Mohon tunggu...
Tsalis Tsatul Aulia
Tsalis Tsatul Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah individu yang proaktif, detail-oriented dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik, yang memungkinkan saya untuk berkolaborasi dengan berbagai pihak dan mengelola proyek secara efisien untuk mencapai tujuan organisasi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Strategi Kuota Nikel 2025: Menyeimbangkan Ekonomi & Lingkungan di Era EV Global

29 Juni 2025   12:00 Diperbarui: 29 Juni 2025   11:43 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia tengah berdiri di persimpangan strategis antara menjaga keberlanjutan ekonomi dan melindungi lingkungannya. Pada 2025, pemerintah menetapkan kuota ekspor nikel sebesar 200 juta ton, sebuah langkah yang bertujuan untuk menstabilkan harga global, menjaga cadangan jangka panjang, dan mengontrol dampak lingkungan. Nikel telah menjadi logam yang sangat dicari di era kendaraan listrik (EV), dan Indonesia---dengan cadangan melimpahnya---berambisi memimpin pasar global. "Jika pengelolaan lingkungan tidak sesuai dengan standar pemerintah, maka kuotanya akan kami potong," tegas Tri Winarno, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, sebagaimana dikutip dari Discovery Alert (2025).

Langkah ini tak hanya bermuatan ekonomi, namun juga sinyal bahwa Indonesia mulai lebih berhati-hati dalam mengelola sumber daya alamnya. Pasalnya, ekspansi tambang nikel selama beberapa tahun terakhir telah menimbulkan kekhawatiran serius terhadap kelestarian lingkungan. Laporan AP News (2025) menyebut proyek pertambangan nikel mengancam "salah satu wilayah laut paling kaya biodiversitas di Bumi", yakni Raja Ampat. Bahkan, Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mencabut beberapa izin tambang di wilayah tersebut, menegaskan komitmen untuk tidak membiarkan pertumbuhan ekonomi merusak warisan ekologis bangsa.

Dari sisi ekonomi, strategi kuota ini dipadukan dengan peningkatan royalti pertambangan hingga 14--19% untuk memaksimalkan penerimaan negara. Sekilas, ini tampak menjanjikan. Pada 2024, ekspor produk turunan nikel Indonesia menyumbang lebih dari USD 38 miliar ke kas negara. Namun, di sisi lain, terjadi pula peningkatan ketimpangan. Banyak keuntungan ditarik oleh investor asing, sementara masyarakat lokal di sekitar kawasan industri seperti Morowali masih menghadapi masalah polusi, ketimpangan upah, dan ketergantungan ekonomi yang sempit. Meskipun kawasan ini menyerap lebih dari 80.000 tenaga kerja, kualitas kesejahteraan mereka masih jauh dari ideal.

Konflik antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan diperparah oleh tekanan geopolitik dan teknologi. Di satu sisi, permintaan global terhadap nikel meningkat karena dorongan menuju energi hijau. Namun di sisi lain, negara-negara seperti Amerika Serikat mulai mempertimbangkan pembatasan insentif untuk baterai berbasis nikel. Selain itu, teknologi baterai lithium iron phosphate (LFP) yang tidak memerlukan nikel semakin populer, terutama di pasar China. Ini berarti bahwa bergantung sepenuhnya pada ekspor nikel bukanlah strategi jangka panjang yang aman.

Kini pertanyaannya, mampukah Indonesia menjaga keseimbangan ini? Strategi kuota dan kebijakan hilirisasi memang memberi harapan atas pertumbuhan ekonomi berkelanjutan, tetapi hanya akan efektif jika didukung oleh penegakan hukum lingkungan yang tegas, perlindungan terhadap masyarakat adat, serta investasi pada pengembangan SDM lokal. Jika tidak, Indonesia hanya akan menjadi pemasok bahan mentah bagi transisi energi global, sembari meninggalkan kerusakan lingkungan yang tak terpulihkan di dalam negeri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun