abad Onje: Onje, ABOGe, dan Pakem Sukma - Menjaga Irama Waktu dan Jiwa
Oleh: Toto Endargo - Membaca Serat Sejarah Babad Onje (5)
Setelah menelusuri kisah Kiyai Tepus Rumput, wejangan Sukma Maha Suci, ilmu panglepasan, hingga doa Bismillahinnuri, ada satu hal menarik: Onje tidak hanya menyimpan cerita kadipaten atau suluk, tetapi juga masih menjaga sesuatu yang nyata hingga sekarang -- pakem waktu. Kalender ABOGe (Alip Rebo Wage) yang hidup di Onje menjadi jejak nyata kesinambungan antara sejarah, laku spiritual, dan budaya.
ABOGe: Irama Waktu dari Pajang--Mataram
ABOGe bukan sekadar sistem kalender. Ini adalah pakem penanggalan Islam Jawa yang ditetapkan sejak era Pajang dan dilanjutkan Mataram. Onje, sebagai kadipaten barat yang lahir dari titah Sultan Pajang, ikut menjaga irama ini. Hingga hari ini, sebagian besar tradisi keagamaan Onje masih memakai ABOGe, sementara banyak daerah lain beralih ke sistem baru.
Kenapa Onje tetap memegangnya? Jawabannya bukan hanya "karena tradisi," tetapi karena ada kesadaran bahwa waktu bukan sekadar hitungan hari, tetapi bagian dari laku.
Pakem Sukma dan Pakem Waktu
Babad Onje mengajarkan aja angrasa mati, ngilmu panglepasan, dan iki sejatining Islam. Semua ini berbicara tentang pakem sukma -- bagaimana jiwa menjaga irama kembali kepada Asal. ABOGe, dengan siklusnya, adalah pakem waktu. Onje, dengan dua warisan ini, menjadi simpul: menjaga irama waktu sekaligus menjaga irama jiwa.
Dalam budaya Jawa, waktu bukan hanya kronologi. Ia adalah bagian dari laku. Hari, pasaran, wuku, semua dipakai untuk menyelaraskan manusia dengan jagat dan Gusti. Dengan menjaga ABOGe, Onje seakan berkata: "Kami menjaga tidak hanya sejarah, tetapi juga napas jagat."
Onje Sebagai Tanah Ibu
Ketika kita melihat Onje sebagai "tanah ibu" barat Mataram, ABOGe memberi lapisan lain. Ibu bukan hanya melahirkan tubuh, tetapi juga menjaga irama hidup anak-anaknya. Onje menjaga irama ini -- irama waktu yang menjadi dasar ritus, doa, dan laku spiritual. Dari Pajang hingga hari ini, garis itu tidak putus.