Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Gagal Menjinakkan Attitude Pemain Timnas, STy Tidak Pakai Pedagogi ala Indra, Fakhri, dan Bima?

3 Januari 2023   10:44 Diperbarui: 3 Januari 2023   10:46 708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkembangan kognitif, afektif, dan psikomotor anak sampai orang dewasa akan terus bermasalah bila diampu oleh orang yang salah. (Supartono JW.03012022)

Karakter bebal pemain Timnas Indonesia di Piala AFF 2022, apakah hasil dari proses pembinaan sepak bola akar rumput Indonesia? Apakah hasil dari kompetisi di liga Indonesia? Jawabnya, ada yang ya. 

Ada yang tidak.Tetapi, publik bisa saja menelusuri setiap pemain yang masih bebal, awalnya dididik sepak bola di mana? Apakah sejak berlatih sepak bola, mereka disentuh bagian otaknya? Di sentuh bagian kepribadiannya? Atau hanya dididik bagian teknik dan fisiknya (speed)?

Jawabnya, saya yakin para pemain yang kini berada di Timnas tentu sudah ada yang menyentuh dan mendidik bagian otak, kepribadian, teknik, dan fisik (TIPS) secara lengkap. Jawabnya juga, pasti ada hanya disentuh bagian tekniknya. Tetapi, juga dapat dipastikan, selama proses, sentuhan pendidikan yang mengarah ke kecerdasan otak, kecerdasan kepribadian hanya tempelan, karena para pendidiknya juga pasti tidak kompeten karena tidak paham dan bukan bidangnya.

Mendidik teknik dan fisik pun juga sekadar tempelan karena tidak kompeten dan profesional di bidangnya. Sehingga, kini di panggung Timnas, publik dapat melihat betapa gagalnya proses pendidikan, pelatihan, dan pembinaan sepak bola di Indonesia.

Timnas adalah tolok ukur keberhasilan sepak bola di suatu negara. Dan, kini publik sepak bola nasional dapat menyaksikan betapa gagalnya Timnas Indonesia bila dilihat dari fakta bebalnya para pemain dalam segi TIPS.


Wahai pemerintah melalui stakeholder terkait dan PSSI, apakah dalam perhelatan Piala AFF 2022, dalam empat laga Timnas yang telah dilalui, kalian tidak melihat dan tidak tergerak dengan kondisi pemain Indonesia yang terus mempermalukan diri dan mempermalukan Indonesia?

STy gagal dalam pedagogi

Atas empat penampilan terbaru Timnas Indonesia di Piala AFF 2022, saya simpulkan pelatih sekaliber Shin Tae-yong (STy) ternyata masih gagal dalam hal pedagogi. STy saya pikir tidak mumpuni dalam mengentaskan aspek kognitif dan afektif, tapi hanya mampu di aspek motorik.

Sebab, yang dihadapi STy bukan pemain Korea Selatan yang mumpuni dalam TIPS. Tetapi STy mengampu pemain Indonesia, yang pondasi TIPSnya gagal sejak sepak bola akar rumput hingga klub.

Saya yakin, STy memahami konsep tentang kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dikenal dengan Taksonomi Bloom sejak 1956. Benjamin Bloom adalah seorang psikolog bidang pendidikan yang meneliti dan mengembangkan mengenai kemampuan berpikir seseorang dalam suatu proses pembelajaran.

Dalam proses, setiap tahap perkembangan anak di dalam dunia pendidikan, ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan karena menjadi acuan untuk menilai sejauh mana kemajuan perkembangan anak tersebut. Faktor- faktor yang penting tersebut adalah aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.

Bila saya kaitkan dengan teknik, intelegensi, personality, dan speed (TIPS) yang selama ini saya gunakan dalam mengasuh peserta didik baik di Sekolah Formal (SF) atau Sekolah Sepak Bola (SSB) atau Mahasiswa selama puluhan tahun, kognitif=otak, afektif=personality, psikomotor=teknik dan speed.

Tidak akan ada seseorang yang mahir dan mumpuni dalam teknik dan speed bila kognitif dan afektifnya masih gagal alias otak tidak berkembang, sikap dan mentalnya juga terpuruk.

Para pemain Timnas Indonesia yang kini ada di dalam skuat Garuda adalah para pribadi yang kekurangan asupan kognitif dan afektif. Sementara asupan psikomotoriknya pun banyak yang prosesnya salah teori dan praktik karena di didik oleh orang yang salah.

Lihatlah sepak bola akar rumput Indonesia. Berapa ribu pembina dan pelatih sepak bola akar rumput yang tidak memenuhi syarat mendidik, tidak punya ijazah pendidikan formal yang sesuai standar untuk mendidik anak-anak PAUD, tidak memiliki ilmu tentang bagaimana mengajar dan mendidik (pedagogi), tetapi ada di ranah sepak bola akar rumput dan malah untuk bergaya dan gaya-gaya-an.

Lihatlah di mana para pemain Timnas ini di didik di sekolah formal sebelumnya? Apakah mereka benar-benar mengikuti pendidikan dengan benar? Apakah rapor hasil dan ijazah sekolah formal yang mereka dapat hasil perjuangan fakta dalam dunia pendidikan di setiap level dan jenjang? Rata-rata, mereka hanya mendapatkan rapor dan ijazah yang angka-angkanya sekadar formalitas.

Inilah biang kerok mengapa Timnas Indonesia selalu diisi oleh para pemain yang masih bebal. Kognitifnya, afektifnya, psikomotoriknya, gagal terus. Jadi, bila publik sepak bola nasional selalu dibikin jengkel dalam empat laga fase Grup A Piala AFF, yang jengkel pasti tidak memahami benang kusut pendidikan Indonesia yang terus tercecer. Pun benang yang sangat kusut di sepak bola akar rumput hingga Timnas Sepak Bola Indonesia.

Indra, Fakhri, Bima paham pedagogi

Kendati masalah pemain Timnas yang bebal, yaitu sukar mengerti, tidak cepat menanggapi sesuatu (tidak tajam pikiran), bodoh, karena bebal berhubungan dengan aspek kognitif, otak (intelegensi) dan aspek afektif, kepribadian (personality) attitude dan nampaknya STy masih gagal menjadi nakoda Timnas di aspek tersebut, pun kalah oleh tiga pelatih lokal yang saya sebut mau belajar tentang pedagogi.

Tiga pelatih lokal itu adalah Indra Sjafri, Fakhri Husaini, dan Bima Sakti. Mereka abadi menjadi kebanggaan lokal alias local pride yang membawa Timnas Indonesia menjadi raja sepak bola Asia Tenggara di level junior. Dari ketiga pelatih lokal tersebut, Indra Sjafri dua kali membawa Timnas Indonesia juara Piala AFF U-19 dan U-22, yaitu juara Piala AFF U-19 edisi 2013 yang berlangsung di Sidoarjo, Jawa Timur. Ketika itu Timnas Indonesia U-19 era Evan Dimas menaklukkan Vietnam melalui adu penalti di final.

Indra Sjafri kembali membawa Timnas Indonesia juara Piala AFF U-22 edisi 2019 juga menaklukkan Thailand dengan skor 2-1 di final. Ini gelar pertama Timnas Indonesia menjadi juara Piala AFF U-22.

Berikutnya, Fakhri Husaini mencatatkan namanya dalam sejarah setelah mengantarkan Timnas Indonesia U-16 juara Piala AFF U-16 edisi 2018. Dalam laga final, Timnas Indonesia U-16 menaklukkan Vietnam melalui adu penalti.

Terakhir, sentuhan Bima Sakti Tukiman yang menjadikan Timnas Indonesia U-16 raja Piala AFF U-16 edisi 2022. Bima Sakti membuktikan ramuannya saat membawa Timnas Indonesia U-16 menaklukkan Vietnam dengan skor 1-0 di final pada 12 Agustus 2022.

Yang sangat saya perhatikan, baik Indra, Fakhri, mau pun Bima, ketiganya mampu menjadi guru bagi para pemain Timnas. Meski tidak mendapatkan ilmu dan teori tentang pedagogi serta pemahaman Taksonomi Bloom tentang perkembangan anak/orang dalam hal kognitif, afektif, psikomotir, tetapi dengan caranya baik secara teoritis kepelatihan atau memahami pedagogi secara otodidik, ketiganya mampu menjinakkan hati, mental, emosi, attitude, kepribadian, rasa tahu diri, rasa malu, tidak egois, tidak individualis, dll terkait afektif/personality serta mampu mendidik kognitif/otak pemain untuk cerdas.

Buntutnya, ketiganya mampu menunjukkan Timnas yang diampunya, setiap berlaga dapat menghibur dan menyenangkan hati publik sepak bola Indonesia hingga sampai mempersembahkan tropi juara. Apa sebabnya?

Meski asal pemain Timnas yang diampunya berasal dari belantara yang sama, yaitu Indonesia yang di dunia pendidikan terus hobi terpuruk dan tercecer, apalagi di sepak bola, publik dapat menyaksikan anak-anak Indonesia nampak bermain cerdas otak, cerdas kepribadian, cerdas teknik, dan fisik. Meraih juara pun yang disingkirkan Thailand dan Vietnam.

Semua dapat terjadi karena Indra, Fakhri, dan Bima memiliki kemampuan pedagogi ala mereka. Ada pendekatan individu kepada para pemain, ada pendekatan sosial, agama dll. Sehingga para pemain jinak, tahu siapa diri mereka, tahu diri, tahu malu, tahu menjadi duta bangsa, dan tahu-tahu yang lainnya.

Seharusnya, sebagai estafet dari Timnas Yunior, di level senior, Timnas Indonesia semakin berjaya. Tetapi, faktanya, meski kini Garuda di asuh STy, STy pun gagal membimbing para pemain untuk cerdas otak/kognitif/intelegensi dan afektif/kepribadian/personality.

STy harus dibantu psikolog

Kembali ke Timnas Piala AFF, apakah PSSI tidak menyiapkan psikolog untuk para pemain? Bukti empat laga dengan pemain yang tetap bebal, selalu memeragakan tabiat buruk, dan publik gemas dengan pemain yang senang gocek merasa seperti Messi atau lainnya, selalu egois, tidak pernah kompak dll, memang harus dikembalikan kepada si pelatihnya.

Yah, STy gagal mendidik dan membina para pemain, pun saya pikir dengan kemampuan bahasa yang terbatas untuk komunikasi langsung dengan para pemain secara individu, menjadi hambatan paling besar.

Para pemain pasti tidak mendapat asupan pendekatan personal yang kualitas dari STy, seperti yang dilakukan oleh Indra, Fakhri, dan Bima.

Indra, Fakhri, Bima, tahu para pemain yang dipilihnya dari belantara sepak bola Indonesia mana, jadi cara mendekatinya pasti disesuaikan dengan latar belakang, kondisi sosial, ekonomi, dll para pemain. Apakah STy melakukan itu kepada para pemain? Saya pikir tidak. Mungkin selama ini STy menyamaratakan kondisi semua pemain dan menghadapinya dengan cara yang sama seperti STy mengasuh Timnas Korea Selatan.

Empat laga yang sudah dilewati, adalah bukti, STy tidak mampu memperbaiki otak dan attitude pemain. "Hanya keledai yang jatuh ke lubang yang sama dua kali." pepatah ini tentu sudah akrab sekali di telinga kita. Seseorang yang tak bisa mengambil hikmah dari kesalahan yang sama diibaratkan sama dengan keledai.

Ini Timnas sudah empat kali mengulang kesalahan yang sama. Apa ibarat keledai dan keledai?

PSSI siapkah sambut Vietnam?

Dengan kondisi pemain Timnas yang masih bagaikan keledai karena terus mengulang kesalahan yang sama sampai empat kali, semoga PSSI juga tidak mengulang kesalahan kedua.untuk suporter yang bebal.

Park Hang-soe (PHs) pelatih Vietnam yang nampaknya akan menjadi lawan di partai semi final, sudah mengingatkan PSSI/tuan rumah di leg pertama pada Jumat (6/1/2022) agar Bus mereka tidak menerima perlakuan yang sama seperti Bus Timnas Thailand.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun