Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Memahami Marah Tingkat Rendah dan Tingkat Tinggi

23 Mei 2021   00:06 Diperbarui: 23 Mei 2021   00:07 824
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW


Pernahkah Anda mengalami kekecewaan dan marah yang sangat-sangat kepada orang yang mengabaikan, menyepelekan, meremehkan, menganggap enteng, memperkeruh suasana, bikin kisruh, tak peka, tak empati, tak simpati, tak peduli, tak tahu diri, tak rendah hati, dan sejenisnya, atas aturan, komitmen, janji, kedisiplan dan lainnya yang terkait dengan Anda? Tentu pernah, kan?

Mengapa ada orang yang mengabaikan, menyepelekan, meremehkan, menganggap enteng dan sejenisnya, atas aturan, komitmen, janji, kontrak, kedisiplan dan lainnya, padahal sudah disindir secara halus. Dikasih tahu puluhan kali. Sudah diinfo lisan dan tulisan puluhan kali juga, tetapi tetap tidak masuk hati dan otak juga?

Bila hal tersebut terjadi di lingkungan keluarga/pertemanan/persahabatan/sekolah/kampus/lingkungan kerja/instansi/dalam perkumpulan/grup/lainnya hingga kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu akan membahayakan dinamika hingga keutuhan keluarga/pertemanan/persahabatan/sekolah/kampus/lingkungan kerja/instansi/dalam perkumpulan/grup/lainnya hingga kehidupan berbangsa dan bernegara, tentu wajib ada tindakan logis dan empiris (berdasarkan pengalaman, terutama yang diperoleh dari penemuan, percobaan, pengamatan yang telah dilakukan, agar hal tersebut terhenti, setop. Tidak semakin parah dan kembali ke relnya.

Kisah wartawan

Selama puluhan tahun, saya mengalami kejadian semacam itu di kelas-kelas pembelajaran dan berbagai tempat lainnya. Saat kejadian tersebut terjadi di ranah dunia pendidikan, atau tempat lainnya, maka saat ada kejadian siswa/guru/orang lain dll mengabaikan, menyepelekan, meremehkan, menganggap enteng, memperkeruh suasana, bikin kisruh, tak empati, tak simpati, tak peduli, tak tahu diri, tak rendah hati, dan sejenisnya, maka saya praktikkan teori tentang marah tingkat tinggi dan marah tingkat rendah, dengan sebelumnya memberi tahu, menginformasikan, dan mensosialisasikan apa itu marah tingkat rendah dan marah tingkat tinggi secara logis dan empiris.

Marah tingkat rendah adalah marah yang didukung oleh ekspresi  bahasa tubuh, dan suara yang keras atau volume tinggi=100 dan kata-kata yang kasar.

Sementara marah tingkat tinggi adalah marah dengan diam. Tanpa ekspresi, tanpa suara, volume=0.

Teori ini saya dapatkan dari diskusi santai  dengan salah satu suhu teater Indonesia di tahun 90an. Kisahnya ada wartawan senior yang bila suatu saat dia diam saat memimpin rapat d ruang kerjanya, maka rekan kerja lainnya paham, bahwa wartawan ini sedang sangat marah atas kondisi di lingkungan pekerjaan yang dipimpinnya.

Menariknya, cara marah dengan diam dipilih oleh wartawan senior ini, karena dia paham rekan kerjanya adalah orang-orang yang cerdas intelegensi dan emosi, jadi paham kalau dia sedang marah. Tak perlu pakai suara dll.

Namun, suatu ketika, wartawan ini di divisi lain sedang bicara dengan keras, ada kata-kata kasar, dan sangat jelas ini termasuk kategori marah yang hebat.

Dari dua kejadian tersebut, maka wartawan senior ini ternyata mempraktikkan dua teori marah yang berbeda di tempat yang berbeda pula, yaitu melakukan marah model marah tingkat tinggi dan rendah.

Kata lainnya, rumusn marah tingkat rendah itu=volume 100 dan kata kasar, agar yang dimarahi paham ada orang sedang marah akibat dari sikap dan perbuatan dari yang dimarahi karena tak sesuai yang diharapkan, meski sudah disindir, dikasih tahu, dingatkan dengan lisan dan tulisan dll.

Cara marah tingkat rendah adalah untuk membangkitkan kesadaran agar yang dimarahi itu sadar, istilahnya menjadi manusia yang sebenar manusia.

Sementara marah tingkat tinggi akan sangat pas bila yang dihadapi adalah orang yang cerdas intelegensi dan emosi, maka akan peka dan paham.

Makhluk sosial, Iseaki

Sebagai makhluk sosial, setiap individu manusia tentu diharapkan mampu menempatkan dirinya di segala situasi sosial dalam berbagai kondisi dan situasi.

Namun, harapan agar setiap individu manusia dapat dan mampu menempatkan dirinya di segala situasi sosial dalam berbagai kondisi dan situasi, akan sangat ditentukan oleh bekal perkembangan dan daya kemampuan  intelegensi, sosial, emosional, analisis, kreatif-imajinatif, dan iman (Iseaki) seseorang.

Karenanya, bagi orang-orang yang telah memiliki bekal Iseaki mumpuni, segala laku langkahnya akan terkontrol dan terkendali, pun mampu menjadi pengontrol dan pengendali bagi dirinya sendiri, juga bagi orang-orang yang Iseakinya masih perlu dibenahi, baik di lingkungan keluarga/pertemanan/persahabatan/sekolah/kampus/lingkungan kerja/instansi/dalam perkumpulan/grup/lainnya hingga kehidupan berbangsa dan bernegara.

Orang dengan Iseaki mumpuni, karena pondasinya cerdas intelegensi dan emosi, akan sangat peka mengapa orang sampai marah tingkat rendah, suara keras, kata kasar dll. Pun akan sangat paham mengapa dia tahu ada orang sedang marah tingkat tinggi, meski diam.

Jadi, mari kita perhatikan di sekeliling kita. Bila kita tahu ada orang lain marah pada diri kita dengan cara diam, jangan salah, orang itu sedang marah, ya. Bukan ngambek. Dan, orang itu adalah orang yang cerdas intelegensi dan emosi, karena dengan diam, kita tahu dia sedang marah dan dia tahu kita juga paham.

Sebaliknya bila kita kena marah orang lain, sampai orang lain marah tingkat rendah, membentak, teriak, kata kasar dan lainnya, maka harus diricek. Apakah diri kita yang tak cerdas intelegensi dan emosi, sehingga orang lain sampai begitu.  Atau yang sedang marah yang tak cerdas intelegensi dan emosi.

Untuk itu, atas kisah-kisah tersebut, maka sikap kita adalah, marahlah tingkat tinggi (diam)  pada orang yang cerdas intelegensi dan emosi karena pasti mereka peka dan paham.

Suatu waktu, kita juga harus tunjukkan marah tingkat rendah kepada orang-orang yang belum cerdas intelegensi dan emosi, yang terkait dengan kita karena susah peka dan susah paham, meski risikonya yang kita marahi malah akan berbalik tersinggung dan berbalik marah. Tapi minimal kita sudah berupaya mengingatkan, menyadarkan, dan meluruskan hal yang selama ini salah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun