Mohon tunggu...
Toto Karyanto
Toto Karyanto Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bukan yang banyak pasti baik, tapi yang baik pastilah yang banyak.

Orang biasa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mati Rasanya Pemimpin

30 Juni 2020   19:05 Diperbarui: 30 Juni 2020   19:12 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semula saya enggan menulis soal ini. Setelah yang ke tiga kalinya, Presiden Jokowi melontarkan pernyataan sama, ada dorongan kecil menangkap pesan yang bisa dimaknai beragam. Terutama soal "rasa" atau tepatnya sense of crisis. Bahan ditegaskan pentingnya kesatuan rasa agar langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi masalah darurat penanganan pandemi Covid 19 benar-benar terpadu. 

Dalam manajemen kita kenal berbagai type pemimpin. Di kala terjadi krisis, pemimpin yang mampu menerapkan manajemen krisis secara efektif akan cenderung mengambil keputusan atau kebijakan di luar kebiasaan. Tentu dengan segenap risiko yang harus dihadapi. 

Kualitas pemimpin akan nampak saat menghadapi situasi luar biasa (extra ordinary ), krisis mendasar atau darurat. Sepanjang tahun 2020, segenap warga dunia mengalami situasi darurat karena pandemi Covid 19. Indonesia mulai merasakan dampak langsungnya sekitar medio Maret dengan beragam pembatasan aktivitas. Bekerja, beribadah dan belajar di atau dari rumah. Situasi yang datangnya sangat mendadak dan tak pernah dibayangkan sebelumnya.

Ekspresi masing-masing orang awam tentu tidak akan sama. Kaget, sedih, marah, putus asa atau mungkin biasa saja. Apapun itu, ketahanan mental seseorang terwakili oleh ekspresi yang muncul dalam menyikapi situasi luar biasa itu. Semakin kuat mental seseorang, ekspresi cenderung biasa dan datar. Tidak bergolak bak air mendidih. Tidak pula narsistik ketika sedang jadi pusat perhatian. Gaya bahasanya datar dan lugas. Hal sebaliknya terjadi pada orang-orang yang mudah berubah sikap. Apalagi saat menghadapi tekanan. 

Dalam situasi luar biasa atau di tengah krisis, kualitas pemimpin akan nampak dari sikap mengedepankan pendekatan memecahkan masalah yang paling mendesak. Jika yang diperlukan oleh warga masyarakat atau para pengikut adalah kebutuhan hidup dasar yaitu pangan dan kesehatan, maka sembako dan fasilitas kesehatan yang dicukupkan. Bukan tanda penghargaan atau segala rupa retorika. Apalagi jika kedua hal terakhir justru mengurangi kapasitas kebutuhan dasar itu. 

Beberapa bulan terakhir, masyarakat Indonesia diberi suguhan nyata wajah pemimpin formal di panggung politik dan pemerintahan. Setelah resmi dinyatakan terdampak pandemi Covid 19, pernyataan para pemimpin di media adalah bahwa garda terdepan penanganan sebaran virus mematikan ini adalah para tenaga medis. Tapi banyak di antara mereka justru menampik sebutan itu dengan menegaskan bahwa keluarga adalah yang pertama dan utama. Keluarga terkecil adalah individu, kemudian rumah tangga, masyarakat dan bangsa atau umat manusia sejagat raya. 

Seiring berjalannya waktu, masalah yang dihadapi dalam penanggulangan pandemi kian berkembang. Dari awalnya kesehatan jadi masalah sosial ekonomi kompleks. Akibat pembatasan aktivitas sosial, muncul masalah sosial dari gelombang PHK massal dan hilangnya sumber utama penghasilan individu maupun rumah tangga. Entah berapa jumlah pastinya tapi jutaan. Data otentik jadi satu hal yang mendasar dalam mengambil keputusan. 

Kejengkelan Jokowi pada pola penanganan tiga sektor utama yaitu kesehatan, sosial dan ekonomi yang dinilai lamban sangat berkaitan dengan validitas data. Sektor kesehatan yang jadi masalah pokok ternyata masih dinilai amburadul. Di sisi ini, wajar jika RI 1 menumpahkan kekesalannya. Sampai-sampai beliau memastikan bahwa seharusnya soal santunan bagi korban meninggal dunia karena Covid 19 telah diberikan setelah dinyatakan atau terkonfirmasi sebagaimana sering diucapkan oleh juru bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19, dr. Achmad Yurianto. Demikian pula soal insentif buat para tenaga medis maupun laboratorium. 

Soal validitas data,sektor sosial banyak menuai kritik tajam sampai munculnya saling tuding berbuat curang. Atau saling lempar tanggung jawab antar pejabat di berbagai tingkatan institusional. Sebagian diantaranya ada yang berujung ricuh dan tindakan main hakim sendiri. Mengapa demikian?

Dari penuturan tetangga yang merasa diperlakukan diskriminatif karena tak mendapat satupun diantara sembilan jenis Bansos , diperoleh informasi bahwa ia tidak tercantum dalam daftar yang disebut-sebut sebagai data lama. Sedikit lebih terang saat ia coba menanyakan kepada pegawai kelurahan yang mengatakan bahwa data yang dipakai adalah basis data 2015. Yang lebih menggelikan ketika dikonfirmasikan kepada Ketua Lingkungan bahwa penerima adalah orang-orang yang mendapat keberuntungan. Itulah sekilas cerita betapa di lapangan masih banyak orang beranggapan bahwa masa sekarang adalah hal biasa. Bukan berada dalam situasi krisis, darurat atau kejadian sangat luar biasa. 

Selain Jokowi, ekspresi kejengkelan juga nampak dari sikap Walikota Surabaya, Tri Rismaharini saat beraudiensi dengan jajaran pengurus IDI Surabaya atau Jawa Timur yang menyebabkan dirinya mengekspresikan rasa permintaan maaf dengan bersimpuh di depan mereka. Sebelumnya, wanita "baja" itu pernah menumpahkan kekesalannya karena diremehkan oleh Gugus Tugas Provinsi Jawa Timur atas pemanfaatan bantuan kendaraan pengetes cepat (rapid test) dari BIN. 

Sesuai sifatnya, pengambilan keputusan di dalam situasi krisis penuh risiko. Kebanyakan sedang dan tinggi atau sangat tinggi. Bagi pemimpin yang suka berada di zona nyaman, situasi krisis sangat tidak disukai. Kalau bisa dihindari dengan beragam cara. Saling tuding atau lempar tanggung jawab adalah favorit dengan bumbu retorika akan lebih sedap. Mengasihi diri acapkali jadi senjata andalan. 

Kejengkelan Jokowi yang tertangkap layar nampaknya telah ditahan cukup waktu. Pangkalnya miskoordinasi antar pemimpin lembaga dan sengkarut data yang tersirat dalam ungkapan siap membubarkan lembaga dan mengocok ulang komposisi personalia kabinetnya. Bahkan, kesediaan membuat Perpu atau Keppres sebagai konsekuensi mempertaruhkan reputasi politiknya adalah puncak kejengkelan lambannya kinerja para pembantu.  

Revolusi mental memang telah diluncurkan sebagai gerakan sejak periode pertama kepemimpinan Jokowi jadi RI 1. Sayangnya, program yang digadang-gadang akan mengubah perilaku segenap warga bangsa tidak jelas arah selain munculnya berita miring pemborosan anggaran. Program yang saya kira lebih tepat ditujukan para penyelenggara negara dan ASN ketimbang masyarakat umum. Apalagi di lingkungan pedesaan dan pelosok yang masih cukup kuat menjunjung tinggi kearifan lokal.

Rasa begitu penting maknanya dalam menghadapi situasi krisis baik untuk meminimalkan tingkat risiko maupun menguatkan nurani. Pemimpin yang mampu melewati masa krisis dengan baik bukan hanya menyelamatkan diri dan lingkungan. Tapi sangat mungkin mengantarkan lebih banyak orang untuk merasakan keberhasilan mengatasi masalah yang membelenggu dirinya. Muncul harapan baru untuk segera bangkit dari keterpurukan dan seterusnya. 

Pandemi Covid 19 semula memang masalah kesehatan dan keselamatan jiwa. Namun karena faktor ketidakpastian penyelesaian cukup tinggi, tingkat risikonya cenderung meningkat jika tidak ditangani secara integratif dan inovatif. Sayangnya kedua hal itu kurang fokus dalam budaya kerja birokrasi. Sehingga ego sektoral lebih menonjol ketimbang pola kerja kolaboratif yang sangat diperlukan dalam menghadapi situasi krisis. Dengan logika ini, wajar jika Jokowi merasa jengkel dan mengutarakan ancaman akan mereshuffle kabinet dan membubarkan lembaga tertentu. Wait and see. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun