Seorang kawan berkebangsaan Skotlandia pernah bercerita tentang pengalaman traumatisnya menjelang sebuah pertandingan sepakbola di pertengahan '90an. Dia menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri seorang suporter sepakbola ditusuk sebilah pisau di area wajah (getting stabbed) oleh seorang suporter dari kubu lawan.
Insiden ini terjadi di luar stadion menjelang  derby match paling panas di kota asal negaranya, antara Glasgow Rangers dan Glasgow Celtic. Sekaligus menjadi awal dari kerusuhan berdarah antar kedua kubu suporter.
Penggemar sepakbola di seluruh penjuru dunia pastinya sangat familiar dengan sejarah panas kedua tim dan fanatisme suporter dari kedua kubu tersebut. Vandalisme dan kekerasan seolah telah menjadi bagian dari kultur hooliganism dari dunia sepakbola di daratan Britania Raya.
Cerita tersebut menjadi kisah kesaksian paling *barbaric* yang pernah saya dengar tentang perilaku suporter sepakbola di dunia persepakbolaan modern. Rasanya sulit menemukan kisah yang lebih buruk.
Namun apa yang terjadi pada 2 Oktober 2022 di telah mengubah persepsi saya sepenuhnya.
Ratusan orang tewas sia-sia setelah peluit panjang berbunyi. Penyebab awalnya sungguh sederhana: tidak bisa menerima kekalahan. Perilaku yang tampaknya sudah mendarah-daging di berbagai aspek kehidupan sosial negeri ini.Â
Padahal secara akal sehat, esensi dari sebuah kompetisi, apapun jenisnya, adalah ajang penentuan dari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Sebuah konsep primitif yang semestinya disikapi secara arif.
Adakah lagi yang lebih primitif dari konsep tersebut? Banyak. Salah satunya adalah: mencari-cari kesalahan.Â
Sekarang ini kita lebih disibukkan mencari siapa yang salah. Suporter menyalahkan aparat keamanan, aparat menyalahkan panitia, Komnas HAM menyalahkan pemerintah, pemerintah menyalahkan.... ah sudahlah.
Media sosial dipenuhi oleh ucapan dan pesan belasungkawa untuk para keluarga korban. Baik melalui repost , pesan-pesan dalam kalimat retorik, dan berbagai macam jenis pengulangan dari postingan sebelumnya. Setelah itu semua ada baiknya kita merenung sejenak...Â
Karena semestinya kita juga berduka untuk diri sendiri atas matinya akal sehat kita.
Bila kita tak pernah siap menjadi pecundang..
... jangan pernah berharap akan menjadi pemenang