Babad Onje: Membaca Jejak Legitimasi Pajang di Tanah Onje
Oleh: Toto Endargo
Teks Babad Onje yang beredar di kalangan masyarakat Onje dan sekitarnya sering disebut sebagai "Punika Serat Sejarah Babad Onje"Â Baris pembukanya berbunyi jelas:
Punika serat sejarah Babad Onje. Ingkang mertapa ing Onje nama Kyai Tepus Rumput. Sampuning tapa lajeng suwita dhateng Kanjeng Sultan Pajang. Boten antawis lami wonten dhawuh undhang: 'Sapa bocahingsun kang bisa anjuput ali-aliningsun, Socaludira wasiyat, saiki kalebu ning sumur jumbleng.' Ingkang abdi sami boten wonten ingkang saguh mendhet, amung Kyai Tepus Rumput ingkang saged mendhet. Lajeng dipunpaikani dinamelan sumur ing sandhingipun, nunten kepanggih kagungan dalem supe, lajeng kapundhut kalih Kanjeng Sultan Pajang.
Teks ini penting untuk kita cermati, karena dengan gamblang menyebut dua hal besar:
 Tokoh sentralnya: Kyai Tepus Rumput, seorang pertapa di Onje.
Titik baliknya:Â keberhasilan Kyai Tepus Rumput melayani perintah Sultan Pajang, mengambil pusaka Socaludira wasiyat dari sumur jumbleng (yang dalam bahasa sekarang bisa dipahami mirip septictank/pembuangan kotoran lama).
Baris demi baris teks babad ini secara terang-terangan membingkai sejarah Onje tidak lepas dari kedaulatan Sultan Pajang. Kyai Tepus Rumput tidak tiba-tiba berkuasa di Onje, tetapi melalui uji kesetiaan kepada raja pusat. Setelah berhasil melaksanakan tugas yang tidak sanggup dilakukan para abdi lainnya, pada akhirnya ia diberi hak atas istri, tanah, kekuasaan dan gelar.
Ditulis di Pajang, Bukan Di Onje
Jika kita membaca kerangka teksnya, jelas bahwa babad ini lebih memuliakan Pajang sebagai pusat legitimasi, bukan sekadar Onje sebagai pusat lokal. Bahkan dalam penggambaran, Kyai Tepus Rumput sendiri "suwita dhateng Kanjeng Sultan Pajang" --- sowan dan berserah diri pada perintah pusat.
Dari susunan narasi, kita bisa menduga kuat bahwa teks ini bukan hasil olah kalangan lokal Onje untuk mengenang dirinya sendiri, tetapi disusun di lingkaran Pajang untuk mempertegas kekuasaan trah Pajang atas Onje. Dalam tradisi penulisan babad Jawa, ini lazim: sejarah lokal ditulis dalam bingkai kekuasaan pusat agar garis keturunan dan hak atas tanah menjadi sah secara politik dan spiritual.
Dengan demikian, teks ini lebih tepat dipandang sebagai dokumen legitimasi politik daripada catatan murni sejarah lokal.