Undang-Undang Perampasan Aset dipuji sebagai terobosan dalam perang melawan korupsi, pencucian uang, hingga kejahatan terorganisir. Instrumen ini memungkinkan negara menyita aset hasil tindak pidana tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap. Secara teori, regulasi ini akan mempercepat pemulihan kerugian negara yang tiap tahun mencapai Rp 230 triliun akibat korupsi (BPK, 2023).
Namun, di balik janji manisnya, tersimpan pertanyaan mendasar: bagaimana memastikan UU ini tidak menjadi senjata politik penguasa untuk menekan lawan?
Sejarah politik Indonesia menunjukkan, hukum yang lahir dari niat baik kerap dibelokkan. Di tangan rezim otoriter, hukum bisa menjadi alat represi. Sejarawan hukum Satjipto Rahardjo pernah mengingatkan, "Hukum itu tidak bisa berdiri sendiri, ia bisa dipakai sebagai alat kekuasaan bila tidak ada kontrol dari masyarakat."
Supremasi Hukum, Bukan Supremasi Kekuasaan
Bahaya terbesar UU Perampasan Aset adalah bila eksekutif memiliki pengaruh besar dalam implementasinya. Tanpa independensi lembaga penegak hukum, aturan ini bisa berubah menjadi alat balas dendam politik. Kasus "cicak versus buaya" (2009) menjadi bukti nyata bahwa tarik-menarik kepentingan dapat melumpuhkan penegakan hukum.
Solusi mutlak: menjaga independensi peradilan, memperkuat Komisi Yudisial, serta mereformasi kejaksaan dan kepolisian. Tanpa itu, hukum akan tajam ke lawan, tumpul ke kawan.
Mekanisme Kontrol yang Transparan
UU ini hanya efektif bila ada check and balance. Bayangkan bila kewenangan penyitaan aset hanya dipegang satu lembaga tanpa pengawasan---risiko penyalahgunaan akan besar.
Mantan Ketua KPK Abraham Samad pernah menegaskan, "Korupsi bisa diberantas hanya jika lembaga penegak hukum steril dari intervensi." Itu artinya, DPR harus menjalankan fungsi kontrol secara aktif, Komnas HAM wajib mengawasi agar tidak terjadi pelanggaran hak, dan publik mesti bisa mengakses informasi setiap kasus perampasan aset.
Menjaga Prinsip Due Process of Law