Mohon tunggu...
Tresnaning Diah
Tresnaning Diah Mohon Tunggu... Penulis fiksi dan nonfiksi. Pencinta kata, pejalan sunyi, penyusun napas dari serpih-serpih cerita.

Perempuan yang percaya bahwa setiap luka punya kata, dan setiap kata bisa jadi ruang pulang. Menulis sudah menjadi panggilan hati sejak remaja, tapi baru satu tahun terakhir keberanian itu benar-benar diberi ruang untuk tumbuh dan bersuara. Baginya, menulis bukan hanya tentang mengisi halaman, tetapi menyusun ulang hidup, menemukan makna di balik kehilangan, keheningan, dan hal-hal yang tak pernah sempat diucapkan. Pernah berkarya di industri migas, kini meniti jalan sunyi sebagai perangkai kata. Ia menemukan pelipur bukan hanya dalam kalimat, tetapi juga dalam jejak Langkah, menapaki gunung saat hati merindukan ketenangan, atau sekadar menyelam ke dalam sunyi untuk memahami diri sendiri. Cerita-ceritanya hadir dari ruang paling personal: tentang cinta yang tak selesai, perempuan yang belajar berdiri lagi, dan dunia yang kadang terlalu keras namun tetap ingin dipeluk. Genre favorit: roman reflektif, slice of life, fantasi spiritual, dan kisah yang ditulis dengan nurani.

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Antara Jemari Anak dan Layar: Ketika Ibu Jadi Benteng Terakhir

26 Agustus 2025   21:49 Diperbarui: 26 Agustus 2025   21:53 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak Bermain Gadget (Sumber: Vecteezy/Pinterest)

Tapi yang membedakan antara manfaat dan mudarat terletak pada kendali. Siapa yang mengendalikan siapa. Apakah kita yang mengarahkan teknologi atau teknologi yang mengatur ritme hidup kita?

Dan yang sering terlupa: anak-anak meniru, bukan mendengar. Ketika orang tua terus menunduk ke layar, bagaimana bisa meminta anak mengangkat kepala?

Ibu yang Terus Belajar

Salah satu kunci dalam literasi digital keluarga adalah kemauan untuk terus belajar. Ibu tidak boleh tertinggal. Saya belajar dari banyak komunitas parenting digital, mengikuti webinar tentang pengasuhan era digital, membaca artikel dan berdiskusi dengan teman-teman sesama ibu.

Kadang kita merasa kalah langkah dengan anak-anak yang lebih cepat menyerap teknologi. Tapi tak apa. Justru itulah alasan kita harus tetap belajar---agar kita tetap punya suara dalam hidup mereka. Bukan untuk membatasi, tapi untuk mendampingi. Agar mereka tak berjalan sendiri dalam rimba digital yang penuh jebakan.

Dari Meja Dapur ke Meja Konsultasi Sekolah

Beberapa waktu lalu, saya mengikuti rapat wali murid. Banyak ibu mengeluhkan anaknya susah fokus belajar karena terlalu sering main game. Ada yang mencoba menyita HP tapi malah menyebabkan konflik. Ada juga yang membatasi kuota internet tapi anaknya jadi ngambek dan mogok sekolah online.

Saya kemudian berbagi pengalaman. "Coba diajak ngobrol saat anak sedang rileks. Tanyakan, kenapa dia suka game itu? Apa yang dia rasakan? Dari sana, kita bisa masuk dan mendampingi." Ternyata, banyak ibu yang merasa tercerahkan. Bukan karena saya lebih pandai tapi karena kami sesungguhnya memikul beban yang sama.

Kita perlu membangun ekosistem pengasuhan yang saling menguatkan. Ibu tak boleh merasa sendiri. Harus ada dukungan dari sekolah, komunitas dan tentu saja dari ayah dalam keluarga.

Literasi Digital Itu Juga Tentang Emosi

Mendidik anak di era digital bukan hanya soal tahu aplikasi, tahu apa yang boleh dan tidak. Tapi juga soal kecerdasan emosional: bagaimana menjalin koneksi, membangun rasa percaya dan membuat anak nyaman untuk berdiskusi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun