Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Hiperterorisme di Konser Moskwa, Mungkinkah Terjadi di Indonesia?

23 Maret 2024   11:27 Diperbarui: 23 Maret 2024   11:28 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kobaran api di Crocus City Hall di Moskwa akibat serangan teroris (AP PHOTO via kompas.id)

Hiperterorisme di Konser Moskwa,  Mungkinkah Terjadi di Indonesia ?

Dunia dikejutkan oleh serangan berdarah oleh kelompok teroris pada Jumat (22/3/2024) di Crocus City Hall, pinggiran sebelah barat Moskwa. Sedikitnya 60 orang tewas dan 145 orang lainnya luka-luka. Melalui pernyataan di saluran Telegram, kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah atau NIIS mengklaim bertanggung jawab atas serangan tersebut. Mungkinkah serangan tersebut terjadi di Indonesia ?

Saat serangan teroris terjadi, penonton tengah memadati ruangan teater berkapasitas 6.200 kursi tersebut. Penonton sudah duduk di kursi masing-masing dan pertunjukan konser akan dimulai ketika tiba-tiba sedikitnya lima pria bersenjata menembaki mereka.

Serangan teroris di Crocus City Hall Maskwa mengingatkan kita terhadap serangan di Brussels, Belgia beberapa tahun yang lalu. Teroris kembali melancarkan serangan kota. Indonesia juga harus siap menghadapi hiperterorisme dengan modus perang kota atau serangan terbuka.

Aksi yang membaur dengan keramaian masyarakat kota tentunya sangat sulit diatasi. Meskipun antisipasi aparat intelijen dan kepolisian sudah sedemikian ketat dan terus menerus, tetapi tetap saja kecolongan karena aparat tidak mungkin menempel aktivitas jutaan warga kota.

Teroris itu bukan aksinya yang dikapitalisasi, namun rasa takut rakyat dan gangguan ekonomi yang dituju. Aksi teroris di Rusia hendaknya diantisipasi pihak Indonesia dengan meningkatkan status keamanan khususnya infrastruktur publik. Dunia dihadapkan lagi pada masalah keamanan infrastruktur publik yang terancam oleh aksi teroris. Apalagi organisasi teroris Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) ternyata menggeliat lagi dan terus melatih kelompok mereka untuk melakukan serangan berikutnya.

Celakanya infrastruktur publik di negara maju sekalipun kondisinya masih rentan dan mudah dijadikan sasaran.Salah satu infrastruktur yang sangat rentan terhadap aksi terorisme adalah pusat perbelanjaan, tempat hiburan, stasiun dan bandara.

Aksi terorisme kini telah berkembang pesat ke arah apa yang disebut sebagai hiperterorisme. Baik dalam hal strategi maupun taktiknya. Aksi teroris telah memanfaatkan berbagai bentuk teknologi terkini untuk melakukan perang kota. Mereka sudah seperti pasukan komando yang diperlengkapi dengan senjata plus teknologi informasi dan simulasi. Bahkan, untuk berbagai operasi para teroris sudah memakai teknologi surveillance dan kendaraan yang mampu bergerak cepat.

Fenomena hipertelorisme ditandai dengan kemampuan teroris untuk membuat simulasi target. Sehingga sangat memudahkan mereka saat beroperasi. Dalam operasinya para teroris juga menggunakan prinsip pencitraan hingga akhir hayatnya untuk mempengaruhi psikologis khalayak. Hal tersebut analog dengan teori Jean Baudrillard dalam The Illusion of the End, yang menyatakan bahwa aspek menarik dari peristiwa terorisme bukanlah kekerasan, tetapi cara kekerasan ini diberi modal publisitas melalui televisi dan internet.

Pasukan khusus Rusia membebaskan Crocus City Hall yang diserang teroris (AFP/MOSKVA NEWS AGENCY/SERGEI VEDYASHKIN via kompas.id)
Pasukan khusus Rusia membebaskan Crocus City Hall yang diserang teroris (AFP/MOSKVA NEWS AGENCY/SERGEI VEDYASHKIN via kompas.id)

Munculnya hiperterorisme sekarang ini menuntut manajemen keamanan infrastruktur di Indonesia mesti ditingkatkan. Kondisi di Rusia pada saat ini mirip dengan Indonesia, yakni sehabis melakukan pemilihan umum. Tentunya perhatian negara agak lengah karena terfokus untuk pemilu. Pemerintah harus meningkatkan pengawasan dan membuat metode perlindungan infrastruktur publik yang lebih baik untuk hadapi berbagai modus serangan terorisme. Aparat keamanan yang jumlahnya terbatas pada saat ini terlalu difokuskan untuk menjaga keamanan pejabat negara dan tempat-tempat vital. Sehingga kurang optimal dalam menjaga tempat-tempat publik.

Itulah sebabnya teror di Moskwa terjadi secara cepat dan serentak tanpa bisa diantisipasi secara baik oleh pihak keamanan. Padahal laporan pihak intelijen telah memberikan peringatan sebelumnya. Modus serangan teroris yang ditujukan terhadap infrastruktur publik, bisa jadi akan menjadi model selanjutnya di negara lain. Ini menunjukan bahwa aksi teroris saat ini tidak pandang bulu dan menimbulkan kengerian bagi masyarakat sipil dimanapun berada.

Indonesia yang juga menjadi target serangan NIIS dan organisasi teroris lainnya sudah seharusnya ekstra waspada dan melakukan antisipasi secara teknis sebaik-baiknya. Apalagi NIIS pernah mengancam secara langsung terhadap Panglima TNI. Begitupun sudah banyak WNI yang menjadi bagian dari organisasi teroris global tersebut.

Penanganan teroris dan perlindungan infrastruktur publik menyangkut pentingnya standarisasi dan tata kelola peralatan deteksi dini terhadap objek vital dan infrastruktur publik. Seperti misalnya masalah standarisasi dan tata kelola CCTV. Apalagi hingga saat ini pengelola infrastruktur publik masih banyak yang belum melakukan security audit yang meliputi audit personil, peralatan dan manajemen.

Padahal audit tersebut akan meningkatkan fungsi untuk mencegah aksi teroris. Apalagi aksi teroris di beberapa belahan dunia datangnya selalu tidak terduga dengan modus yang bermetamorfosis dengan kondisi lokal. Seperti aksi teroris yang pernah terjadi di Brussel, Paris dan juga yang pernah terjadi Mumbai, India. Aksi tersebut menyerang beberapa infrastruktur seperti hotel, pusat ekonomi dan stasiun KA secara simultan.

Rentetan peristiwa terorisme merupakan peringatan keras bagi warga dunia agar tidak lengah sedikitpun untuk melindungi berbagai infrastruktur. Sayangnya banyak pihak yang masih lengah dan kurang menyadari bahwa beberapa infrastruktur telah menjadi terrorism magnet atau daya tarik bagi aksi-aksi terorisme. Hal itu kurang diantisipasi dan baru disadari ketika petaka sudah terjadi. Aksi teroris di berbagai belahan dunia belum juga mengajarkan berbagai pihak akan pentingnya manajemen risiko keamanan yang terintegrasi dengan Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3).

Perlu instrumen Threat Identification and Risk Assessment (TIRA) dalam menghadapi aksi teroris yang semakin ganas. Mengidentifikasikan ancaman merupakan langkah paling awal untuk menyusun perencanaan sistem keamanan infrastruktur. Langkah pertama adalah melakukan security audit, yang meliputi audit personil, peralatan dan manajemen. Perlu digaris bawahi, bahwa fungsi security adalah mencegah berbagai intruder atau pengacau masuk ke dalam infrastruktur publik. Namun, jika pengacau atau teroris berhasil menyusup dan melakukan aksi peledakan bom, maka persoalan security dengan seketika berubah menjadi masalah safety.

Yakni menyelamatkan orang-orang di dalam gedung tersebut dari bahaya ledakan bom, keganasan senjata api, jebakan asap, kebakaran, flying glass atau reruntuhan gedung. Perubahan fungsi diatas sulit diwujudkan jika tidak ada perencanaan sistem pengamanan yang bagus. Seperti organisasi pengamanan, SOP ( Standard Operating Procedures), PSO ( Pos Standing Order ) dan instrumen pengaman baik elektronik maupun nonelektronik.

Semakin dibutuhkan SDM yang mumpuni di bidang engineering security beserta peralatan seperti pendeteksi bahan peledak dan senjata. Juga semakin pentingnya teknologi surveillance dengan CCTV menggunakan computer based yang mampu mengkompres gambar sedemikian rupa.

Pada saat ini para teroris semakin lihai berkamuflase sosial dan memiliki kemampuan untuk hidup secara nomaden. Cara itu menjelaskan  bahwa teroris tidak pernah menetap di satu wilayah tertentu, tetapi selalu berpindah-pindah dari satu wilayah ke wilayah lainnya atau biasa disebut dengan istilah deterritorialization.

Strategi nomaden itu telah menciptakan teroris kosmopolitan. Mereka bisa saja belajar teknologi di Amerika lalu menjalankan aksinya di belahan dunia lain tanpa terekam jejaknya. Mereka datang tak terduga seperti siluman, lalu beraksi secepat kilat menghancurkan infrastruktur publik dan memakan banyak korban jiwa. (TS)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun