Mohon tunggu...
Fery Mulyana
Fery Mulyana Mohon Tunggu... Entrepreneur

Posibilis - Non Delusional

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Intermezzo Kehidupan

25 Oktober 2024   14:55 Diperbarui: 6 September 2025   15:40 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu berjalan dalam iramanya yang sunyi, seorang penari abadi yang tak pernah lelah. Kadang ia merangkak bak siput di terik, kadang melesat bagai anak panah yang meluncur dari busurnya. Dalam hening, bayangan masa kecil hadir bagai lukisan kabur yang terpendam di loteng ingatan; manis, samar, dan berdebu.

Badan ini pun mulai bercerita dalam bahasanya sendiri. Kulit yang dahulu kencang kini mulai berlemak, bercerita tentang setiap paparan matahari dan angin yang pernah dilalui. Wajah, kanvas yang dahulu dipenuhi cerahnya mentari pagi, kini mulai diukir garis-garis halus oleh pahatan pengalaman. Rambut yang hitam pekat berangsur memudar, seiring dengan ingatan yang mulai redup, tak lagi setajam dulu. Mata, jendela jiwa yang pernah begitu awas menyigi dunia, kini mulai berawan. Setiap huruf kecil di bungkus makanan menjadi teka-teki yang membutuhkan kesabaran untuk dipecahkan.

Kita telah melampaui masa muda, namun belum sepenuhnya menyandang gelar tua. Obrolan liar penuh tawa tentang petualangan remaja telah berganti menjadi bisik-basik hangat tentang herbal dan resep dokter, diselingi keluh kesah atas lutut yang kerap berbunyi dan punggung yang mudah pegal. Undangan pesta ulang tahun yang riuh perlahan digantikan oleh undangan pernikahan, lalu belasungkawa. Kegembiraan mencari alamat rumah teman untuk sekadar kumpul, bergeser menjadi pencarian nomor kamar di rumah sakit, yang kadang berujung pada petak terakhir di blok pemakaman.

Kematian adalah satu-satunya janji yang pasti dalam hidup. Meski usia bukan jaminan, namun statistika alam seringkali menunjukkan bahwa yang lebih tua lebih dahulu pergi. Maka, detik demi detik, kita dihadapkan pada perpisahan: kepergian kakek-nenek yang bijak, orang tua yang membesarkan, paman-bibi yang mencandu, hingga sahabat-sahabat seperjalanan. Mereka adalah saksi bisu dari setiap episode hidup kita; dari tangis pertama kelahiran, kenakalan masa remaja, kebahagiaan pernikahan, hingga kesuksesan dan kadang, kesombongan kita. Kini, giliran kita menjadi saksi bagi kemunduran mereka, menyaksikan ketabahan mereka menghadapi kerapuhan, dan menjadi bukti dari bakti anak-anak mereka yang setia.

Hari teragung dalam hidup setiap insan mungkin adalah hari ketika napasnya yang terakhir mengembara. Di hari itu, semua yang pernah mencinta akan berkumpul, meratapi kepergian yang terasa terlalu cepat. Tangisan dan rintihan akan memenuhi udara, mengiringi kepergian kita. Namun, roda zaman terus berputar tanpa ampun. Kesedihan yang mendalam perlahan akan berubah menjadi kisah sedih yang sesekali diceritakan. Luka itu akan berubah menjadi parut, dan parut itu akhirnya memudar. Orang-orang akan beranjak dan melanjutkan hidup masing-masing, membawa memori kita dalam kantung-kantung kecil ingatan mereka yang semakin lama semakin jarang dibuka.

Tahun-tahun bergulir, nisan kita pun akan semakin sepi, hanya dikunjungi angin dan hujan. Cucu-cicit yang lahir ke dunia tak akan pernah mengenal kita. Cerita hidup kita yang dahulu heroik akan tenggelam oleh kelucuan dan kenakalan generasi baru. Nama kita, beserta seluruh kisah suka dan duka, akan terampas oleh laju waktu, tergilas roda peradaban yang tak kenal belas. Ia akan terpendam di palung sanubari yang paling dalam, terkubur dalam remang-remang zaman, dan akhirnya pupus ditelan usia.

Ah, hidup... betapa kau telah memberiku serangkaian ujian dan tantangan. Setiap kali pikiranku mulai matang dan siap menghadapi satu episode, kau segera mengganti babaknya dengan plot dan konflik baru yang tak kalah pelik. Terkadang, lelah dan mumet menyergap, membuatku berharap segalanya cepat berakhir. Namun, pantaskah sang pengembara pulang sebelum perbekalannya cukup? Pantaskah pertunjukan usai sebelum seluruh pesan moral disampaikan?

Seringkali, kepicikan hati mengelabui, meracuni jiwa dengan iri dan dengki. Namun, sadarlah, sahabat. Tubuh kita hanyalah kumpulan organisme sementara, mesin rumit yang dicipta semata untuk bertahan hidup. Kematian kita hanyalah sebuah titik kecil dalam siklus kosmik yang maha luas. Kita mungkin akan terurai, menyatu dengan tanah, menjelma menjadi ganggang di sungai, atau menjadi bakteri lucu di balik bulu kucing, atau mungkin partikel debu yang diterbangkan angin.

Pada akhirnya, keberadaan kita adalah konsekuensi dari dentuman besar kosmos, hantaman asteroid purba, dan sup primordial yang mendingin, lalu secara ajaib merangkai diri menjadi sel kehidupan pertama yang kemudian berevolusi hingga menjadi "aku" dan "kamu" yang sadar.

Maka, di hadapan semesta yang begitu luas dan tua, masih pantaskah kita membusungkan dada, memamerkan ego dan kesombongan? Hidup dan mati hanyalah dua sisi dari koin yang sama dalam siklus ketidaksengajaan yang agung. Kita adalah cara alam semesta untuk mengalami dirinya sendiri—sebentar saja, namun penuh makna.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun