Gagal ke Piala Dunia 2026: Penghiburan Sederhana untuk Luka Kolektif
Oleh: Toto Endargo
Kekalahan Indonesia dalam kualifikasi Piala Dunia 2026 menimbulkan rasa kecewa yang wajar. Dari ruang tamu hingga warung kopi, obrolan serempak berubah nada---antara getir, pasrah, hingga mencari kambing hitam. Sebab memang begitulah tabiat manusia: lebih mudah mencari alasan daripada mencari jalan keluar.
Namun, ada cara penghiburan yang paling sederhana dan tetap bermakna: membandingkan diri dengan yang lebih menderita, atau setidaknya yang senasib sepenanggungan.
Italia Pun Bisa Gagal
Mari mulai dari contoh yang berkelas dunia. Italia---negara yang sering disebut kiblat sepak bola---dua kali berturut-turut gagal tampil di Piala Dunia: 2018 di Rusia dan 2022 di Qatar. Ironisnya, kegagalan kedua datang hanya dua tahun setelah mereka menjuarai Euro 2020.
Lebih pahit lagi, Italia tersingkir di menit ke-90+2 saat kalah 0--1 dari Makedonia Utara pada 25 Maret 2022. Itu artinya, bahkan sang juara pun bisa jatuh di ujung laga. Jika Italia bisa gagal, maka Indonesia yang sedang menapaki jalan panjang tidak perlu merasa terlarut sedih---karena bahkan pohon besar pun pernah tumbang oleh angin kecil.
Pelipur dari Sesama Asia Tenggara
Di kawasan sendiri, Indonesia tidak sendirian. Vietnam, Thailand, Malaysia, bahkan Singapura juga belum pernah menembus panggung utama Piala Dunia. Dalam banyak hal, Indonesia justru sudah melangkah lebih jauh: dari dukungan publik, regenerasi pemain muda, hingga pembangunan infrastruktur sepak bola yang makin rapi.
Artinya, Indonesia tidak tertinggal sendirian---hanya sedang berproses dengan langkah sendiri.