Mohon tunggu...
Tsalits Faizah
Tsalits Faizah Mohon Tunggu... Penulis

Penulis yang malas nulis - Terapis yang kadang butuh terapi - Suka menulis tentang life journey dan keuangan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ketika Kurir Jadi Tumbal COD - Luka yang Tak Seharusnya Seharga 30000

27 September 2025   19:58 Diperbarui: 27 September 2025   19:58 14
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kurir COD Diserang di Bekasi, Hanya Karena Rp30 Ribu. Pict by Canva

Ini dunia belum mau kiamat 'kan? Tiap hari kok adaaa saja kebrakan dari warga Indonesia yang bikin miris. Hari ini, saya sempat lihat situs berita nasional dengan judul " Kurir Paket di Bekasi Disabet Pedang Oleh Konsumen COD yang Tidak Mau Bayar Rp. 30 Ribu".

Fiiuuh ....

"Kalau memang nggak punya uang, kenapa harus pesan barang? Kalau memang nggak ada di rumah, kenapa harus bikin kurir bolak-balik?" Pertanyaan itu terus berputar di kepala saya setiap kali mendengar berita soal COD. Bayangkan, nyawa manusia seolah tak ada harganya, hanya karena urusan COD.

Padahal, ide COD awalnya bagus. Sistem ini muncul karena banyak orang takut ditipu saat belanja online. Dari sisi psikologi, itu wajar. Manusia cenderung menghindari risiko. Membayar di akhir memberi rasa aman. Tapi masalahnya, rasa aman konsumen ini justru berubah menjadi beban bagi orang lain.

Kurir yang Jadi Tumbal COD

Coba lihat dari sisi penjual. Mereka sudah keluar tenaga dan modal untuk menyiapkan barang, tapi tidak ada jaminan barang itu akan dibayar. Kalau pembeli menolak, barang kembali dalam kondisi tidak selalu utuh, ongkos kirim terbuang, reputasi toko bisa ikut hancur.

Dan kurir? Mereka yang paling menyedihkan. Mereka bukan pemilik barang, bukan pula pihak yang menetapkan aturan. Tapi di lapangan, mereka jadi "tameng manusia" antara konsumen dan penjual. Kalau pembeli seenaknya menolak, kurir yang dimarahi. Kalau pembeli emosi, kurir yang disakiti.

Dalam kacamata sosiologi, ini bentuk moral hazard. Karena konsumen tidak menanggung risiko sejak awal, rasa tanggung jawab pun menurun. "Ah, kalau nggak jadi, tinggal tolak saja." Simpel bagi pembeli, tapi rumit bagi orang lain. COD, yang awalnya dimaksudkan membangun kepercayaan, justru melahirkan egoisme.

Sudahlah ... Sudahi Saja Sistem COD

Saya pribadi makin sulit menerima sistem ini. COD seperti jalan pintas yang membuat konsumen merasa aman, tapi di baliknya ada banyak luka: penjual yang rugi, kurir yang lelah, bahkan korban yang berdarah.

Bukankah perdagangan seharusnya adil? Bukankah setiap transaksi harus berlandaskan saling menghargai? Kalau sebuah sistem lebih banyak menciptakan kerugian ketimbang manfaat, mungkin sudah waktunya kita berani bilang: cukup. COD tidak lagi relevan, tidak lagi manusiawi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun