Mohon tunggu...
Toto Endargo
Toto Endargo Mohon Tunggu... Peminat Budaya

Catatan dan Pembelajaran Kehidupan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Musikalisasi Macapat dalam Karya Gombloh: Menjembatani Tradisi dan Modernitas

3 Juli 2025   21:53 Diperbarui: 3 Juli 2025   22:03 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Musikalisasi Macapat, Gombloh - Wikipedia

Apa yang dilakukan Gombloh bukan hanya menyanyikan ulang teks klasik, tetapi menanamkan roh baru di dalamnya. Ia memilih untuk tidak membawakan tembang ini secara konvensional, melainkan membingkainya dengan warna musik kontemporer yang hening dan meditatif. Denting musiknya tidak gaduh, namun justru menyisakan ruang hening untuk tafakur. Dalam balutan nada-nada yang lambat dan atmosferik, lirik Wedhatama melayang seperti mantra.

Inilah bentuk musikalisasi macapat yang tidak ortodoks---ia tidak tunduk pada pakem, tetapi tetap setia pada semangat. Gombloh menciptakan ruang baru bagi teks lama untuk berbicara dengan cara yang bisa didengar oleh generasi kini. Dan dalam keheningan yang ia hadirkan, kita sebagai pendengar seolah diajak untuk ikut menyelami---bukan hanya memahami, tetapi juga merasakan.

Melestarikan lewat Musik: Perjumpaan Tradisi dan Populer

Di tengah arus globalisasi dan gempuran budaya populer yang terus menggulung identitas lokal, karya seperti "Sekar Mayang - Hong Wilaheng" menjadi semacam tameng dan lentera. Ia menunjukkan bahwa musik bukan hanya soal selera atau pasar, tetapi bisa menjadi sarana transmisi budaya. Gombloh memanfaatkan media yang akrab di telinga anak muda---musik populer---untuk membawa nilai-nilai luhur dari tradisi ke dalam kesadaran kolektif hari ini.

Bukan perkara mudah mengangkat karya sastra klasik ke panggung musik modern tanpa kehilangan ruhnya. Namun Gombloh berhasil menempuh jalan tengah: menjaga kedalaman makna sambil membuka jendela baru bagi para pendengar yang mungkin asing dengan dunia macapat atau Serat Wedhatama. Di tangan Gombloh, tembang Pangkur bukan sekadar puisi lama, melainkan suara yang hidup kembali.

Catatan Akhir: Gombloh sebagai Jembatan Zaman

Dalam konteks ini, Gombloh bukan sekadar musisi, melainkan penjaga api kecil peradaban. Ia tak hanya bicara tentang kemiskinan, alam, dan cinta dalam lagu-lagu lainnya, tetapi juga tentang warisan batin dan etika Jawa yang hampir tenggelam. Karya seperti "Sekar Mayang -- Hong Wilaheng" mengingatkan kita bahwa modernitas tidak harus menghapus tradisi, tetapi justru bisa memperkuatnya bila keduanya saling menyapa.

Sebagai pengamat amatiran, saya melihat bahwa musikalisasi macapat ala Gombloh adalah contoh konkret bagaimana warisan sastra bisa hidup terus, tidak beku di naskah kuno, tetapi bernapas di ruang dengar kontemporer. Barangkali di situlah letak keindahan sejatinya: ketika sesuatu yang tua tidak usang, dan yang modern tidak melupakan asal-usulnya. ===

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun