Mohon tunggu...
trimanto ngaderi
trimanto ngaderi Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis Lepas

Pendamping Sosial diKementerian Sosial RI;

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Ramadhan: Proses Penyucian Diri atau Sekadar Tradisi

1 Mei 2022   06:52 Diperbarui: 1 Mei 2022   07:32 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
source: https://suara.com

RAMADHAN: PROSES PENYUCIAN DIRI ATAU SEKEDAR TRADISI

Beragam cara orang dalam menyambut bulan suci Ramadhan. Beragam pula aktivitas seseorang dalam menjalani dan mengisi bulan kemuliaan ini. Namun, setidaknya ada dua golongan manusia dalam menyikapi setiap kali Ramadhan datang:


Golongan Pertama

Golongan ini adalah mereka yang sudah lama menanti-nanti datangnya bulan Ramadhan. Mereka penuh semangat dalam menyambut bulan suci dan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Mempersiapkan diri dalam hal fisik, hati, mental, termasuk juga persiapan materi (uang).

Mereka mengisi bulan Ramadhan dengan bersungguh-sungguh. Mulai dari shalat Tarawih, tadarus dan tadabbur Al Qur'an, qiyamul lail, dzikir dan doa, infaq dan sedekah, mengikuti kajian, itikat di 10 hari terakhir Ramadhan, dan berbagai amal saleh lainnya.

Puasanya pun tidak hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum, tapi juga menahan diri dari berbagai hal yang bisa membatalkan pahala puasa dan mengurangi nilai puasa. Lidahnya menahan diri dari berkata dusta, ghibah, atau ucapan yang bisa menyakiti perasaan orang lain. Tangannya pun menahan diri dari perbuatan tercela, seperti menzalimi orang lain, berbuat curang, menulis di media sosial yang mengandung provokasi, berita bohong, atau memposting konten yang tak pantas.

Teliganya juga dijaga dari mendengar gosip, ghibah, atau obrolan tidak bermanfaat. Penglihatannya dijaga dari melihat yang diharamkan: melihat lawan jenis dengan syahwat, melihat pornografi, dan berbagai postingan di media sosial yang tidak bermanfaat. Ta lupa juga menjaga hati dari iri dengki, kebencian, kemarahan, dan perasaan negatif lainnya.

Waktunya benar-benar dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk melakukan ibadah kepada Allah dan amal saleh kepada sesama manusia. Tidak ada waktu dibiarkan berlalu tanpa diisi dengan kebaikan. Mereka merasa, Ramadhan adalah kesempatan untuk memperbanyak ibadah dan beramal saleh. Kesempatan untuk bertaubat dan memperbanyak istighfar. Momen untuk bermuhasabah dan memperbaiki diri. Waktu untuk merenung (tafakkur) dan berkontemplasi (dari mana kita berasal, untuk apa diciptakan, dan ke mana setelah mati).

Tak ketinggalan juga, Ramadhan sebagai sarana untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Sebagai sarana untuk men-charge energi spiritual untuk digunakan dalam menghadapi kehidupan setahun yang akan datang.

Dan yang terpenting adalah di bulan Ramadhan ini mereka tidak hanya sekedar mengejar kuantitas ibadah, tapi juga meningkatkan kualitas. Tidak hanya sekedar seremonial ibadah semata, tapi berusaha melakukan penghayatan dan pemaknaan.

Bukan cuma ucapan dan gerakan ibadah yang kering dan kaku, melainkan  ada proses internalisasi.

Ramadhan benar-benar mereka gunakan dalam rangka proses penyucian jiwa dan berusaha sekuat tenaga untuk mencapai derajat orang yang bertakwa (la'allakum tattaquun).

Golongan Kedua

Yaitu golongan yang menyambut datangnya Ramadhan dengan biasa-biasa saja dan tanpa mempersiapkan diri. Mereka menganggap bulan puasa adalah bulan biasa sebagaimana bulan-bulan lainnya. Tidak ada yang istimewa, karena hal itu terjadi berulang-ulang setiap tahunnya. Bagi mereka, yang terpenting adalah jika orang lain pada berpuasa, mereka ikut puasa.

Tidak ada amalan atau kegiatan khusus yang mereka lakukan di bulan Ramadhan. Ibadahnya masih sama dengan bulan-bulan sebelumnya. Tidak ada ibadah yang perlu ditingkatkan. Dalam melakukan sebuah amalan, mereka lebih banyak hanya ikut-ikutan. Jika orang pada shalat Tawarih, mereka juga melakukannya. Itupun tidak full, biasanya hanya di awal dan di akhir saja. Makanya di masjid kalau sudah minggu kedua dan ketiga menjadi sepi.

Jika orang lain tadarus Al Qur'an di masjid usai shalat Tarawih, mereka pun sesekali juga ikut. Akan tetapi, tadarus di sini cenderung hanya mengejar kuantitas (banyaknya). Jadi membaca Al Qur'annya dengan cepat dan kurang memperhatikan tajwid dan makhrajul huruf maupun tanda bacanya, tanpa nada dan irama yang enak didengar. Terdengar seperti suara dengungan yang monoton dan tanpa estetika.

Bahkan, yang lebih memprihatinkan lagi adalah para remaja yang pamit ke orang tuanya akan tadarus Al Qur'an di masjid, sesampai di masjid mereka tidak jadi tilawah, hanya bermain HP hingga tengah malam. Sehingga karena mengantuk, usai makan sahur mereka tertidur pulas hingga bangun kesiangan (shalat Subuh menjadi lalai/terlambat). Di siang hari pun demikian halnya, seharian mereka gunakan untuk banya-banyak tidur atau bermain HP.

Para ibu menggunakan waktu luangnya untuk ngerumpi di salah satu rumah tetangga, atau memperbanyak menonton telelvisi. Sedangkan bapak-bapak menghabiskan waktu nongkrong di pos kamling atau seharian pergi memancing.

Di masjid ada kenduri (punggahan-pudunan) mereka ikut. Ada kenduri khataman Qur'an mereka juga ikut.  Intinya lebih banyak ikut-ikutan kebiasaan yang ada di masyarakat sekitarnya. Sedangkan secara pribadi, dia tidak ingin meningkatkan kualitas ibadahnya. Tidak ingin berinfaq-sedekah, mengikuti kajian, membaca buku, shalat-shalat sunnat, kegiatan sosial, dan lain sebagainya.

Golongan kedua inilah menganggap bahwa bulan Ramadhan tidak lebih dari sekedar tradisi semata.

So, kalau Anda termasuk yang mana hehe... :)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun