Mohon tunggu...
Totok Siswantara
Totok Siswantara Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, memuliakan tanaman dan berbagi kasih dengan hewan

Pembaca semangat zaman dan ikhlas memeluk takdir

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur Pilihan

Paradoks Industri Sawit di Jawa Barat

19 Februari 2024   16:36 Diperbarui: 19 Februari 2024   16:45 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani menunjukkan buah sawit di perkebunan kelapa sawit Bogor Jabar( BeritaSatu/Mohammad Defrizal)

Paradoks Industri Sawit di Jawa Barat

Provinsi Jawa Barat hingga kini merupakan pangsa pasar atau konsumsi produk turunan kelapa sawit utamanya minyak goreng terbesar di Indonesia. Tetapi mengapa pabrik atau industri berbasis sawit masih tergolong sedikit.

Perlu memperluas area perkebunan kelapa sawit di kawasan Jabar Selatan serta mendirikan pabrik atau industri hilirnya. Apalagi infrastruktur pabrik pengolahan kelapa sawit bisa dibuat di Bandung oleh PT Pindad. Selain itu para pakar kelapa sawit banyak berada di Jawa Barat. Begitupun pekerja perkebunan kelapa sawit di provinsi ini tidak sulit direkrut.

Produk turunan kelapa sawit yang banyak digunakan di Indonesia adalah minyak goreng. Kebutuhan minyak goreng nasional mencapai 5,7 juta liter pada 2022. Terdiri dari kebutuhan minyak goreng rumah tangga sebesar 3,9 juta kiloliter. Sementara itu, konsumsi minyak goreng industri mencapai 1,8 juta kiloliter.

Merujuk hasil survei Industri Besar Sedang (IBS) menunjukkan bahwa dari 74 pabrik minyak goreng kelapa sawit di Indonesia. Data ini ditampilkan dalam Publikasi Distribusi Perdagangan Komoditas Minyak Goreng Indonesia tahun 2021 yang diterbitkan Badan Pusat Statistik. Dari 74 pabrik minyak goreng tadi, ada 45 pabrik berlokasi di Pulau Jawa.

Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah pabrik minyak goreng kelapa sawit terbesar di Indonesia, yakni 23 pabrik. Di Provinsi Sumatera Utara sebanyak 14 pabrik, Di Provinsi DKI Jakarta ada 11 pabrik. Sedangkan pabrik minyak goreng yang beroperasi di Provinsi Jawa Barat hanya 6 pabrik.

Perlu pola kemitraan antara petani, pihak perkebunan dan penyedia infrastruktur seperti misalnya PT Pindad dan lain-lain. Sebagai gambaran biaya produksi per kilogram tandan buah segar (TBS) berkisar 200 rupiah maka perhitungan yield (produktivitas CPO yang dihasilkan per ha kebun) adalah 19 persen.

Pengembangan areal komoditas dan produksi minyak sawit di Jabar selama ini telah dilakukan BUMN yakni PT Perkebunan Nusantara VIII. Namun pengembangan tersebut belum optimal, baik dalam hal produktivitas maupun penyerapan tenaga kerja.Selama ini pengembangan dilakukan pada tiga unit kebun di Kabupaten Sukabumi. Penanaman dilakukan pada areal di selatan Sukabumi.

PTPN VIII bekerja sama dengan Pemprov Jabar mestinya segera menambah beberapa pabrik pabrik baru pengolahan sawit. Seperti yang dibuat di Kebun Pasir Badak, di Afdeling Citarik, Kecamatan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi.

Karena masyarakat Jawa Barat merupakan konsumen sawit terbesar, maka Pemprov perlu bersinergi dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk memperluas perkebunan sawit dan hilirisasi industri.

Produksi minyak bumi dalam negeri semakin menurun sehingga mempengaruhi laju konsumsi BBM. Untuk menanggulangi keterbatasan BBM dari fosil maka solusinya adalah membangun infrastruktur pabrik Biodiesel dari Minyak Kelapa Sawit (Crude Palm Oil/CPO) menggunakan proses esterifikasi-transesterifikasi dengan kapasitas 3.900.000 liter per tahun.

Pengembangan industri hilir sebaiknya terintegrasi dengan program perluasan tenaga kerja yang mengedepankan mekanisasi pertanian. Indonesia memiliki potensi besar mengembangkan industri hilir kelapa sawit. Sayangnya, potensi tersebut belum tergarap secara optimal. Selama ini Indonesia lebih banyak melakukan ekspor CPO sehingga nilai tambah yang diperoleh masih rendah.

Industri hilir yang mengolah minyak sawit baru sebatas produk minyak goreng, dan sebagian kecil margarin, sabun dan deterjen. Sementara CPO yang diolah menjadi oleokimia baru mencapai kurang dari 10 persen. Padahal kalau CPO diolah menjadi oleokimia, nilai tambahnya bisa mencapai 300 persen. Oleokimia dari CPO antara lain menghasilkan asida lemak (fatty acids), olein, stearin dan gliserol yang merupakan bahan baku produk untuk kebutuhan sehari-hari, mulai dari kosmetika, sabun, dan lain-lain.

Selain itu perkebunan dan industri berbasis sawit limbahnya juga bisa digunakan untuk bahan baku makanan sapi yang berkualitas baik. Dengan demikian populasi sapi bisa ditingkatkan dan masalah harga daging dan impor sapi bisa diatasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa daun dan pelepah sawit dapat dijadikan pakan dengan bantuan mesin pencacah daun dan pelepah sawit lalu dicampur konsentrat dan daun hijau sehingga menjadi pakan ternak yang memenuhi standar gizi ternak.

Aspek ketenagakerjaan di industri dan perkebunan sawit sebaiknya ditata kembali dengan tujuan utama kesejahteraan petani dan buruh. Tingginya harga CPO mestinya bisa dijadikan momentum untuk menyerap lebih banyak lagi tenaga kerja dengan sistem pengupahan yang lebih layak. Sehingga WNI tidak perlu lagi ke Malaysia hanya untuk menjadi buruh kasar disana.

Sudah saatnya mempercepat proyek infrastruktur industri hilir untuk produk-produk berbasis kelapa sawit. Hal itu akan semakin banyak menciptakan lapangan kerja dan menumbuhkan UMKM di sekitar area perkebunan.

Sebagai catatan, usaha perkebunan secara nasional mampu menyediakan lapangan kerja langsung sekitar 30 juta orang. Jumlah tersebut berpotensi untuk terus meningkat jika pemerintah secara serius menghilangkan rintangan usaha perkebunan yang masih ada di daerah-daerah.

Perkebunan Sawit di Jawa Barat tentunya tidak mengalami hambatan kekurangan tenaga kerja seperti yang terjadi di pulau Kalimantan. Namun, perlu tata kelola ketenagakerjaan yang lebih baik lagi. Sehingga aspek kuantitas dan kualitas ketenagakerjaan bisa ditingkatkan sehingga kesejahteraan buruh perkebunan juga bisa membaik. Selama ini hubungan kerja di perkebunan cenderung eksploitatif. Untuk itu hubungan kerja terkait dengan perkebunan dan industri kelapa sawit perlu kepastian kerja permanen antara buruh dengan pemberi kerja.

Saatnya penerapan teknologi tepat guna industri hilir kelapa sawit. Program itu akan mensejahterakan masyarakat. Terutama bagi buruh harian lepas, karena mereka memiliki keterampilan untuk proses nilai tambah yang lain. Antara lain program teknologi tepat guna industri hilir adalah teknologi produksi produk oleokimia turunan seperti plastik, sabun dan lilin. (TS)

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun