Budaya "kaya instan" ini menciptakan dua jenis dampak buruk:
1. Erosi Nilai Grit dan Delayed Gratification
- Hilangnya Ketahanan: Generasi ini jadi rapuh terhadap kegagalan. Karena mindset-nya adalah quick win (menang cepat), begitu ketemu hambatan besar, mereka langsung menyerah. Mereka tidak punya daya tahan (grit) yang dimiliki para old money yang sudah berkali-kali bangkrut tapi bangkit lagi.
- Penolakan Proses: Mereka melihat proses membangun bisnis (izin, marketing bertahun-tahun, quality control) sebagai hambatan yang harus dihindari, bukan sebagai fondasi yang harus dibangun.
2. The Scammer's Paradise (Surga Penipu)
Ketika mentalitas "kaya instan" mendominasi, pasar menjadi rentan terhadap skema penipuan (Skema Ponzi, investasi bodong, MLM berkedok trading).
- Logika Korban: "Saya tahu ini terlalu bagus untuk jadi kenyataan, tapi saya takut ketinggalan kesempatan kaya raya. Cuma saya yang rugi kalau saya nggak ambil!"
- Budaya: Budaya ini menormalisasi mencari loophole (celah) atau hack (jalan pintas) daripada membangun nilai otentik. Etika bisnis jadi nomor sekian, yang penting cuannya cepat.
Kesimpulan Gossip:
Kita harus menyadarkan mereka, bahwa yang membedakan Old Money dengan New Money yang cepat hilang adalah kecepatan berpikir vs. kecepatan hasil.
- Old Money: Bergerak lambat, tapi pondasi kuat. Fokus pada nilai abadi (tanah, brand equity, cash flow).
- Generasi Instan: Bergerak cepat, tapi rapuh. Fokus pada keuntungan musiman (kripto pump and dump, tren viral).
Kekayaan sejati itu butuh waktu, seperti anggur mahal yang harus difermentasi, bukan mie instan yang cuma diseduh 3 menit! Apakah kita harus kembali merayakan proses jatuh bangun para pebisnis sejati agar mindset ini berubah?
#oldmoney
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI