Mohon tunggu...
Fery Mulyana
Fery Mulyana Mohon Tunggu... Administrasi - Entrepreneur

Posibilis - Non Delusional

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jalan Senyap Mengubah Takdir

30 Juli 2019   13:55 Diperbarui: 30 Juli 2019   18:23 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photographed By: Fery Mulyana


1986
Hari itu tahun ajaran baru, hari pertama sekolah, anak kecil itu berlari-lari menyusuri gang sempit dikampungnya, rumah-rumah penduduk berjejer rapat, kadangkala tubuh kecilnya menyelinap diantara himpitan belakang rumah tetangganya, hanya sekedar mencari jalan pulang yang lebih cepat, padahal rumahnyapun tak begitu jauh, hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari sekolahan tempat dia baru saja menimba ilmu.


Rasa rindu akan rumahnya telah begitu memuncak, padahal untuk anak kelas satu SD saat itu hanya sekolah dari pukul 7 hingga 10 pagi. Ini adalah pengalaman pertamanya bersekolah. Dia memang tidak pernah masuk TK sabagaimana teman-temannya yang lain. Ibunya bilang, TK hanya untuk orang kaya, selain itu, tidak ada TK yang dekat dari kampungnya. Hanya SD yang ada di kampungnya. SD yang telah berdiri  entah sejak kapan, yang jelas sudah ada  sejak kakak yang paling besar yang saat itu sudah menginjak  kelas 3 SMP hingga kakaknya yang kedua yang sudah menginjak kelas 6 SD saat itu.


Sebenarnya di sekolah itu, hanya sebagian kecil teman kelas yang baru dikenalnya, sisanya adalah teman-teman sekampungnya yang juga entah sejak kapan, sepanjang ingatannya, mereka sudah bermain dan mengaji bersama.


Sesampainya di rumah anak itu memeluk ibunya yang sudah menunggunya di halaman depan rumah kecilnya. Terlihat tumpukan kayu dan papan di pojok-pojok  bangunan yang baru saja selesai di renovasi. Rumah itu tidak terlalu besar, hanya cukup untuk menampung mereka berlima, ayah, ibu, anak kecil itu dan kedua kakaknya.


Ayi, nama anak kecil itu, tangannya dituntun masuk  ibunya kedalam rumah seraya membukakan sepatu barunya, belakangan ini dia baru merasakan licinnya lantai rumah yang diplester tembok, maklum, sebelumnya, rumahnya hanya beralaskan tanah yang jika hujan turun, lantai tanahnya ikut basah, seringkali dia dan kakaknya dimarahi ibunya karena menggali kolam-kolaman di dalam rumah.


Kali ini mereka pun memiliki kamar sendiri. Kakak pertamanya perempuan yang saat itu mulai beranjak remaja mendapatkan jatah satu kamar sendiri. Sedangkan anak kecil itu dengan kakak keduanya yang juga laki-laki  mendapatkan satu kamar untuk berdua. Kamar mereka juga berdinding tembok dan berpintu triplek dan memiliki WC. Sebelumnya, rumah yang mereka tempati tersebut  berdinding bilik bambu, dua kamar, satu untuk orang tua mereka dan satu untuk mereka bertiga yang hanya menggunakan kain sebagai tirai untuk akses masuk ke dalam kamarnya. mereka tidak memiliki wc, sehingga segala kebutuhan yang berkaitan dengan air mereka angkut dari kolam ikan dekat lembah, lebih jauh sedikit dibanding jarak ke sekolah.  


"pake baju ini" kata ibunya seraya memberikan baju ganti untuk ayi. Ayi menurut saja, dia melepas baju sekolahnya yang lusuh. Dia memang baru masuk sekolah, tapi dia tidak punya seragam baru, seragamnya adalah bekas dari kakak-kakaknya yang sudah kecil, kadangkala ia pun menggunakan kaos dalam yang berpita. bekas kakak perempuannya yang kini sudah tidak muat lagi di badannya.


Setelah itu, ayi pun dibawa pergi ibunya, naik oplet,  ayi tidak bertanya-tanya kemana ibunya membawanya, dia hanya senang naik mobil, hal yang jarang sekali dilakukannya, maka ketika ibunya pun membawanya naik bus sesaat setelah turun dari oplet itu, ayi pun malah tambah kegirangannya, itu adalah pertama kalinya dia menaiki mobil yang sangat besar baginya.


Ayi tidak pernah menyangka perjalanannya akan memakan waktu lama, setelah kurang lebih satu jam dia berada di atas bus, kepalanya mulai pusing dan pandangannya menguning, perutnya terasa sakit dan mual, dia sandarkan kepalanya ke pangkuan ibunya seraya seraya bilang "pusing"seraya merengek. Ibunya baru sadar bahwa hari itu, belum sedikitpun makanan yang masuk ke perut ayi. Tapi apa daya ibunya hanya bisa mengurut kepala ayi sambil sesekali menuangkan botol hijau kecil selayaknya minyak angin dan mengusapkannya ke kepala dan perut anak kecil itu. Dia sadar bahwa uangnya tidak cukup untuk membeli makanan.


Ibu ayi adalah sosok yang tangguh dan sabar, perawakannya kurus kecil, belakangan ini dia menerima kabar yang tidak sedap. Tiba-tiba tetangga yang juga sekaligus guru SD anaknya mengundangnya dan menyampaikan sejenis tausiyah tentang hidup sabar dan tawakal, sekaligus mengenai surga yang akan didapat para istri yang menerima suaminya menikah lagi. 

Guru itu menutup tausiyah singkatnya dengan informasi bahwa suami teh ati yaitu ibunya ayi telah menikah lagi, dan sekaligus memohon untuk mengijinkan suaminya bergilir ke tempat istri mudanya yang baru. Entah apa maksud pak guru tersebut, apakah dia memang sengaja membocorkan rahasia suaminya ataukah memang sengaja disuruh sahabatnya yaitu suami teh ati untuk memohonkan dan memaklumi "shift" mingguan yang akan dijalankan suaminya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun