Mohon tunggu...
Tri Budhi Sastrio
Tri Budhi Sastrio Mohon Tunggu... Administrasi - Scriptores ad Deum glorificamus

SENANTIASA CUMA-CUMA LAKSANA KARUNIA BAPA

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen Kontemporer: Merenda Bayang-Bayang

7 Maret 2021   16:02 Diperbarui: 7 Maret 2021   17:55 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merenda Bayang-Bayang
Tri Budhi Sastrio

Pernah ada masanya kala semua
Cuma ditebak dan dikira-kira.
Akibatnya, bisa tetap benar adanya
Walau seringkali salah besar jadinya.
Tetapi itulah manusia dan peradabannya
Rajin memudakan usia ilmunya,
Rajin pula menggali rahasia alam semesta.

Penderitaan demi penderitaan terus bertumpuk. Yang satu belum selesai, muncul yang lain. Tak ada hari tanpa kabar buruk. Tak ada hari tanpa tangis pedih. Air mata darah mengucur terus, tak hendak berhenti. Kapan penderitaan ini berakhir? Kapan kedamaian yang telah lama pergi itu kembali? Kapan kicau burung dan desir angin mampu menarik senyum damai di sudut bibir penduduk desa itu?

Tak ada yang tahu jawabnya, kecuali mungkin setan gentayangan. Bagaimana para penduduk bisa tahu jawabnya, kalau terror yang menimpa mereka semakin hari semakin menghebat? Bagaimana mereka bisa mengharap kedamaian cepat datang, bila penderitaan dan kesengsaraan semakin lama semakin membenam dalam jiwa?

Setahun yang lalu desa Sangkapura mungkin tidak berkelebihan jika dikatakan desa paling damai, paling tenteram, paling aman, paling subur, paling indah, dan masih banyak lagi "paling" yang pantas disandang tetapi sekarang? Jangankan paling damai atau paling tenteram, tidak mendapat julukan paling celaka saja sudah untung.

Akhir-akhir ini, ketika kematian aneh dan tiba-tiba, terus berlangsung beberapa orang mulai melontarkan kata 'laknat' untuk desa mereka sendiri.

"Aku tidak tahan tinggal lebih lama lagi di desa laknat dan terkutuk ini," begitu salah seorang dari mereka berkata ketika berkumpul di warung dengan wajah muram berkabut. "Anakku sudah tinggal seorang. Kalau aku tidak segera pindah dari tempat terkutuk ini, aku yakin tidak lama lagi aku akan tidak punya anak lagi."

Laki-laki yang berbicara, pak Soma, punya tiga anak dan anak yang kedua, kemarin pagi tiba-tiba saja mati tiada karuan juntrungnya. Tidak ada tanda-tanda pendahuluan, kecuali tiba-tiba saja kejang-kejang untuk sesaat kemudian terkapar dengan mata membelalak. Anak itu mati.

Istri pak Soma menangis meraung-raung.

Para tetangga yang   tanpa melihat tahu apa yang terjadi, mulai berdatangan ke rumah pak Soma. Wajah-wajah muram dan sedih tetapi tak terlihat tanda-tanda heran. Apa yang harus diherani, kalau hampir semua pernah mengalami hal serupa? Sedangkan bagi yang belum ya tinggal menunggu waktu. Bahkan mungkin saja sebentar lagi, giliran mereka sendiri menerima kejadian itu.

Pak Soma cuma bisa mengepalkan tangannya kuat-kuat, seperti hendak melumatkan semua kegeramannya. Dia geram, dia marah tetapi pada siapa semua kegeraman dan kemarahan itu dapat dilampiaskan? Kepada siapa bisa marah? Seandainya musuh nyata, dia bisa menghadapinya tetapi sekarang ini, mana musuhnya? Tak ada musuh, tak ada lawan. Yang ada cumalah bayang-bayang! Bayang-bayang maut dan bayang-bayang kematian!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun