Mohon tunggu...
Donny Toshiro
Donny Toshiro Mohon Tunggu... wiraswasta -

Seorang pejalan, hobi mendaki gunung, dan fotografi. Bermimpi bisa berkelana ke seluruh pelosok nusantara. Pemuja keberagaman dan mendambakan hidup dalam harmoni.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Adat Mensyukuri Air di Lereng Gunung Merbabu

29 Februari 2012   16:30 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:43 992
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_165861" align="aligncenter" width="637" caption="Para penari berarak-arakan menuju lokasi sumber mata air."][/caption] Tradisi kecil sederhana yang memberi makna besar bagi kehidupan. Tubuh saya terguncang-guncang di atas kendaraan roda dua yang saya kendarai saat melintasi jalan tanjakan beraspal yang berlubang di sana sini. Jalan itu merupakan jalan utama menuju dusun Selo Tengah yang terletak di lereng Gunung Merbabu, Boyolali, Jawa Tengah. Hari menjelang magrib dan rintik-rintik air hujan yang menerpa wajah seolah-olah menjadi rangkaian ucapan selamat datang yang ditujukan kepada saya. Dan air juga yang menjadi penyebab kedatangan saya di sini. Ritual dan tradisi mata air dusun ini menguak rasa ingin tahu saya akan kekayaan budaya setempat. Kabut pekat mulai turun ketika hampir tiba di dusun Genting, tempat saya bermalam, yang bertetangga dengan dusun Selo Tengah ini. Rumah Bapak Bari adalah tempat yang saya singgahi malam itu. Rumah ini sekaligus menjadi salah satu rumah yang dijadikan basecamp pendakian. Dusun ini terletak di lereng Gunung Merbabu yang berketinggian sekitar 1800 meter dari permukaan laut (m dpl). Letaknya yang tinggi membuatnya berhawa sejuk dan sering ditutupi kabut. Kecamatan Selo ini terkenal karena menjadi pintu gerbang para pendaki untuk mencapai puncak Gunung Merbabu dan Gunung Merapi. Genting adalah dusun terakhir tempat para pendaki melapor sebelum melakukan pendakian. Dari titik ini panoramanya begitu indah dengan hamparan lahan pertanian yang berbukit-bukit si sebelah timur dan pesona puncak Merapi di sebelah Selatan. [caption id="attachment_165862" align="aligncenter" width="368" caption="Suasana desa dengan latar belakang Gunung Merapi."]

13305307691176981931
13305307691176981931
[/caption] Saya menghadiri acara ini atas undangan Pak Suyitno, salah seorang ketua RT di dusun ini. Jauh-jauh hari sebelumnya beliau telah mengirimkan pesan singkat yang berisikan undangan buat saya. Ritual ini dilangsungkan esok hari bertepatan dengan tanggal 14 bulan Sapar dalam penanggalan Jawa.  "Acara ini selalu diadakan pada pertengahan bulan Sapar, dan kebetulan pada tahun ini jatuh pada hari Selasa Pon.", demikian penjelasan Pak Jumar, ketika saya bertanya kenapa acara ini berlangsung pada hari Selasa Pon. Bapak Jumar, yang halaman rumahnya dipakai buat perayaan ini menyambut dengan ramah begitu tahu saya adalah tamu yang berkunjung. "Kami adalah warga gunung yang taat menjaga tradisi nenek moyang, hidup kami tidak bisa terpisahkan oleh tradisi.", demikian lanjutnya. [caption id="attachment_165863" align="aligncenter" width="259" caption="Kesenian yang disuguhkan pada acara di lokasi sumber mata air."]
1330530844831021961
1330530844831021961
[/caption] Keesokan pagi saat acara akan dimulai warga telah berkumpul untuk bersiap menuju ke sumber mata air. Sumber itu terletak sekitar satu kilometer dari desa dengan melintasi jalan setapak selebar satu meter. Jalannya sedikit menanjak dengan sisi kanan terhampar jurang dan sebelah kiri dipenuhi pohon-pohon pinus. Hutan yang cukup terpelihara yang memungkinkan sumber airnya mengalir terus. Para tetua dusun yang pria berkumpul untuk memulai persiapan ritual sementara yang wanita sibuk memasak hidangan. Acara dimulai dengan sambutan dan pembacaan doa, disusul dengan pemberian sesajen dan pemotongan hewan berupa seekor kambing betina dan seekor ayam betina. Di kemudian waktu atas penjelasan Nurhamid saya mengetahui kenapa dipilih yang betina. Semua mengacu pada nama sumber ini yang diberi nama sumber mata air tok babon. Dalam bahasa setempat berarti perempuan. Kenapa perempuan? "Seperti wanita perlambang mahkluk yang kuat demikian juga mata air ini menjadi sumber yang kuat dan berlimpah.", demikian penjelasan Nurhamid.
1330532115873295088
1330532115873295088
Tarian Topeng Ireng menjadi pengisi berikutnya sesaat setelah acara paripurna ritual ini selesai. Para penampil yang terdiri dari pemuda-pemuda desa ini menyuguhkan hiburan kesenian bagi para hadirin yang datang. Ini adalah bukti bahwa tradisi dan berkesenian tidak bisa dipisahkan. Kemudian sebagai pengisi perut dan penutup acara di lokasi sumber ini adalah menyantap hidangan yang telah dipersiapkan oleh ibu-ibu. [caption id="attachment_165877" align="alignnone" width="300" caption="Bocah-bocah melakukan persiapan sebelum tampil."]
13305326861328681912
13305326861328681912
[/caption] Siang itu saya bersama rombongan kembali turun ke dusun untuk menyaksikan acara berikutnya berupa tarian bocah dan wayang semalam suntuk. Kini giliran para bocah yang mempertunjukkan kebolehan mereka sedangkan pertunjukkan wayang didatangkan dari sebuah kelompok di Solo. Sampai disini saya melihat setiap warga ikut berpartisipasi dalam acara ini, tidak peduli tua muda, lelaki atau perempuan. Satu hal lagi yang membuat terkesan adalah dana yang dikumpulkan berasal dari sumbangan masyarakat sendiri. Peranan dan swadaya masyarakat sendirilah yang membuat acara ritual ini berlangsung dengan lancar. Kebersamaan dan gotong royong adalah hal yang umum yang dijumpai di desa lereng gunung ini. Setiap acara-acara desa selalu melibatkan masyarakatnya, baik dari segi dana dan tenaga. "Hidup di desa itu boros, Mas! Kita sering dimintai sumbangan buat berbagai macam acara.", setengah berkelakar Pak Bari bercerita kepada saya.
13305321621723858149
13305321621723858149
Sebelum menyaksikan acara berikutnya, saya menyempatkan diri buat bertamu ke rumah Pak Suyitno. Sambil menyantap hidangan yang disediakan, saya bertanya tujuan dari cara ini. " Selain untuk mensyukuri berkah atas air yang melimpah, juga kita berharap semoga tetap diberi kelancaran.", demikian jawaban beliau. "Karena air itu sungguh penting bagi kami. Selain untuk aktivitas sehari-hari seperti memasak, mandi, dan mencuci juga untuk mengairi lahan pertanian kami, karena mayoritas masyarakat disini hidup dari bertani." [caption id="attachment_165870" align="aligncenter" width="370" caption="Warga beramai-ramai membawa tumpengan kenduri."]
1330531140273298148
1330531140273298148
[/caption] Selo Tengah, sebuah dusun kecil yang dihuni seratusan kepala keluarga, menyadari betapa besar ketergantungan mereka terhadap alam Gunung Merbabu. Gunung ini telah memberikan begitu banyak kelimpahan bagi masyarakat yang tinggal di sekelilingnya. Mulai dari air yang jernih, tanah yang subur, hingga hutan yang kaya adalah sebagian dari berkah yang tak ternilai itu. Hanya dibutuhkan respek yang benar untuk melestarikannya. Dusun Selo Tengah telah menyadari hal itu yang diwujudkan dengan tradisi ucapan syukur yang dilakukan turun temurun. Kita memberi karena alam telah terlebih dahulu memberi kepada kita.
13305311981049286244
13305311981049286244

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun