Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Hari Samudra Kok Tidak Ada - Kasidi Nomor 528

24 September 2021   10:03 Diperbarui: 16 Februari 2022   16:51 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
 https://www.sulutaktual.com/2021/04/06/

                                                                                               

Hari Samudra Kok Tidak Ada
Tri Budhi Sastrio

Lho ini bagaimana? Giliran Hari Pertanian sebuah artikel yang bagus dimunculkan tetapi ketika Hari Samudra yang tiba, eh jangankan artikel, komentar basa-basi juga tidak ada. Atau jangan-jangan memang tidak ada yang menulis, atau tidak ada yang peduli dan semuanya abai begitu saja. Bukankah bung Dahlan bisa menulis sendiri tentang ini, tentang samudra, tentang laut, tentang kemaritiman di Indonesia, sejak jaman purba sampai ke masa digital antariksa?

          Meskipun NKRI sering disebut sebagai negeri kepulauan tetapi sejatinya nama yang benar adalah negeri samudra, negara samudra, negara kesatuan samudra. Mengapa? Karena memang inilah faktanya, inilah realitanya.

          Luas Indonesia yang hampir mencapai dua juta kilometer persegi adalah luas samudranya, adalah luas lautnya. Di dalam area samudra nan luas inilah terdapat banyak pulau yang besar maupun yang kecil. Yang berpenghuni atau yang tidak berpenghuni. Jadi konsep berpikir rakyat negara ini seharusnya adalah konsep samudra, di dalam kawasan samudra itulah mereka hidup dan melakukan segala aktivitas yang diperlukan termasuk bertani dan bercocok tanam.

          Dulu semasa ilmu pengetahuan dan teknologi belum ada, kalau  pun ada maka masih berkutat dengan dengan keris dan ajian sakti, tetap saja air samudra, laut dan sungai, danau dan empang, memegang peran penting. Pertanian memang penting tetapi mereka yang berkutat hanya dengan lahar pertanian tidak akan pernah ke mana-mana. Mereka akan tetap begitu saja dan di situ saja.

          Jika para pengarung samudra tidak pergi ke mana-mana, arungi dan titih buih ombak samudra lalu siapa yang akan kenal Nala, kenal Gajah Mada, kenal armada jaya milik raja-raja di nusantara? Ya tidak ada kecuali rakyatnya sendiri. Dunia tidak tahu kalau Nala itu ada, Gajah Mada itu pernah digdaya dan berkuasa. Karena ada gairah samudra, mereka yang berada nun jauh di sana tahu bahwa para perwira manggala yudha ini ada.

          Jauh sebelumnya, siapa yang akan kenal nusantara jika rempah-rempahnya  tidak dibawa oleh peniti gelombang samudra hampir ke seluruh penjuru dunia untuk sebagian ditukar dengan sutra, sebagian lagi ditukar dengan budaya, sebagian lagi dibarter dengan perdamaian dunia? Para petani dan pengolah lahan memang penting tetapi mereka tidak akan pernah membawa negeri sampai jauh ke sana, sampai ke Cina dan Eropa serta Afrika? Sekarang mungkin bisa dengan teknologi dan ilmu pengetahuan yang ada, tetapi dulu ... hehehe ... hanya pemberani pengarung samudra yang bisa.

         

***

         

          Lalu apakah sekarang ini, kala semua orang yang tidak harus menjadi pemberani pengarung samudra dapat pergi ke mana saja, nostalgia tentang hari samudra masih layak dikenang dan dikerek tinggi ke angkasa? Jawabnya ya. Simak saja bagaiamana sebuah puisi berjudul Rona Bangsa Samudra menyuarakan itu semua.

Kala masih remaja, sudah sering dicerita bagaimana
Bangsa yang besar ini gagah berani arungi samudra.
Takut tak pernah ada, gelombang gelora jubah senja
Sedangkan birunya langit, kelamnya malam, merona
Dihiasi bintang, diiringi percik haluan membelah tirta,
Jadi teman setia merambah jalur seta guna berjumpa
Sahabat bangsa-bangsa untuk saling bertukar sutera
Dengan rempah-rempah dari telatah mega nusantara.
Lalu setelah dicatat, cerita menyebar ke mana-mana,
Pertanda kehidupan di atas gelombang memberi rona
Pada semua aspek kehidupan bahari dirgantara nusa.

Warna kulit jenis perahu, bahkan juga sorot rona mata
Tidak pernah membuat risau para pengelana kembara
Yang bertekad untuk pergi ke mana saja asal bisa sua
Dengan sesama kelana sebarkan cita rasa ria gembira.
Semua dipertukarkan, semua ditawarkan, yang utama
Kita bangsa-bangsa dari beragam arena, bisa jumpa,
Lalu barter benda, berbagi cendera mata, pun budaya
Tanpa terasa melebur jadi budaya para arung kelana.
Begitulah, bangsa samudera lebur lewat anjangsana.

Tidak ada perang, tidak ada konflik, tak ada sengketa,
Tawa ria kerling mata, senyum manis mekar berbunga
Begitulah mereka, nenek moyang ini bangsa samudra,
Bertemu bertutur sapa, dan semua ya saling menjaga
Agar tujuan utama, setelah jauh arungi titi buih gelora
Tak rusak hanya karena tutur sapa dari beda budaya.

Berikut ini kisah seorang pemuda, pemuda nusantara.
Darahnya darah Cina bundanya dari Jawa, rona muka
Separuh Cina separuh Jawa, lahir karena titah surga.
Sang papa tak bisa kembali ke Cina ditinggal armada
Tetapi dengan gembira dia menerima nasib takdirnya.
Lahirlah di Jawa pemuda sipit kuning langsat kulitnya.
Lalu entah mewarisi dari siapa, pada sutera tertambat
Hatinya, setelah sempat bermimpi dengan tuan Xinru
Berbincang agak lama, tentang sutera produksi Cina.

Juga entah kenapa tuan Liu lancar berbicara tentang
Buku yang kelak menjadi cikal bakal isu Jalur Sutera.
Sang pemuda bicara pada papa tercinta, bisakah dia
Menyusuri kembali jalur luar biasa, buah mahakarya
Nenek moyangnya yang dari dua tanah beda budaya.
Walau heran tak terkira tapi karena si papa percaya
Putranya dapat diandalkan, jika hanya mengembara
Ijin diberikan dan mulailah kelana susuri Jalur Sutera.

Tak ada berita, tidak ada catatan, bahkan juga tanda,
Pemuda berangkat begitu saja, bekal juga seadanya.
Jalur selatan dirambah setelah tekun rambah kelana
Pesisir Tanah Jawa, seberangi Selat Sunda Sumatra
Sebelum tiba waktunya harus taklukkan Selat Malaka.
Begitulah bagian selatan Jalur Sutera, dulu berjaya
Membawa sutera buatan Cina untuk ditukar apa saja
Menjadi ajang kembara pemuda lugu dari tanah Jawa,

Lalu bagaimana akhir cerita pemuda yang begitu saja
Berangkat dengan bekal seadanya? Dimanakah dia?
Jangan harap ada catatan karena memang tidak ada
Tapi paling tidak bisa dikenang pernah ada masanya
Dalam jiwa para petualang, para pengelana kembara
Yang hanya mengandalkan jiwa raga serta alam raya
Tanpa teknologi tanpa rekayasa virtual di dunia maya
Pernah membuat prestasi yang mencengangkan dunia.
Ilmu pengetahuan dan teknologi memang terbukti bisa
Membuat semua jadi cepat mudah serta berdaya-guna
Tapi pemuda bangsa samudra ternyata jugalah sama
Walau dengan sarana sederhana karya alam semesta.

Jalesveva jayamahe itu semboyan nenek moyang kita.
Jayalah bangsa samudra, di laut kita ini selalulah jaya.

Kasidi no. 528 -- tbs/087853451949 -- SDA24092021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun