Dhandhanggula “Ana Kidung Rumeksa Ing Wengi” sebagai Pemunah Kejahatan
Tembang sebagai Bentuk Ilmu dan Perlindungan
Dalam tradisi tembang Jawa, kidungan bukan sekadar lagu, tetapi juga sarana penyampaian ilmu sejati yang diwariskan turun-temurun. Kidung sering kali mengandung filosofi mendalam, doa, dan perlambang kekuatan spiritual serta moral. Salah satu tembang yang memiliki kekuatan ini adalah Ana Kidung Rumeksa Ing Wengi, sebuah tembang berbahasa Jawa yang diyakini mampu memberikan perlindungan dari bahaya.
Kidung ini merupakan karya sastra kuna yang dikaitkan dengan Sunan Kalijaga, salah satu Wali Songo yang dikenal menggunakan seni dan budaya untuk menyebarkan nilai-nilai luhur. Dalam perkembangannya, isi kidung ini juga dipercantik oleh pujangga Kyai Rangga Sutrisna. Sumber asli Serat Kidungan ini berasal dari koleksi Gusti Kanjeng Ratu Pambayun di Keraton Surakarta Hadiningrat.
Liriknya berbunyi:
Ana kidung rumeksa ing wengi, teguh ayu luputa ing lara,
Luputa bilahi kabeh, jim setan datan purun,
Paneluhan tan ana wani, miwah panggawe ala,
Gunaning wong luput, geni atemahan tirta,
Maling adoh tan ana ngarah ing mami, guna duduk pan sirna.
(Ada tembang yang menjaga dari gelap malam, tetap selamat terbebas dari penyakit, terbebas dari segala bencana, jin-setan pun menyingkir, tenung tidak berani mendekat, semua perbuatan buruk, perilaku orang yang keliru, seperti api tersiram air, pencuri menjauh dan tidak akan mengarah kepada kita, kejahatan punah).
Bernyanyilah, Maka Kejahatan Akan Punah
Di tengah gelapnya malam, ketika kejahatan bersembunyi dan merajalela, tembang ini hadir sebagai penerang, memberikan perlindungan bagi mereka yang melantunkannya. Namun, lebih dari sekadar doa atau mantra, kidung ini memiliki makna filosofis yang lebih dalam:
Bernyanyilah, dalam arti bersuara dan menyampaikan kebenaran, maka kejahatan akan menyingkir.