Berdasarkan mata pelajaran sejarah yang diberikan saat dibangku sekolah memaparkan bahwa Jepang memiliki sejarah cukup kelam. Hal tersebut karena dua bom atom dijatuhkan oleh Sekutu di Kota Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945. Peristiwa tersebut meluluhlantakkan baik dalam infrastuktur maupun sendi-sendi kehidupan masyarakatnya. Ledakan yang dihasilkan bahkan merenggut ratusan ribu serta meninggalkan radiasi yang berkepanjangan. Semua dampak yang ditimbulkan memprediksikan kebangkitan Jepang merupakan sebuah hal yang sulit dilakukan. Jikapun terjadi kebangkitan diperkirakan memerlukan waktu yang berdekade-dekade untuk membangun kembali.
Namun secara kenyataan justru menunjukan perbedaan yang signifikan dari prediksi yang dikemukakan oleh banyak pihak. Pasca peristiwa bom atom tersebut Jepang bertransformasi dalam waktu yang relatif singkat. Transformasi dimulai oleh Kaisar Hirohito yang mengambil keputusan untuk memprioritaskan pendidikan melalui pengumpulan guru dibandingkan membangun kekuatan militer kembali. Keputusan tersebut menjadi ujung tombak transformasi dalam sektor pendidikan Jepang yang mendorong generasi baru yang terdidik dan inovasi. Hasilnya terlihat secara nyata atas kemajuan teknologi seperti hadirnya kereta cepat bernama Shinkansen yang menjadi simbol modernisasi alat transfortasi.
Untuk setara sampai semaju Jepang maka Indonesia diharuskan melakukan transformasi pada bidang pendidikan. Salah satu bukti transformasi yang dilakukan pemerintah berupa perubahan kurikulum dari waktu ke waktu. Contoh saat memasuki tahun 2013 munculah konsep akan Kurikulum 2013 (K-13) dengan menekankan beberapa hal seperti penguatan karakter, integrasi antar pelajaran, sampai pendekatan ilmiah pada pembelajaran. Kini pihak pemerintah juga menerapkan Kurikulum Merdeka untuk diterapkan pada ekosistem pendidikan. Kurikulum tersebut menekankan akan kebebasan kepada guru dan siswa untuk menentukan materi yang disesuaikan minat dan kebutuhan. Disamping itu kurikulum tersebut juga mendorong pembelajaran ke arah yang kontekstual sampai berbasis proyek. Beragam perubahan kurikulum tersebut menunjukan bahwa Indonesia terus memperbaiki sistem pendidikan demi mencetak generasi unggul berdaya saing global setara dengan pelajar Jepang.
Walaupun dilakukan perubahan kurikulum pada sistem pendidikan namun dalam operasionalnya tentunya tidak bisa dipisahkan akan peran siswa dan siswi. Kedua pihak tersebut menjadi subjek utama dalam pembelajaran yang kerap mengalami tantangan besar. Salah satu bentuk tantangan tersebut berupa perilaku kenakalan remaja. Di Indonesia secara umum bentuk kenakalan remaja seperti membolos sekolah, merokok di lingkungan sekolah, hingga tawuran antar pelajar yang tidak jarang menimbulkan korban. Disamping itu munculnya perilaku bullying antar siswa juga memiliki dampak yang cukup serius pada kondisi psikologi korban. Beragam kenakalan tersebut menjadi tantangan besar yang harus dihadapi agar transformasi pendidikan dapat memberikan hasil maksimal.
Adanya tantangan utama tersebut membuat pihak sekolah tidak tinggal diam. Banyak sekali hal yang dilakukan seperti pembentukan unit Bimbingan dan Konseling (BK) sampai melibatkan peran aktif dari wali kelas. Peran BK berupa memberikan layanan konseling kepada siswa untuk mengatasi potensi terjadinya perilaku menyimpang. Disamping itu BK juga selalu melakukan deteksi dini terhadap berbagai gejala kenakalan siswa sambil memberikan pendekatan bersifat preventif. Sedangkan peran wali kelas menjadi penghubung antar beberapa pihak dari mulai siswa, orang tua, sampai pihak sekolah. Kedua pihak tersebut akan selalu memantau perilaku sekolah sehingga mitigasi dapat dilakukan sedini mungkin akan potensi perilaku menyimpang remaja.
Namun demikian adanya kedua pihak tersebut belum secara maksimal dalam menekan penyebaran perilaku penyimpang tersebut. Kondisi tersebut terlihat secara nyata akan maraknya pemberitaan mengenai kenakalan pelajar pada berbagai media. Fenomena tersebut mengindikasikan bahwa langkah preventif yang dioperasionalkan belum secara maksimal dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Beberapa faktor yang menyebabkan kurang maksimal seperti kurangnya kedekatan emosional antara siswa dengan pembina, tidak efektifnya metode konseling yang digunakan, sampai keterbatasan sumber daya manusia yang dilibatkan. Oleh karena itu dalam menyelesaikan permasalahan tersebut dibutuhkan solusi akhir namun cukup efektif seperti melibatkan pihak militer.
Sejumlah negara di dunia pernah melibatkan pihak militer sebagai solusi dalam menengani perilaku menyimpang remajanya. Amerika Serikat (AS) yang menamai program tersebut dengan nama juvenile boot camp dilakukan sejak tahun 1980-an. Program tersebut menyasar para remaja yang melakukan pelanggaran hukum ringan. Pada program tersebut juga menggabungkan pelatihan fisik, baris-berbaris, hingga rehabilitas psikologi yang dilakukan selama 3-6 bulan. Hasil akhir yang didapatkan berupa pembentukan kedisiplinan sampai tanggung jawab. Selain AS negar lain berupa Korea Selatan juga mengembangkan kamp pelatihan yang bekerja sama dengan militer dalam menangani para remaja yang bermasalah. Dalam program tersebut lebih menitikberatkan kepada detoksifikasi digital, pembentukan karakter, sampai aktivitas fisik intensif. Pastinya berbagai negara yang melakukan pendidikan militer tersebut tidak lepas dari kontroversi khususnya terkait hak asasi manusia. Walaupun demikin nyatanya dengan melibatkan unsur militer tersebut menjadi sebagai jalan altenatif dalam membentuk karakter remaja ke arah yang lebih baik.
Kini sistem pendidikan khususnya di Jawa Barat (Jabar) sedang dipegang oleh Dedi Mulyadi juga tutur melibatkan pihak militer. Operasional tersebut dimulai Mei dengan cara mengirim para siswa bermasalah di Jabar ke barak militer. Tentunya pengiriman tersebut harus didasarkan atas kesepakatan beberapa pihak seperti sekolah sampai orang tua siswa. Perlu digaris bawahi siswa yang dikirim ke barak merupakan para siswa yang bermasalah seperti tawuran, geng motor, hingga pelajar yang sulit diajarkan etika oleh keluarga. Tujuan adanya program tersebut diharapkan para siswa dapat merubah perilaku menyimpang melalui pendekatan disiplin ala militer. Dikarenakan tujuan tersebut maka pelaksanaannya terbagi ke dalam beberapa hal seperti pelatihan fisik, pendidikan karakter, sampai bimbingan mental.
Menurut sudut pandang penulis mengenai pengiriman para siswa bermasalah ke barak militer cenderung setuju tetapi ada beberapa parameter yang diperhatikan. Parameter tersebut haruslah dibuat sejelas-jelasnya dan dapat terukur dengan pasti. Bentuk secara konkret atas parameter seperti terjadi perubahan perilaku sampai meningkatnya kedisiplinan bagi para siswa. Melalui parameter yang jelas maka setiap operasional dari program tersebut yang melenceng akan dapat segera dievaluasi secara berkala. Dengan demikian penerapan program tersebut dapat benar-benar efektif baik secara jangka pendek maupun panjang bagi sang siswa yang masuk ke barak militer.
Disini perlu ditekankan secara jelas bahwa para siswa yang dikirim ke barak tidak boleh mengesampingkan ilmu pengetahuan di sekolah. Penekanan tersebut terjadi karena tingginya aktivitas fisik sampai pembinaan karakter di barak militer yang terkadang menyedot energi sampai pikiran para siswa. Hasilnya membuat para siswa tersebut akan sedikit tidak bisa fokus saat mengikuti pelajaran disekolah. Jika hal tersebut terjadi secara terus menerus maka dikhawatirkan para siswa yang dikirim ke barak mengalami ketertinggalan dalam pelajaran sekolah. Oleh karena itu disini perlu adanya pengaturan waktu yang proporsional antara pembinaan di barak dengan pembelajaran akademik. Jika memungkinkan tidak ada salahnya untuk melakukan pemanggilan guru sebagai tambahan pelajaran sekolah ketika terjadi indikasi bahwa para siswa mengalami ketinggalan pemahaman pelajaran sekolah.