalam menghilangkan segala aroma dan kenangan tentang warna yang Ibu taburkan diatas hidangan kue kesukaanku.

Jarak rumah yang tidak begitu jauh membuatku senang berjalan kaki setiap pulang sekolah, hal itu juga menenangkanku. Aku berpikir ketika aku bergerak, dan dengan berjalan sejauh dua kilometer setiap hari aku bisa memikirkan banyak hal yang membuatku lupa untuk memperhatikan langit yang sendu.

Sayangnya, hari itu perjalananku tidak seperti biasa.

Ketika aku sedang menyebrang jalan sebuah mobil hitam dengan kecepatan luar biasa melaju ke arahku, dalam hitungan detik aku merasakan rasa terlempar, terguling, terbentur, lalu semuanya menjadi hening.

Bau khas brownies Ibu yang biasanya beliau buat di sore hari membangunkan ku. Aku terbangun diatas kasur empuk ditengah-tengah ruangan lengang berwarna putih. Anehnya, dalam keheningan itu aku dapat merasakan hangatnya mentari mulai menjalar melalui lengan ku. Bau brownies Ibu kembali mengusik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun