Di Tengah Layar yang Tak Pernah Padam
Tak bisa dimungkiri, gadget telah menjadi  denyut baru kehidupan kita. Ia hadir di ruang tamu, di saku celana, bahkan di pelukan anak-anak balita. Dulu, waktu masih kecil, kita merengek minta dibelikan bola plastik atau buku gambar. Kini, anak-anak merengek untuk satu hal yang sama sekali berbeda: waktu tambahan menatap layar.
Di era serba digital, gadget bukan sekadar alat. Ia telah menjelma menjadi penghubung, penghibur, penolong, sekaligus pemicu konflik dalam keluarga. Ia menyelip ke sela-sela makan malam, menginterupsi obrolan antara orang tua dan anak dan kerap menjadi penentu suasana hati dalam rumah.
Namun, menyalahkan gadget semata adalah lari dari kenyataan. Teknologi tidak pernah salah; yang kerap luput adalah bagaimana kita mendampinginya. Dan dalam keluarga, Perempuan, terutama para ibu memegang peranan penting. Mereka tak hanya dituntut untuk bisa memasak dan membesarkan anak tapi juga harus mampu mengarungi derasnya arus digital, menjadi penyaring konten, penjaga nilai sekaligus teman ngobrol anak yang tak bisa selalu didampingi guru.
Di titik inilah, peran ibu berubah: dari sekadar pengasuh menjadi navigator dunia maya dalam rumah. Perempuan bukan hanya ibu rumah tangga tapi juga benteng terakhir literasi digital keluarga.
Boleh Main YouTube, tapi Hanya 30 Menit, Nak
Sore itu, di tengah riuh suara penggorengan dan aroma bawang putih yang baru ditumis, saya mendengar percakapan dari rumah sebelah. Seorang ibu muda sedang bernegosiasi dengan anaknya yang masih balita. Suaranya lembut tapi tegas. "Boleh main YouTube, tapi hanya 30 menit, Nak." Kalimat itu terdengar biasa saja, namun menyimpan perjuangan panjang di baliknya. Perjuangan seorang ibu yang mencoba berdamai dengan zaman, sekaligus tetap memegang kendali sebagai penjaga utama nilai dan kesehatan mental anaknya.
Di era digital seperti sekarang, tak mudah menjadi orang tua. Terlebih menjadi ibu. Dunia seolah berlari kencang, teknologi merangsek ke dalam rumah tanpa permisi, membentuk cara berpikir, bermain bahkan cara anak-anak kita mengenali dunia. Dalam situasi seperti ini, Perempuan, ibu, nenek, kakak Perempuan tak bisa hanya menjadi penjaga dapur dan ruang tamu. Mereka menjadi garda depan literasi digital dalam keluarga.
Kecemasan yang Manusiawi
Dari kelompok masyarakat urban hingga pinggiran kampung, dari ibu kantoran yang setiap hari berkutat dengan laptop hingga ibu warung yang hanya bersentuhan dengan gadget lewat WhatsApp, satu benang merah bisa ditemukan: kegelisahan soal anak dan gawai.
Saya pernah berbincang dengan Bu Lilis, seorang buruh cuci harian di lingkungan rumah. "Sekarang anak saya, kelas dua SD, sudah pandai buka YouTube sendiri. Tapi saya bingung, mana yang boleh, mana yang enggak." Di sisi lain, Mbak Rara, seorang ibu muda berpendidikan tinggi, merasa frustrasi karena anaknya yang baru TK sudah tantrum jika dilarang bermain game online.