Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat dan Praktisi
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Sambut Idul Fitri 1442 Hijriah, Indahnya Bila Terbiasa Gunakan Penalaran Induktif dan Komprehensif

11 Mei 2021   21:23 Diperbarui: 11 Mei 2021   22:54 797
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Saya pernah menulis artikel puluhan tahun yang lalu, isinya bangsa kita adalah bangsa deduktif (deduksi) atau parsial. Pasalnya, dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, dalam setiap langkah mengambil tindakan dan kebijakan baik yang diakukan oleh parlemen, pemerintah, stakeholder terkait hingga masyarakat, cenderung dengan tradisi berpikir deduktif-parsial, bukan induktif (induksi)-komprehensif.

Sehingga, bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa yang masyarakatnya tak kreatif dan tak inovatif. Terus menjadi bangsa pemakai produk asing dan malah bangga dengan produk asing. Jarang melahirkan dan tak menciptakan teknologi yang diakui dunia, pendidikan pun terus terpuruk. Kecerdasan intelegensi dan personaliti (emosi) juga terus jadi masalah mulai dari rakyat jelata hingga pemimpin bangsa.

Contoh kasus terbaru

Contoh kasus terbaru, Presiden Jokowi saja sampai promosi kuliner agar masyarakat bangga dengan masakan karya anak bangsa sendiri di tengah pandemi Covid-19.

Tetapi karena, tak berpikir induktif, maka promosi yang dilakukan oleh Presiden justru menuai masalah, bikin polemik, dan membangkitkan kisruh.

Bila sebelum promosi dilakukan, Presiden dan stafnya telah melakukan pendekatan induktif, analisis secara khusus dan mendalam, serta melihat isi promosi dari berbagai sudut, suasananya sedang Ramadhan dan lain-lain, dipikirkan secara induktif dan matang, maka mustahil akan terjadi polemik masalah promosi materi kuliner yang tak tepat waktu.

Jujur, bila dipikir secara induktif, maka mustahil Presiden akan melakukan kesalahan fatal yang tak perlu karena sangat jelas risiko dan akibatnya dan akhirnya terbukti, masyarakat pun marah.

Jujur, mustahil kejadian promosi ini disengaja karena demi masyarakat mencintai produk dalam negeri dengan mengabaikan perasaan dan hati nurani umat muslim, jadi kasus promosi kuliner oleh Presiden, mungkin akibat dari cara penalaran deduktif.

Berikutnya, kasus larangan mudik. Saya juga berpikir, kebijakan larangan mudik dilakukan dengan cara penalaran induktif, sebab selain yang ada di kepala hanya menghindari lonjakan kasus corona, di sisi lain ada instrumen pemerintah yang melegalkan WNA lolos masuk Indonesia.

Sehingga, kebijakan larangan mudik pun tak diambil dengan pemikiran induktif dan komprehensif, karena masih ada cela-cela yang tak dipikirkan sebelumnya dan malah mengabaikan kebijakan yang melarang rakyat pribumi tapi WNA dikasih hati. Ini bisa juga disebut sebagai kasus dari kebijakan yang diambil secara pemikiran deduktif, bukan induktif.

Kasus lain yang sangat hangat adalah masalah pelemahan KPK. Kolaborasi antara parlemen dan pemerintah serta stakeholder terkait juga sangat terbaca arahnya. Sangat bisa ditebak maksud dan tujuannya apa. Jadi, melemahkan KPK juga tak dilakukan dengan penalaran induktif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun