Di tengah gemerlapnya panggung media sosial dan tuntutan zaman, seringkali kita tergoda untuk mendefinisikan "pasangan ideal" dari luaran saja. Berapa tebal dompetnya? Seberapa banyak aset yang ia punya? Atau seberapa rupawan parasnya, bahkan jika itu adalah hasil polesan dokter kecantikan? Sebagai jurnalis yang sudah kenyang asam garam melihat berbagai dinamika hidup, saya berani bilang: pemikiran itu adalah jebakan.
Kekayaan, apalagi yang hanya limpahan dari keluarga, bisa lenyap secepat kilat jika tak dikelola dengan bijak. Sebuah aset besar bisa jadi beban besar jika pengelolanya tak memiliki karakter finansial yang mumpuni, tak tahu bagaimana menghasilkan, mempertahankan, apalagi mengembangkan. Demikian pula dengan paras menawan; ia akan menua, keriput, bahkan sekalipun teknologi estetika menawarkan jalan pintas, itu bukan jaminan kebahagiaan batin.
Yang seharusnya menjadi inti pencarian kita adalah karakter. Pernikahan bukanlah panggung sandiwara yang bisa kita hias seindah mungkin di depan umum, lalu berantakan di belakang layar. Ia adalah komitmen seumur hidup yang membutuhkan fondasi kuat dari karakter yang selaras. Jika di awal hubungan sudah terasa ada ketidakcocokan fundamental dalam prinsip atau cara pandang, percayalah, melanjutkan hanya akan menjadi bom waktu.
Jangan pernah berpikir atau bahkan "bermain Tuhan" dengan harapan bisa mengubah pasangan setelah menikah. Pernikahan bukan bengkel reparasi karakter. Setiap individu wajib selesai dengan dirinya sendiri -- mengenal kekuatan dan kelemahan, berdamai dengan masa lalu, serta memiliki tujuan hidup yang jelas -- sebelum berani memulai hubungan yang serius. Kematangan diri adalah kunci utama, bukan sekadar usia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI