Tapi yang membedakan antara manfaat dan mudarat terletak pada kendali. Siapa yang mengendalikan siapa. Apakah kita yang mengarahkan teknologi atau teknologi yang mengatur ritme hidup kita?
Dan yang sering terlupa: anak-anak meniru, bukan mendengar. Ketika orang tua terus menunduk ke layar, bagaimana bisa meminta anak mengangkat kepala?
Ibu yang Terus Belajar
Salah satu kunci dalam literasi digital keluarga adalah kemauan untuk terus belajar. Ibu tidak boleh tertinggal. Saya belajar dari banyak komunitas parenting digital, mengikuti webinar tentang pengasuhan era digital, membaca artikel dan berdiskusi dengan teman-teman sesama ibu.
Kadang kita merasa kalah langkah dengan anak-anak yang lebih cepat menyerap teknologi. Tapi tak apa. Justru itulah alasan kita harus tetap belajar---agar kita tetap punya suara dalam hidup mereka. Bukan untuk membatasi, tapi untuk mendampingi. Agar mereka tak berjalan sendiri dalam rimba digital yang penuh jebakan.
Dari Meja Dapur ke Meja Konsultasi Sekolah
Beberapa waktu lalu, saya mengikuti rapat wali murid. Banyak ibu mengeluhkan anaknya susah fokus belajar karena terlalu sering main game. Ada yang mencoba menyita HP tapi malah menyebabkan konflik. Ada juga yang membatasi kuota internet tapi anaknya jadi ngambek dan mogok sekolah online.
Saya kemudian berbagi pengalaman. "Coba diajak ngobrol saat anak sedang rileks. Tanyakan, kenapa dia suka game itu? Apa yang dia rasakan? Dari sana, kita bisa masuk dan mendampingi." Ternyata, banyak ibu yang merasa tercerahkan. Bukan karena saya lebih pandai tapi karena kami sesungguhnya memikul beban yang sama.
Kita perlu membangun ekosistem pengasuhan yang saling menguatkan. Ibu tak boleh merasa sendiri. Harus ada dukungan dari sekolah, komunitas dan tentu saja dari ayah dalam keluarga.
Literasi Digital Itu Juga Tentang Emosi
Mendidik anak di era digital bukan hanya soal tahu aplikasi, tahu apa yang boleh dan tidak. Tapi juga soal kecerdasan emosional: bagaimana menjalin koneksi, membangun rasa percaya dan membuat anak nyaman untuk berdiskusi.