"Cuma baca judul". Itulah fenomena terkini masyarakat Indonesia. Meski ini bukan hasil penelitian atau survei, namun dari apa yang selama ini coba saya amati, barangkali ada baiknya, pemerintah dan pihak atau stakeholder terkait di Indonesia dapat menyentuh fenomena masyarakat kita yang kini terbudaya "cuma baca judul".
Dari mana saya dapat mengambil kesimpulan tentang fenomena "cuma baca judul" ini. Yang terdekat adalah dari lingkungan kegiatan saya di seputar pendidikan yang terutama dapat saya identifikasi dari grup-grup media sosial, terutama whatsapp (wa).
Terus menjadi bangsa "pemakai"
Ternyata, di tengah masyarakat dan bangsa dunia terus berlomba menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, dan terus berupaya menjadi yang terdepan di muka bumi ini dengan menjadi penemu, pencipta, inovator, kreator dan sejenisnya, masyarakat Indonesia justru terus asyik dan terlena menjadi masyarakat "pemakai" produk dan ciptaan hasil teknologi masyarakat dunia lain.
Bila masyarakat dunia terus bersaing dan mencoba mencipta dan menemukan berbagai kemajuan di peradaban dunia ini, ssbagian besar masyarakat kita, jangan kan untuk turut serta menjadi penemu, pencipta, inovator dan lain sebagainya.
Sekadar membaca informasi yang justru tinggal buka di media online atau informasi yang di bagikan dalam fasilitas media sosial di smartphone nya, "malas".
Padahal dengan adanya media sosial, khususnya sarana wa yang ada di setiap handphone (hp), maka akses untuk "tahu" dunia menjadi sangat terbuka.Â
Tapi apa yang terjadi dengan budaya masyarakat saat menerima informasi berupa berita/artikel/gambar/video/film dan lain sebagainya yang dapat membantu menambah wawasan dan membaca dunia, ternyata, apa yang disebar oleh sesorang kepada seseorang, atau seseorang ke dalam grup wa, hanya sekadar menjadi "sampah" wa, karena informasi yang diterima hanya sekadar di "read" lihat sekilas atau sekadar.membaca judul, bahkan setelahnya dihapus.
Kenyataan ini, dalam beberapa tahun ini, sejak hadirnya fasilitas wa di hp, telah saya buktikan. Saya bagikan informasi dalam bentuk artikel pada beberapa grup wa, yang sejatinya semua anggota grup itu adalah orang-orang terdidik, tapi saat saya bertemu dengan mereka secara langsung.Â
Begitu saya ajak diskusi menyoal apa yang saya bagikan di wa sebelumnya, kebanyakan dari mereka tak dapat menimpali diskusi saya. Setelah diusut ternyata, mereka belum membaca isinya, hanya membaca judulnya.
Penasaran dengan kejadian ini, maka saya coba bertanya sekaligus meminta teman dan sahabat saya membuktikan dengan mengirim informasi dalam bentuk berita/artikel/video dll, ke temannya atau ke grup wa yang dia miliki.Â
Setelahnya coba tanyakan kepada yang bersangkutan. Apakah orang secara personal atau anggota grup telah paham isi informasi yang dikirim? Ternyata, jawabnya sama. Mereka ternyata hanya melihat sekilas atau sekadar membaca judul tanpa menyimak isinya sampai tuntas.
Atas kejadian ini, yang kini telah menjadi tradisi dan fenomena baru di masyarakat kita, di tengah terpuruknya masyarakat Indonesia dari barang bernama literasi dan keterampilan berbahasa seseorang, maka sekadar melihat atau cuma membaca judul masyarakat kita dalam menerima informasi yang seharusnya mereka "mamah" demi wawasan dan pengetahuan dirinya, benar-benar perlu perhatian.
Terlebih, masalah cuma membaca judul yang kelihatannya sepele ini, terjadi pada ranah umum, bukan dalam kelas pendidikan.Â
Sehingga, sikap malas dan melek baca masyarakat kita menjadi terus terpupuk secara masif. Karena membaca atau tidak, tidak akan kena masalah karena tidak ada ujiannya atau tidak ada sanksinya.
Jadi, dengan fenomena ini, masyarakat Indonesia yang sebagian besar hanya menjadi bangsa "pemakai", tinggal pakai produk asing, tinggal beli, tinggal minta, tinggal ini, tinggal itu, tinggal copypaste, dll, dan terus dimudahkan oleh kemajuan teknologi yang dicipta oleh bangsa dunia, maka kapan masyarakat bangsa ini akan sadar diri, karena segala kekayaan alam Indonesia akhirnya juga akan dikuasai oleh Aseng dan Asing.
Gemas, prihatin
Gemas sekaligus prihatin. Itulah diksi yang saya pilih untuk mendeskripsikan bagaimana kondisi masyarakat kita dalam fenomena ini. Mengapa gemas dan prihatin?
Menurut KBBI, gemas menggambarkan perasaan sangat suka atau cinta bercampur jengkel. Sementara, makna prihatin adalah bersedih hati, waswas, bimbang atas berbagai "kegagalan".
Saya gemas, karena sejak hadirnya media sosial, maka perasaan senang dan suka muncul karana manusia jadi dimudahkan dalam berbagai hal. Namun, saya juga merasakan jengkel, karena banyak manusia yang tidak bijak dalam memanfaatkan media sosial.
Oleh sebab itu, saya jadi terus prihatin, sedih, was-was, bimbang, karena harapan rakyat Indonesia seperti cita-cita pendiri bangsa seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945, akan terus menjadi sekadar mimpi.
Seharusnya kehadiran media sosial, khususnya wa, menjadi lebih berguna dalam menumbuhkembangkan tingkat literasi masyarakat Indonesia yang terus terbelakang, seiring sejalan dengan sulitnya pendidikan Indonesia bangkit dari keterpurukan?
Dari berbagai penelitian dan dari berbagai laporan hasil penilaian pendidikan di tingkat dunia, tidak usah saya ulang dan sebut lagi seperti telah saya ungkap dalam artikel-artikel sebelumnya, rapor pendidikan di Indonesia di tingkat Asia Tenggara saja terus tercecer, apalagi di tingkat dunia.
Saya juga tidak akan mengulas mengapa demikian kejadiannya? Lalu, bagaimana dengan sepakterjang dan kinerja Menteri Pendidikan kita yang sekarang menjabat.Â
Dalam kesempatan ini, justru saya ingin menggedor hati dan pikiran saya sendiri. Syukur-syukur para pembaca artikel saya ini juga ikut tergerak dengan apa yang saya rasakan.
Yang pasti, dengan masih lemahnya Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, masih banyak rakyat yang belum mengenyam bangku pendidikan, masih terpuruk dalam keterampilan berbahasa (mendengar, berbicara, membaca, dan menulis), masih utopia dalam merengkuh cita karena "penjajahan" kepada rakyat justru masih terus berlangsung.
Semua menjadi kolaborasi negatif yang tak mendukung kemajuan SDM kita untuk sampai pada ranah berkarakter, cerdas intelegensi dan emosi, maka jauh dari sikap empati, simpati, rendah hati, yang menjadi identitas manusia berbudi pekerti luhur.
Terlebih, SDM yang mujur, sempat mengenyam bangku pendidikan hingga yang diberikan kepercayaan memimpin bangsa dan negara ini, malah terus larut dalam suka cita di atas kepentingan mereka sendiri, dan terus mengabaikan rakyat.
Jadi, hanya sekadar me"read" informasi yang dikirim dalam wa atau "cuma sekadar membaca judul", kini benar-benar menjadi fenomena yang wajib kita "perangi".
Terlebih, yang lebih ironis, baru membaca judulnya, langsung antipati dengan informasi yang dibagikan oleh orang lain atau anggota grup lain.Â
Dengan pikiran dan sikap yang "dangkal" langsung merespon negatiflah, langsung komen jangan kirim informasi yang inilah  jangan kirim informasi yang itulah. Lalu, bilang grup ini hanya untuk ini atau hanya untuk itu.
Sepanjang yang saya tahu, juga dari berbagai informasi dari orang lain dan pihak lain, maka orang-orang yang bersikap demikian sudah teridentifikasi siapa "mereka".
Bahkan, saya sering dapat masukan baik melalu pesan atau pembicaraan langsung: "Tolong" kirim informasi yang ini atau yang itu, Mas. Anggota di grup ini atau itu, biar cerdas dan melek, dll. Jangan cuma mikirin apa yang mereka senang, tak mau membaca, tak mau belajar, dan merasa sudah cukup."
Kadang saya tertawa saat menerima masukan seperti itu. Tapi, memang, sangat sering saya menemukan individu di berbagai grup wa yang saya ada di dalamnya. Dan sedihnya, grup wa itu, grup yang terdiri dari orang-orang terdidik.
Saat saya melihat artikel yang saya tulis di media massa, baik dalam bentuk link dari media online maupun foto artikel dari  media cetak tayang, saya langsung membagikan di grup-grup wa atau rekan/sahabat/teman/saudara dll. Mengapa saya bagikan?Â
Saya merasakan, isi artikel yang saya tulis memang wajib kita pahami sebagai masyarakat Indonesia yang tiap hari lekat dengan apa yang ada dalam tulisan saya, sesuai kondisi aktual Indonesia.Â
Minimal sebagai informasi dan bahan bacaan. Namun, apa.yang sering saya dapati setelah saya bagikan artikel yang saya tulis itu. Padahal artikel itu bukan hasil dari copypaste atau meneruskan dari orang atau grup lain.
Baru beberapa detik saya  bagikan, sudah langsung ada komentar atau respon. Dan, yang saya tahu, si komentator atau si perespon itu, cuma baca judul. Jadi komentar dan responnya malah jauh dari isi artikel atau malah tidak nyambung.
Tanpa disadari, si komentator atau si persepon ini, dengan sendirinya tidak menyadari sedang "menelanjangi" dirinya sendiri di hadapan anggota grup yang lain. Mau unjuk gigi, tapi malah mempermalukan dirinya, karena maaf, "sok tahu".
Masa "cuma baca judul" lalu paham isi informasi dan dapat menilai dan memberikan kesimpulan dan alterntif solusi masalah?
Bagaimana bisa menjadi solutor masalah UU Cipta Kerja dan semua kebijakan DPR dan Pemerintah yang rakyat permasalahkan.Â
Bagaimana bisa menjadi solutor untuk bidang pendidikan, budaya, olah raga, dll, bila masih terus asyik dengan dunianya, tak mau membuka diri dan menambah wawasan "dunia" minimal dengan membaca. Cuma tinggal baca, lho. Kok, cuma baca judul?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI