Cerpen Remaja: Aku Tertunduk dan Kalah
Aku benci Bisma! Pokoknya benci! Anaknya sih lumayan, bisa dikatakan cakep, tinggi sekitar 170 cm, kulitnya kuning langsat, rambutnya pekat, alisnya tebal, hidungnya bagus banget, jarang orang punya hidung macam dia, suaranya biasa-biasa.
Atletis, bisa memetik gitar, bisa menyanyi, kadang bisa juga mengarang cerita lucu. Wajar jika banyak gadis bilang bahwa Bisma adalah cowok idaman. Sungguh aku pernah berkhayal jadi teman dekatnya. Masih dalam khayalan sih. Dan kupikir bukan hanya aku yang berhayal seperti itu. Wajarkan seorang gadis tertarik dengan seorang jejaka? Apalagi kepada Bisma! Byuh!
*
Ah, itu kan kemarin, sebelum aku dengar riwayat hidupnya. Oh bukan riwayat hidup, tapi kisah cintanya yang naif. Naif bin amit-amit! Naif artinya enggak mutu. Pokoknya tidak mutu. Aku harus membenci Bisma, eh, yang benar harus berusaha membencinya. Titik!
"Hati-hati dengan Bisma!" kata kakakku di ruang tamu, saat itu. Aku terkesiap mana mungkin Bisma masuk dalam kamus benak kakakku. Mana mungkin kakakku mengenal Bisma, kan lain sekolahan. Aku pikir kakakku tidak kenal Bisma. Tapi kini kakakku bicara tentang Bisma. Ajaib, kesohor benar mahluk satu itu.
"Kakak kenal Bisma?" tanyaku dengan mata melotot. Kakak mengangguk pelan. Sorot matanya redup. Kutatap wajahnya yang berkulit mulus, tanpa jerawat. Cakep banget.
"Aku harus membicarakan Bisma, sebab aku mendengar kau cukup dekat dengan Bisma. Teman-teman sekelasku membicarakan pula tentang Bisma" kata kakakku.
Bisma ternyata bagai komoditi berkwalitas ekspor. Jarak sekolah tempat Bisma dengan kakakku itu sekitar delapan kilometer, tapi hal Bisma sampai juga ke telinga kakakku dan para temannya.
"Saya hanya berteman dengan Bisma, Kak!" jawabku dengan setengah tegas.