Ada satu hal yang belum terlalu tampak saya saksikan berkaitan dengan gerakan ini: diikutsertakannya darah-darah muda dengan aneka kreativitas dan alat-alat berbasis teknologi kekinian yang biasa mereka bawa. Dari rangkaian perkenalan perjalanan gerakan, dan tokoh-tokoh yang memberikan pernyataan dan cerita, masihlah tokoh-tokoh senior dalam permusikan di Indonesia. Apalagi ditambah dukungan-dukungan pernyataan para tokoh birokrat, semakin menambah kesan bahwa ini adalah 'gerakan orang tua'.
Hal ini sebenarnya patut disayangkan dan barangkali dapat menjadi perhatian lebih para penggerak utamanya.
Dengan kekuatan teknologi yang ada saat ini, proses 'menghidupkan' kembali alat-alat musik di relief Borobudur ini tak harus mewujud pada sebuah alat musik kasat mata yang bisa kita pegang. Langkah itu memang ideal dan menjadi sebuah capaian besar jika terwujud. Namun melihat tidak mudahnya mewujudkan hal tersebut terkendala keterbatasan ahli alat musik dan biaya yang pasti tidak sedikit, mengapa tidak mencoba alternatif 'segera' mewujudkan bunyi-bunyian alat musik itu dalam bentuk digital.
Melihat bagaimana Dewa Budjana menafsir ulang alat klasik ini menggunakan standar nada dan permusikan internasional saat ini, artinya 'prioritas' utama yang ingin dikejar para penggeraknya adalah 'membunyikan kembali' alat-alat tersebut dan segera menjadikan orkestra yang dapat dimainkan bersama untuk siap didengarkan telinga para pendengar saat ini. Alih-alih 'mempertahankan' dan menelusuri secara radikal setiap alat musik yang ingin dihidupkan dengan kekhasan dan asal usulnya masing-masing.
Sebab bisa jadi, alat-alat musik yang terfragmen dalam adegan di relief Borobudur ini memang alat musik solo dan tidak untuk diorkestrasikan. Bisa jadi alat-alat musik bukan sebagai instrumen musik pertunjukan sebagaimana dugaan utama para penggagasnya, melainkan instrumen peribadatan meditatif ala Buddha yang memang sering membutuhkan alunan-alunan musik ritmis nan sederhana dari alat musik solo.
Saya tidak sedang menggugat arah Sound of Borobudur yang sudah menampakkan hasil, yang tentu saja, layak untuk diapresiasi. Namun saya hanya ingin mengusulkan jikalau tujuannya adalah menghidupkan kembali alat musik tersebut dengan perwujudan ala musik kontemporer yang dapat dinikmati telinga sekarang, mengapa tidak melibatkan anak-anak muda dengan beragam alat musik digital mereka sehingga penafsiran Sound of Borobudur ini bisa lebih gesit geraknya, dan segar warnanya? Beragam alat musik yang sudah terinventarisir itu dapat segera 'keluar bunyinya' tanpa harus menunggu pengrajin mewujudkan dalam bentuk alat jadi.
Sebab, komposisi musik hasil penafsiran dari alat yang sudah mewujud itu, menurut hemat saya, berbentuk musik pertunjukan yang siap dipamerkan dan dijadikan objek pariwisata.
Saya sendiri, sebagai orang yang lebih gandrung terhadap sisi spiritualitas, lebih berharap 'bunyi' yang keluar dari Sound of Borobudur adalah instrumen musik pelengkap olah spiritual sebagaimana semangat utama pendirian Borobudur sebagai tempat beribadah. Alih-alih menjadi tempat orang mencari hiburan pertunjukan.