Mohon tunggu...
Tri Wahyuda
Tri Wahyuda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kuliah

Teruslah berjuang dan jangan putus asa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Dampak Defisit Anggaran terhadap Ekonomi Makro di Indonesia

27 Desember 2021   07:47 Diperbarui: 27 Desember 2021   08:47 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Akan tetapi harus dikombinasikan dengan kebijakan-kebijakan yang lain (kebijakan moneter). Jadi untuk mengetahui dampak defisit anggaran, harus melalui beberapa tahapan. Oleh karena itu dalam penelitian ini menggunakan persamaan simultan (Simultaneous Equation), mengingat adanya keterkaitan antar variabel di dalam melihat dampak defisit anggaran tersebut. Selain itu dalam penelitian ini, hanya melihat dampak kebijakan fiskal, dengan instrumen defisit anggaran yang hanya dilihat dari pendekatan Agregat Demand, mengingat pendekatan Agregat Supply belum mempunyai mekanisme baku, dan sering kali diperdebatkan oleh para ekonom hingga saat ini.

Kebijakan fiskal yang berupa defisit anggaran dan bertujuan untuk mendorong perekonomian bisa melalui sisi permintaan (demand side) dan sisi penawaran (supply side). Dari sisi permintaan, kenaikan pendapatan nasional bersumber antara lain dari naiknya konsumsi, investasi, kenaikan belanja pemerintah, naiknya ekspor, serta menurunnya impor. Tingkat perubahan dari berbagi komponen tersebut bebarengan dengan besarnya koefisien sensitifitasnya masingmasing komponen permintaan total terhadap faktor penentunya, akan menentukan besarnya kenaikan pendapatan nasional. Dampak defisit anggaran dilihat dari sisi permintaan dapat dilihat dari peningkatan agregat demand. Dimana agregat demand merupakan fungsi (atau kurva) yang menggambarkan hubungan antara tingkat harga dengan jumlah pengeluaran agregat yang akan dilakukan dalam perekonomian.  

Perbedaan konsep antara pengeluaran agregat dan permintaan agregat adalah,
 pengeluaran agregat berlaku pada harga tetap, sedangkan permintaan agregat berlaku pada harga yang berubah. Dampak kebijakan fiskal dari sisi permintaan dipelopori oleh Keynes dalam teorinya (deficit spending). Dimana lahir sebagai reaksi depresi besar di tahun 1930-an di Amerika Serikat. Untuk mengatasi hal itu, Keynes mengusulkan kebijakan fiskal melalui kenaikan belanja untuk mendorong permintaan (Anggito Abimanyu, 2003).  

Dampak kebijakan fiskal defisit anggaran selain dapat dilhat pada sektor riil, juga dapat dilihat melalui jalur moneter (harga) atau pasar uang (Maryatmo, 2004).

Melalui jalur moneter dampak defisit anggaran dapat dilihat dari permintaan akan uang (money demand). Kebijakan fiskal yang ekspansif, misalya kenaikan pengeluaran pemerintah akan mengakibatkan kenaikan permintaan agregat pada putaran pertamanya (first cycle). Pada putaran kedua (second cycle), kenaikan permintaan agregat akan mengakibatkan nilai harga (P) dan kuantitas baru (Q). Kenaikan P dan Q yang baru mengakibatkan kenaikan permintaan uang (Hary Yusuf, 2003).  
Dampak defisit anggaran yang penting terhadap ekonomi, baik dampak positif atau negatif. Misalnya metode penambahan uang dalam ekonomi akan menimbulkan permasalahan meningkatnya tingkat harga barang dan jasa, sehingga menyebabkan peningkatan inflasi (Jaka Sriyana, 2007).
Pembiayaan defisit anggaran dengan cara penambahan jumlah uang beredar juga akan memiliki dampak pada peningkatan permintaan uang oleh masyarakat. Hal ini disebabkan adanya penurunan nilai uang dalam ekonomi. Dengan kata lain, masyarakat perlu menambah uang untuk pengeluarannya. Dengan demikian, pembiayaan defisit anggaran oleh pemerintah dengan cara menambahkan uang dalam ekonomi dapat meningkatkan jumlah penerimaan pemerintah (Mankiw, 2002). Sedangkan dalam teori Keynes menjelaskan bahwa permintaan uang dipengaruhi oleh suku bunga ( i ), harga (P), dan kuantitas barang(Q). Selanjutnya, bila permintaan uang naik maka investasi akan berkurang, dan selanjutnya berkurangnya investasi akan mengakibatkan permintaan agregat berkurang. Pada akhirnya kenaikan permintaan agregat pada first cycle dan berkurangnya permintaan agregat pada second cycle akan mencapai posisi keseimbangan baru secara bersama-sama.  

Oleh karena banyak sekali dampak yang akan ditimbulkan dari adanya defisit anggaran, maka kajian mengenai defisit anggaran sangat menarik untuk dibahas. Penelitian mengenai defisit anggaran telah banyak dilakukan antara lain Joko Waluyo (2006), yang menganalisi tentang dampak pembiayaan defisit anggaran dengan utang luar negeri terhadap inflasi dan pertumbuhan ekonomi studi kasus Indonesia tahun 1970-2003, dengan menggunakan model persamaan simultan.  
Dimana hasil penelitiannya adalah pembiayaan defisit anggaran dengan menggunakan hutang luar negeri akan berdampak meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan bersifat inflationary. Studi empiris yang lain adalah R Maryatmo (2004), dimana menghasilkan kesimpulan yang berbeda dengan Joko Waluyo. Hasil dari R Maryato adalah defisit anggaran akan mempengaruhi tingkat suku bunga. Peningkatan suku bunga akan mempengaruhi penurunan sektor riil.  
Hal ini berati akan menurunkan pertumbuhan ekonomi. Studi empiris mengenai defisit anggaran juga dilakukan oleh Andiarma Tesamaris dan Siti Fatimah (2005), dimana hasil studi emprisnya adalah terdapat hubungan dua arah antara defisit anggaran dengan hutang luar negeri. Oleh karena itu dalam penulisan makalah ini ingin menganalisis tentang "Dampak Defisit Anggaran Terhadap Ekonomi Makro di
Indonesia ".  
Kebijaksanaan Fiskal
Kebijakan Fiskal adalah kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mendapatkan dana-dana dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemerintah untuk membelanjakan dananya tersebut dalam rangka melaksanakan pembangunan. Atau dengan kata lain, Kebijakan Fiskal adalah suatu kebijakan ekonomi dalam rangka mengarahkan kondisi perekonomian untuk menjadi lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah.
Bila berbicara tentang kebijakan fiskal selalu dikaitkan dengan kepentingan pemerintah melalui hak penerimaan pajak, pengeluaran pemerintah, dan pinjaman pemerintah yang bertujuan untuk menciptakan lapangan pekerjaan, pengendalian harga, dan menjaga pertumbuhan ekonomi agar tetap positif. Dalam implementasinya kebijakan fiskal dilakukan saat pemerintah menjalankan adjusment (penyesuaian) antara penerimaan pajak (tax reveue) dengan pengeluaran pemerintah (goverment expenditure) yang berdampak pada tingkat penciptaan lapangan kerja, harga (inflasi), dan tingkat pertumbuhan ekonomi.  
Konsep kebijakan fiskal pertama kali diterapkan dalam skala besar di Amerika pada tahun 1930-an yaitu pada saat depresi melanda perekonomian Amerika. Saat itu pemerintah membutuhkan uang untuk membiayai berbagai jenis proyek agar dapat menampung banyak tenaga kerja (akibat banyaknya pengangguran) dan bertujuan untuk merehabilitasi perekonomian yang lesu (Harry Yusuf Laksana, 2003). Kebijakan fiskal merupakan salah satu kebijakan ekonomi makro yang paling utama (selain kebijakan moneter) yang bertujuan untuk menggairahkan perekonomian
(ekspansif) bila kondisi perekonomian sedang lesu, ataupun bertujuan untuk mengendurkan (kontraktif) perekonomian bila sedang memanas (overheating). Berbagai kebijakan fiskal mempunyai saluran yang bervariatif, yang mana, seluruh kebijakan fiskal ini dapat dilaksanakan melalui jalur kebijakan anggaran pemerintah (kalau di Indonesia dikenal dengan APBN).
APBN Dan Kebijakan Fiskal  
Pengaruh kebijaksanaan fiskal terhadap perekonomian bisa dianalisa dalam dua tahap yang berurutan, yaitu:
 a) Bagaimana suatu kebijaksanaan fiskal diterjemahkan menjadi suatu APBN;
b) Bagaimana APBN tersebut mempengaruhi perekonomian. Kebijaksanaan fiskal dapat dilihat dari struktur pos-pos APBN.
Dimana APBN mempunyai dua sisi, yaitu sisi yang mencatat pengeluaran dan sisi yang mencatat penerimaaan. Sisi pengeluaran mencatat semua kegiatan pemerintah yang memerlukan untuk pelaksanaannya. Dalam praktek macam pos-pos yang tercantum di sisi ini sangat beraneka ragam dan mencerminkan apa yang ingin dilaksanakan pemerintah dalam programnya, antara lain (Boediono,1986):
a) Pengeluaran pemerintah untuk pembelian barang/jasa,
 b) Pengeluaran pemerintah untuk gaji pegawai,
 c) Pengeluaran pemerintah untuk transfer payments yang meliputi misalnya, pembayaran subsidi atau bantuan langsung kepada berbagai golongan masyarakat, pembayaran bunga untuk pinjaman pemerintah kepada masyarakat.
Selain itu semua pos pada sisi pengeluaran tersebut memerlukan dana untuk melaksanakannya. Sisi penerimaan menunjukkan dari mana dana yang diperlukan tersebut diperoleh. Ada empat sumber utama untuk memperoleh dana tersebut, yaitu (Boediono, 1986): perekonomian secara keseluruhan
Dampak Kebijakan Fiskal
 Dari Sisi Permintaan. Keynes merupakan pelopor kebijakan fiskal yang teorinya (deficit spending) lahir sebagai reaksi dari depresi besar tahun 1930-an di Amerika Serikat. Pada waktu itu ekonomi Amerika Serikat mengalami stagflasi karena rendahnya permintaan efektif masyarakat, sementara penawaran dalam kondisi yang berlebihan. Untuk mengatsi hal itu, keynes mengusulkan kebijakan fiskal melalui kenaikan belanja untuk mendorong permintaan. Dasar pemikiran Keynes adalah ekspansi fiskal menimbulkan dampak pengganda terhadap permintaan agregat. Kemudian sejalan, dengan kondisi penawaran agregat yang masih mampu untuk merespon kenaikan permintaan agregat, maka hal itu tidak mengakibatkan kenaikan harga. Teori ini lebih tertuju pada pendekatan jangka pendek, sehingga kenaikan permintaan agregat yang dapat diterima adalah sebatas kapasitas terpasang yang tersedia (Anggito Abimanyu, 2003).
Dampak Crowding Out. Dalam perluasan model keynes, dibahas bahwa besaran pengganda tersebut akan berkurang karena adanya crowding out. Dampak ini terjadi apabila pengeluaran (permintaan) pemerintah bertindak sebagai subtitusi untuk pengeluaran swasta. Namun demikian, dampak crowding out tersebut tidak sampai membuat pengganda berubah tanda. Dampak crowding out bersumber dari menurunnya investasi dan apresiasi nilai mata uang, sebagai akibat dari naiknya tingkat bunga karena stimulus fiskal. Dengan demikian, besaran turunnya dampak pengganda tergantung kepada hal-hal sebagai berikut (Anggito Abimanyu, 2003):  
Sensitivitas investasi terhadap tingkat bunga. Dalam kaitannya dengan variabel ini, naiknya sensitivitas investasi terhadap tingkat bunga akan memperbesar penurunan dari koefisien pengganda. Namun demikian, apabila investasi merupakan fungsi positif dari pendapatan, maka angka pengganda tidak terlalu terpengaruh.
Hubungan antara permintaan uang dengan tingkat bunga dan pendapatan. Disini, semakin besar pengaruh tingkat bunga terhadap permintaan uang akan semakin menekan besarnya dampak pengganda, tetapi sebaliknya kenaikan pendapatan.
Tingkat keterbukaan ekonomi dan sistem nilai tukar yang digunakan.
Keterbukaan ekonomi menimbulkan peluang subtitusi permintaan, dari domestik menjadi impor, sehingga dapat berakibat pada mengecilnya dampak kebijakan fiskal yang diharapkan. Dalam kaitannya dengan sistem nilai tukar, sistem nilai tukar fleksibel yang digunakan dapat meningkatkan dampak crowding out, yang konsekuensinya adalah menurunnya efektifitas stimulus fiskal.
Dalam perkembangan selanjutnya, faktor fleksibilitas harga juga berpengaruh secara  negatif terhadap besarnya pengganda.  
Faktor lain yang juga mempengaruhi crowding out adalah asa nalar (rational expectation). Apabila kebijakan stimulus fiskal ditempuh secara permanen, maka hal tersebut akan menimbulkan harapan akan naiknya tingkat bunga dan menguatnya nilai tukar. Dalam kaitan ini, maka kebijakan stimulus fiskal menjadi kurang efektif karena mempunyai dampak crowding out yang cukup besar, sehingga angka penggandanya menjadi lebih kecil bahkan bisa negatif.
Selain itu, menurut pandangan Ricardian Equivalance, kebijakan fiskal tidak mempengaruhi pendapatan permanen dan pola konsumsi masyarakat. Hal tersebut disebabkan adanya pola pikir masyarakat yang berpendapat bahwa kenaikan pendapatan dari kebijakan stimulus fiskal pasti akan diikuti dengan kenaikan pajak di masa depan.  
Berdasarkan Mundell-Fleming model, kebijakan stimulus fiskal tidak akan efektif pada negara dengan perekonomian terbuka dan mempunyai sistem nilai tukar yang mengambang karena akan terjadi crowding out melalui nilai tukar yang mempengaruhi ekspor neto.
 
Defisit Anggaran (Defisit Budgeting) / Kebijakan Fiskal Ekspansif
 Defisit Anggaran adalah kebijakan pemerintah untuk membuat pengeluaran lebih besar dari pemasukan negara guna memberi stimulus pada perekonomian. Umumnya sangat baik digunakan jika keaadaan ekonomi sedang resesif. Pengertian pertama adalah Defisit Konvensional Defisit yang dihitung berdasarkan selisih antara total belanja dengan total pendapatan termasuk hibah. Pengertian kedua adalah Defisit Moneter. Defisit moneter merupakan selisih antara total belanja pemerintah (di luar pembayaran pokok hutang) dengan total pendapatan (di luar penerimaan hutang). Pengertian ketiga adalah Defisit Operasional. Merupakan defisit moneter yang diukur dalam nilai riil dan bukan nilai nominal. Sedangkan pengertian keempat adalah Defisit Primer, Merupakan selisih antara belanja ( di luar pembayaran pokok dan bunga hutang) dengan total pendapatan.  
 Sedangkan menurut Suparmoko (2000) Anggaran (budget) ialah suatu daftar atau pernyataan yang terperinci tentang penerimaan dan pengeluaran negara yang diharapkan dalam jangka waktu tertentu, yang biasanya adalah satu tahun. Dalam anggaran tersebut ada dua sisi yaitu sisi penerimaan dan sisi pengeluaran. Pada sisi penerimaan terdapat sumber penerimaan rutin atau penerimaan dalam negeri dan sumber penerimaan pembangunan. Penerimaan rutin terdiri dari penerimaan pajak langsung, pajak tidak langsung dan penerimaan bukan pajak. Penerimaan pembangunan terdiri bantuan program dan bantuan proyek. Pada sisi pengeluaran, pos-pos pengeluaran dibedakan menjadi pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Pengeluaran rutin terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, subsidi daerah otonom serta pembayaran bunga dan cicilan hutang. Pengeluaran pembangunan diperinci menjadi pengeluaran program pembangunan dan pengeluaran bantuan proyek (Suparmoko, 2000).  
 Secara akuntansi anggaran pemerintah terlihat bahwa penerimaan akan sama dengan pengeluaran, sehingga anggaran akan selalu terlihat dalam kondisi yang seimbang. Anggaran belanja pemerintah tidak selalu dalam keadaan seimbang, ada kalanya surplus dan ada kalanya defisit. Terjadinya defisit atau surplus anggaran ditandai dengan item penyeimbang baik dalam penerimaan maupun pengeluaran, sehingga akan terlihat terjadinya ketidakseimbangan antara pengeluaran dan penerimaan. Berbagai konsep pengukuran defisit anggaran sangat tergantung dengan kriteria yang digunakan dan tujuan analisis. Biasanya pilihan konsep defisit yang tepat tergantung oleh beberapa faktor, antara lain:  1) Jenis ketidakseimbangan yang terjadi, 2) Cakupan pemerintah (pemerintah pusat, konsolidasi pemerintah, dan sektor publik). 3). Metode akuntansi (cash dan accrual basis), 4). Status dari contingent liabilities (Simanjuntak, 2001).
 

Sebab-Sebab Munculya Defisit Anggaran
Menurut Barro (1989) ada beberapa sebab terjadinya defisit anggaran, yaitu:
 1). Mempercepat pertumbuhan ekonomi. Untuk mempercepat pembangunan diperlukan investasi yang besar dan dana yang besar pula. Apabila dana dalam negeri tidak mencukupi, biasanya negara melakukan pilihan dengan meminjam ke luar negeri untuk menghindari pembebanan warga negara apabila kekurangan itu ditutup melalui penarikan pajak. Negara memang di bebani tanggung jawab yang besar dalam meningkatkan kesejahteraan warga negaranya.
 2). Pemerataan pendapatan masyarakat. Pengeluaran ekstra juga diperlukan dalam rangka menunjang pemerataan di seluruh wilayah, sehingga pemerintah mengeluarkan biaya yang besar untuk pemerataan pendapatan tersebut. Misalnya pengeluaran subsidi transportasi ke wilayah yang miskin dan terpencil, agar masyarakat di wilayah itu dapat menikmati hasil pembangunan yang tidak jauh berbeda dengan wilayah yang lebih maju.
3).Melemahnya nilai tukar. Bila suatu negara melakukan pinjaman luar negeri, maka negara tersebut akan mengalami masalah bila ada gejolak nilai tukar setiap tahunnya. Masalah ini disebabkan karena nilai pinjaman dihitung dengan valuta asing, sedangkan pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman dihitung dengan mata uang negara peminjam tersebut. Misalnya apabila nilai tukar rupiah depresiasi terhadap mata uang dollar AS, maka pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman yang akan dibayarkan juga membengkak. Sehingga pembayaran cicilan pokok dan bunga pinjaman yang diambil dari APBN bertambah, lebih dari apa yang dianggarkan semula.
4).Pengeluaran akibat krisis ekonomi. Krisis ekonomi akan menyebabkan meningkatnya pengangguran, sedangkan penerimaan pajak akan menurun akibat menurunnya sektorsektor ekonomi sebagai dampak krisis itu, padahal negara harus bertanggung jawab untuk menaikkan daya beli masyarakat yang tergolong miskin. Dalam hal ini negara terpaksa mengeluarkan dana ekstra untuk program-program kemiskinan dan pemberdayaan masyarakat terutama di wilayah pedesaan yang miskin itu.
 5).Realisasi yang menyimpang dari rencana. Apabila realisasi penerimaan negara meleset dibanding dengan yang telah direncanakan, atau dengan kata lain rencana penerimaan negara tidak dapat mencapai sasaran seperti apa yang direncanakan, maka berarti beberapa kegiatan proyek atau program harus dipotong. Pemotongan proyek itu tidak begitu mudah, karena bagaimanapun juga untuk mencapai kinerja pembangunan, suatu proyek tidak bisa berdiri sendiri, tetapi ada kaitannya dengan proyek lain. Kalau hal ini terjadi, negara harus menutup kekurangan, agar kinerja pembangunan dapat tercapai sesuai dengan rencana semula.6).Pengeluran karena inflasi. Penyusunan anggaran negara pada awal tahun, didasarkan menurut standar harga yang telah ditetapkan. Harga standar itu sendiri dalam perjalanan tahun anggaran, tidak dapat dijamin ketepatannya. Dengan kata lain, selama perjalanan tahun anggaran standar harga itu dapat meningkat tetapi jarang yang menurun. Apabila terjadi inflasi, dengan adanya kenaikan harga-harga itu berarti biaya pembangunan program juga akan meningkat, sedangkan anggaran tetap sama. Semuanya ini akan berakibat pada menurunnya kuantitas dan kualitas program, sehingga anggaran negara perlu direvisi. Akibatnya, negara terpaksa mengeluarkan dana dalam rangka menambah standar harga  
 
Pengukuran kinerja berbasis anggaran.
Pengukuran dilakukan melalui penilaian selisih antara anggaran dengan realisasinya. Teknik tersebut dikenal dengan analisis selisih anggaran(analysis of budget variance). Jika selisih terjadi menunjukkan aktual yang lebih kecil daripada jumlah pengeluaran yang ditetapkan dalam anggaran (underspending) maka berarti kinerja sebuah satuan kerja adalah baik. Jika dalam pelaksanaan anggaran mengalami perubahan maka yang dijadikan tolak ukur adalah anggaran setelah mengalami perubahan(Mahsun ,2006). Contohnya adalah dalam menganalisa anggaran berbasis kinerja pada sebuah dinas pendidikan. Maka aspek yang dilihat adalah indikator kinerja dan indikator pencapaian organisasi.  
Dengan pengertian Anggaran berbasis kinerja tersebut maka setiap alokasi dana harus dapat diukur dari input yang ditetapkan. Untuk menghasilkan penyelenggaraan Anggaran Daerah yang efektif dan efisien, tahap persiapan/perencanaan anggaran merupakan salah satu faktor penting dan menentukan dalam keseluruhan siklus anggaran. Prinsip anggaran berbasis kinerja adalah pertama, transparansi yang merupakan keterbukaan dalam proses perencanaan, penyusunan, pelaksanaan dan pelaporan evaluasi anggaran, kedua, akuntabilitas yang merupakan pertanggungjawaban pada masyarakat, dan ketiga, ekonomis, efektif dan efisien yaitu pemilihan dan penggunaan sumber daya yang murah, penggunaan dana masyarakat yang efisien dan dapat mencapai target / tujuan pelayanan publik. Untuk dapat menyusun Anggaran Berbasis Kinerja terlebih dahulu harus disusun perencanaan strategik (Renstra).  
Penyusunan Renstra dilakukan secara obyektif dan melibatkan seluruh komponen yang ada di dalam pemerintahan dan masyarakat. Agar sistem dapat berjalan dengan baik perlu ditetapkan beberapa hal yang sangat menentukan yaitu standar harga, tolok ukur kinerja dan Standar Pelayanan Minimal yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundangundangan. Pengukuran kinerja (tolok ukur) digunakan untuk menilai keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan kegiatan/program /kebijakan sesuai dengan sasaran dan tugas yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan misi pemerintah daerah. Salah satu aspek yang diukur dalam penilaian kinerja pemerintah daerah adalah aspek keuangan berupa ANGGARAN BERBASIS KINERJA.  
Untuk melakukan suatu pengukuran kinerja perlu ditetapkan indikatorindikator terlebih dahulu antara lain indikator masukan (input) berupa dana, sumber daya manusia dan metode kerja. Agar input dapat diinformasikan dengan akurat dalam suatu anggaran, maka perlu dilakukan penilaian terhadap kewajarannya. Dalam menilai kewajaran input dengan keluaran (output) yang dihasilkan, peran Analisa Standar Biaya (ASB) sangat diperlukan. ASB adalah penilaian kewajaran atas beban kerja dan biaya yang digunakan untuk melaksanakan suatu kegiatan. Anggaran yang disusun dengan pendekatan kinerja dapat dijelaskan sebagai berikut:
 1). Suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang ditetapkan,
2). Output (keluaran) menunjukkan produk (barang atau jasa) yang dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan (input) yang digunakan,
 3). Input (masukan) adalah besarnya sumber dana, sumber daya manusia, material, waktu, dan teknologi yang digunakan untuk melaksanakan program atau kegiatan sesuai dengan masukan (input) yang digunakan,
4). Kinerja ditunjukkan oleh hubungan antara input (masukan) dengan output (keluaran).
Tantangan dan Peluang Implementasi Anggaran Berbasis Kinerja.
Penerapan sistem Anggaran berbasis Kinerja merupakan sebuah peluang bagi pemerintah namun disisi lain dapat menjadi tantangan. Hal itu dikarenakan dengan penerapan sistem anggaran berbasis kinerja berarti pemerintah daerah dapat menyusun arah, kebijakan dan program yang sesuai dengan kondisi masyarakat dan kondisi lingkungan daerah tersebut. Namun disisi lain , pemerintah harus memiliki perhatian lebih khususnya dalam penampungan aspirasi masyarakat, skala prioritas yang harus tepat dan fungsi pengawasan yang lebih ketat. Salah satu hal yang harus dipertimbangkan dalam penetapan belanja daerah adalah Analisa Standar Biaya (ASB). Alokasi belanja ke dalam aktivitas untuk menghasilkan output seringkali tanpa disertai alasan dan justifikasi yang kuat.
ASB mendorong penetapan biaya dan pengalokasian anggaran kepada setiap aktivitas unit kerja menjadi lebih logis dan mendorong dicapainya efisiensi secara terus-menerus karena adanya pembandingan (benchmarking) biaya per unit setiap output dan diperoleh praktek-praktek terbaik (best practices) dalam desain aktivitas. " The multiple and conflicting goals of public budgeting are widely discussed in the public administration literature. Schick (1966) described howover time the priorities of public budgeting shift as different levels of importance are associated with the goals of planning, financial control, and management improvements. In describing the goals of the budget process, Kasdin (2004) divides them into three groups: aggregate spending controls and the macroeconomic impacts, strategic or sectoral allocations, and technical or operational efficiency. Pradhan and Campos (1996) examine the role of government as a management tool, with built-in incentives to allocate program resources efficiently and minimize organizational slack  The goal of budgeting as a political instrument focuses on the realities imposed by the political environment. By contrast, the goal of budgeting as an economic instrument focuses on the use of the budget as a financial planning tool. The literature on the politics of public budgeting describes how this tension plays out in the political arena. Rubin (2000) describes the balance that executives must strike. On one hand, "Interest groups may contribute to deficits by making it difficult to raise taxes or cut programs.  
Pengeluaran negara akan berdampak pada peningkatan pendapatan nasional(expansionary) sedangkan penerimaan negara akan mengurangi pendapatan nasional(contractionary). Mengurangi atau menambah pengeluaran dan memperkecil atau memperbesar pendapatan dapat digunakan pemerintah sebagai alat untuk menjaga stabilitas ekonomi. Pola ini disebut sebagai fiscal policy(Kebijakan Fiskal) Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dikeluarkan untuk memulihkan kondisi ekonomi dengan cara mengeluarkan kebijakan seputar pajak, pinjaman , pengeluaran dan investasi. Fungsi utama kebijakan fiskal yaitu distribusi , alokasi dan stabilisasi. Fungsi Distribusi adalah pembagian pendapatan untuk menjamin pemerataan keadilan . adalah peranan kebijakkan fiskal dalam rangka pembagian kembali pendapatan. Berdasarkan mekanisme harga, pembagian pendapatan didasarkan pada pemilikan sumberdaya atau fakor- fakor produksi. Pemilik sumberdaya tanah akan memperoleh sewa tanah, pemilik sumberdaya modal akan memperoleh bunga, pemilik tenaga kerja akan memperoleh upah , dan para wirausaha akan memperoleh laba, dengan adanya mekanisme seperti itu tentu saja ada kelompok anggota masyarakat yang karena kondisi asalnya hanya akan memiliki sebagian atau bahkan tidak memiliki faktor-faktor produksi sama sekali. Hal yang demikian menimbulkan suatu kesenjangan ditengahtengah masyarakat kita.Oleh karena distribusi pendapatan mengandung unsur publik maka pemerintahlah yang harus tampil untuk mengatasi ketidakmerataan pembagian pendapatan. Misi pemerataan pendapatan yang diemban pemerintah tersebut dilaksanakan melalui sisi penerimaan, terutama pajak yang dapat menjadi instrumen bagi pemerintah untuk lebih bisa mengadilkan pembagian pendapatan, yaitu melalui pajak penghasilan dengan struktur tarif pogresif. Tarif progresif ini merupakan suatu tariff pajak dimana makin besar pendapatan maka tariff pajak rata-rata ( average tax rate ) maupun tarif pajak marginal ( marginal tax rate ) nya meningkat. Pengenan tar if pajak progresif ini memungkinkan jarak antara pendapatan kelompok berpenghasilan rendah dengan yang berpenghasilan tinggi menjadi lebih sempit. Sisis pengeluaran dari anggaran juga dapat menjadi instrumen dalam pembagian kembali pendapatan, yaitu melalui program pembayaran transfer atau subsidi. Fungsi alokasi yaitu mengatur alokasi faktorfaktor produksi dalam menghasilkan barang publik dan privat. Seperti diketahui bahwa masyarakat membutuhkan baik barang private dan barang publik. Selain dalam rangka penyediaan barang publik, sumberdaya nasional juga harus dialokasikan ke sektor publik karena perlunya peranan pemerintah didalam mengatasi kegagalan meknisme pasar.  
Pengertian fungsi alokasi itu sendiri adalah:
 mengalokasikan sebagian sumberdaya dalam rangka menghasilkan barang dan jasa guna memenuhi kebutuhan konsumen yang dalam hal ini adalah masyarakat indonesia. Dengan adanya konsep Desentralisasi Fiskal maka fungsi alokasi ini seharusnya bisa memberikan ruang yang cukup luas dalam berbagai macam alokasi-alokasi terutama pada berbagaimacam sumberdaya serta pajak kepada daerah, sehingga proses distribusinya berjalan secara adil dan merata yang nantinya dalam jangka panjang akan mengakibatkan keadaan yang merata sesuai dengan apa yang dicitacitakan bangsa ini, ketidak merataan yang disebut Anggaran Berbasis Kinerjaan karena ketimpangan kepemilikan sumberdaya tidak akan dirugikan karena dalam desentralisasi ini keikutsertaan pemerintah tidak 100% hilang namun masih ada sedikit campur tangan dari pemerintah dalam mengatasi hal ini, sehingga daerah yang banyak terdapat sumberdaya dan pajaknya tidak merasa dirugikan karena alokasi serta distribusi penghasilan yang tidak adil, lebih banyak tersentralisasi daripada terdesentralisasi, dan daerah yang sedikit memiliki sumberdaya tidak akan merasa kekuarangan karena distribusi dalam desentralisasi fiskal yang sesuai. Sedangkan fungsi stabilitas yaitu untuk menjamin tingkat pertumbuhan, mempertahankan stabilisasi harga, kesempatan kerja dan kurs.
Kesimpulan
Dalam konsep ekonomi dikenal dua kebijakan ekonomi yang utama, yaitu kebijakan moneter dan kebijakan fiskal. Kebijakan moneter merupakan pengendalian sektor moneter, sedangkan kebijakan fiskal merupakan pengelolaan anggaran pemerintah (budget) dalam rangka mencapai tujuan pembangunan (Jaka Sriyana, 2007).  
Desentralisasi fiskal adalah salah satu bentuk reformasi kebijakan anggaran. Melalui desentralisasi fiskal diharapkan pemerintah daerah dapat melihat kebutuhan daerah secara tepat dan menggunakan segala bentuk inovasi dalam mencapai efektifitas dan efisiensi anggaran baik dalam sektor penerimaan maupun pengeluaran. Sistem penganggaran yang selama ini diterapkan di Indonesia yang bersifat kaku, hirarkis dan tradisional dirasa sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan di Indonesia khususnya setelah diterapkannya otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang memuat berbagai perubahan mendasar dalam pendekatan penganggaran maka jelaslah bahwa pemerintah pusat telah berusaha untuk berbagi kewenangannya kepada pemerintah daerah.
Anggaran berbasis kinerja merupakan anggaran yang penyusunannya menggunakan pendekatan "bottom-up budgeting". Anggaran merupakan komitmen antara pimpinan dengan pelaksana. Dengan demikian, anggaran berbasis kinerja ini dapat memacu pelaksana untuk beraktivitas secara optimal dan atau berperilaku sebagaimana yang diharapkan. Proses perencanaan anggaran dalam sistem anggaran berbasis kinerja dilakukan dengan dua pendekatan, yaitu penjaringan aspirasi masyarakat dan perencanaan strategis. Sistem anggaran baru memberikan desentralisasi urusan anggaran daerah dan menggunakan pendekatan manajemen yang terpadu. Sistem anggaran ini memungkinkan semua unsur dalam sistem kemasyarakatan di daerah terlibat dalam menentukan arah pembangunan sehingga pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan keinginan riil masyarakat serta terintegrasi antarpihak terkait. Sistem anggaran berbasis kinerja dan otonomi daerah menuntut
Pemda kreatif untuk menggali dan memanfaatkan potensi daerah secara optimal untuk kemajuan daerah. Perencanaan strategis juga memungkinkan Pemda menegakkan akuntabilitas (pengukuran kinerja), pelaksanaan rencana, pemantauan pelaksanaan, dan penyediaan umpan balik untuk masyarakat sehingga ada perubahan yang positif di berbagai bidang secara terusmenerus. Kesulitan lain dalam pengukuran kinerja adalah kesulitan dalam memastikan hubungan antara input dan output. Di pihak lain penentuan ukuran kinerja merupakan hal penting sebagai alat motivator. Contoh, salah satu akuntabilitas kinerja instansi pemerintah adalah akuntabilitas progam. Fokus kinerja akuntabilitas progam adalah pada pencapaian hasil kegiatan instansi apakah sudah memberikan kepuasan/kenyamanan kepada pelanggan (customer) dan stakeholders serta memberikan dampak positif kepada kemajuan masyarakat. Alat ukur untuk kinerja ini sangat kompleks sehingga dibutuhkan ketelitian pemerintah daerah dalam membuat dan mengawasinya
 

 
Ahmeth. 2010 . Kebijakan Fiskal. Diunduh pada http://adiewongindonesia. blogspot.com /2010 /02/ kebijakan-fiskal.html' tanggal 5 Juni 2010, jam 20.00 WIB.
Boediono. Keterangan Menteri Keuangan tentang Rencana Kerja Pemerintah, Kerangka Ekonomi Makro dan PokokPokok Kebijakan Fiskal RAPBN, 2005.  
Boediono. Kebijakan Fisikal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi, Jakarta: Kompas, 2003.  
M.L Jhingan. Ekonomi Pembangunan dan
Perencanaan, Jakarta: Rajawali Pers, 2003.
Nopirin. Ekonomi Moneter, Yogyakarta: BPFE, 1987.
Basuki. 2007. "Pengelolaan Keuangan Daerah". Yogyakarta : Kreasi Wacana.
Brata, Atep Adya dan Trihartanto dan Bambang. 2004. "Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah". Jakarta: Alex Media Kompotindo.
Durachman. 2005. Analisis Proses Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja Di Dinas Kesehatan Provinsi Jambi. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Gajahmada. Tidak Diterbitkan
Fatimah. 2009. Analisiss kebijakan Belanja dan kinerja pelayanan dinas pendidikan dan kesehatan kota Payakumbuh. Tesis . Program Pasca Sarjana Unand. Tidak diterbitkan.
Subiyantoro, Heru dan Riphat Singgih. 2004. "Kebijakan fiskal. Pemikiran , konsep dan implementasi." Jakarta : Kompas Media. 2004.
Soedibyo, Bambang .2001. Stabilisasi dan harmonisasi perekonomian Indonesia. Kompas, jumat 8 juni 2001 hal 4. Diunduh pada "http://kompas.com/ Stabilisasi dan harmonisasi perekonomian Indonesia" ,tanggal 5 Juni 2010, jam 20.00 WIB
Yenida. 2007. Analisis pengaruh desentralisasi fiskal terhadap belanja pelayanan daerah di Kabupaten/kota Propinsi Sumatera Barat. Tesis. Program Pasca Sarjana UNAND. Tidak diterbitkan.
Waluyo, Joko. 2007. Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Dan Ketimpangan Pendapatan
Antardaerah Di Indonesia. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta. Tidak diterbitkan.
Maryatmo R tentang. 2008"Dampak Moneter kebijakan Defisit Anggaran Pemerintah dan peranan Asa Nalar Dalam Simulasi Model Makro Ekonomi Indonesia ( 1983:1- 2002:4)".
Subdiyanto, Heru dan Riphat, Singggit. 2004." Kebijakan fiskal. Pemikiran , konsep dan implementasi." Jakarta : Kompas Media. Hal:56
Brata, Atep Adya dan Trihartanto dan Bambang. 2004. "Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Negara/Daerah". Jakarta: Alex Media Kompotindo. Hal : 19.
Meier, G.M. (1995). Leading issues in economic development. Sixth ed. New York: Oxford University Press.
Romer, D. (1996). Advance macroeconomics. Singapore: McGraw-Hill International Editions. Economics Series.
Brysson, J. M. (2004). Strategic planning for public and nonprofit organizations (3rd ed.). San Francisco, CA: Jossey-Bass.
Bryson, J. M., Berry, F. S., & Yang, K. (2010). The state of public strategic management research: A selective
Behn, B. D. (1980, November/December). Leadership for cutback management: The use of corporate strategy. Public
Administration Review, 613-620.
Kasdin, S. (2004, October). Using budget systems to enhance program performance and agency management. Paper presented at the Association for Public Policy Analysis and Management conference, Atlanta, GA.
Schick, A. (1966). The road to PPB: The stages of budget reform. Public Administration Review, 26, 243-258.
Rubin, I. S. (2000). The politics of public budgeting: Getting and spending, borrowing and balancing (4th ed.). Washington, DC: Chatham House/Seven Bridges.
Pradhan, S.,&Campos, E. (1996). Budgetary institutions and expenditure outcomes: Binding governments to fiscal performance (Policy Research Working Paper 1646). Washington, DC: World Bank.
Key, V.O. Jr (1940). The lack of a Budgetary Theory. American Political Science Review. 34, published in: J.M. Shafritz and A.C. Hyde (1997), Classics of Public Administration, 5th edition (Belmont: Wadsworth/Thomson, (2004), 109-113.
Downs, A. (1960). Why the Government Budget is Too Small in a Democracy. World
Politics, 12 (4), 541-563.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun