Mohon tunggu...
Toto Sukisno
Toto Sukisno Mohon Tunggu... Auditor - Berlatih Berbagi Sambil Tertatih, Menulis Agar Membaca, Membaca Untuk Memahami

http://bit.ly/3sM4fRx

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Siswa Milenial, Perlu Guru Padat Modal

13 November 2019   21:13 Diperbarui: 14 November 2019   04:59 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto: tribunsumsel.com

Akhir-akhir ini saya sebagai orang tua yang dititipi amanah berupa anak oleh Sang Maha Pencipta Alloh subhanuwata'ala sering merenung untuk sekedar belajar memahami pola prilaku anak-anak era milenial. 

Berbagai informasi yang sering kita peroleh, baik di media cetak maupun media elektronik memberikan gambaran akan bagaimana prilaku anak-anak saat ini yang sangat jauh berbeda dengan anak-anak di era 90 an. Era 90 an yang direpresentasikan dengan "kerja keras" sangat kental dengan dominasi pekerjaan fisik, sementara era milenial sangat kental dengan nuansa 'kerja cerdas" yang tidak bisa dinikmati dengan mata telanjang. 

Era masa lalu juga direpresentasikan dengan proses yang "berkeringat" sementara era saat ini divisualkan dengan proses "kreatif yang unik". Proses hidup linear yang dulu sering kita dengar dari kakek kita, sudah tidak bisa digunakan sebagai satu-satunya referensi saat ini. 

Slogan era jaman dulu, "yen gelem obah bakal mamah" perlu diinterpretasi secara kontekstual sehingga obah tidak hanya dimaknai secara fisik, tetapi juga non fisik. Dalam istilah sinetron, adagium "dunia sudah terbalik" nampaknya cocok untuk menggambarkan era milenial ini.

Terlepas dari peristiwa-peristiwa yang dianggap paradok dalam sudat pandang masa lalu, tantangan dan problematika yang dihadapi anak-anak milenial memang sangatlah kompleks. 

Hadirnya teknologi yang dapat memanjakan anak untuk memenuhi kebutuhannya mengakibatkan perubahan sikap dan prilaku anak dalam menyelesaikan persoalan hidup yang dihadapi. 

Teman daring yang dianggap dekat dan sebaliknya teman dekat yang dianggap jauh adalah fenomena yang biasa terjadi pada anak-anak milenial. Kedekatan anak terhadap teman yang lebih dibandingkan dengan kedekatan terhadap keluarga pun sudah sering kita baca di beberapa media. 

Munculnya rasa nyaman yang diperoleh ketika anak berinteraksi dengan teman mengakibatkan kedekatan orang tua dengan anak menjadi terhalang. Munculnya anak yang tidak berpendidikan tinggi tapi sukses secara finansial pun menjadi asbab dari rasa malasnya anak untuk belajar giat. 

Kesuksesan finansial anak di usia yang terbilang sangat muda pun menjadi salah satu pemicu anak untuk bersikap pragmatis. Pendek kata, deretan peristiwa yang tidak biasa (lumrah) dalam sudut pandang generasi 90 an menyebabkan pemicu awal terjadinya celah perbedaan sikap antara anak dan orang tua dalam menjalani kehidupan.

Sekolah, sebagai rumah kedua bagi anak usia pelajar tentu akan terkena imbas dalam menghadapi pergeseran fenomena sosial tersebut. Beberapa kasus guru yang terjerat persoalan hukum akibat peristiwa yang di era 90 an dianggap "lumrah" seperti menghukum secara fisik terhadap anak didiknya menjadi persoalan yang cukup panjang bagi seorang guru bahkan ada yang akhirnya harus berhenti menjalani profesi guru karena divonis bersalah secara hukum. 

Ketertarikan siswa terhadap barang kecil yang mampu membawa pikirannya untuk menjelajahi semua yang siswa mau pun menjadi tantangan bagi seorang guru dalam merebut perhatian siswa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun