Budaya "ngawulo" sudah begitu mendarah daging di benak masyarakat, khususnya masyarakat Jawa.
Ketika Islam masuk ke Nusantara, ia tidak mengisi kekosongan kepercayaan. Nenek moyang kita sudah hidup dengan beragam keyakinan, seperti Kapitayan, Hindu, Animisme, dan Dinamisme.
Para pendakwah Islam di awal, sekitar abad ke-7, sempat mengalami kegagalan. Namun, pada abad ke-14, mereka mulai berhasil. Keberhasilan ini bermula saat metode dakwahnya diubah, menggunakan pendekatan kepercayaan masyarakat Hindu. Dalam Hindu, Dewata Nawasanga adalah sembilan dewa yang menguasai penjuru mata angin. Singkat cerita, oleh para pendakwah Islam, sembilan dewa yang disembah itu diubah menjadi sembilan manusia mulia yang dekat dengan Tuhan, yang kita kenal sebagai Walisongo (Baca: Atlas Walisongo karya Agus Sunyoto).
Setelah era Walisongo berakhir, simbol manusia suci dilanjutkan oleh ulama atau kiai. Anak dari kiai ini kemudian dikenal dengan sebutan Gus.
Istilah Gus mulai "booming" saat muncul tokoh seperti Gus Dur dan Gus Miek. Dahulu, gelar Gus hanya disematkan kepada anak kiai yang memang memiliki kapasitas selevel ulama dalam keilmuan mereka.
Namun kini, gelar Gus seolah "dijual murah" kepada siapa saja yang memiliki jemaah. Ini menunjukkan adanya degradasi teologis gelar Gus, dari awalnya sebuah simbol tokoh suci menjadi sekadar tokoh yang dikerumuni oleh "manusia kerumunan". Ironisnya, karena begitu murahnya gelar ini, jumlah Gus-Gus yang terjerat kasus pidana dan masuk penjara kini cukup banyak.
Tradisi "ngawulo" dan "gumunan" tidak hanya muncul pada simbol agama seperti fenomena gus-gusan. Ini juga berlaku di lingkungan birokrasi, organisasi, dan komunitas.
Saya menyebut fenomena ini sebagai perbudakan spiritual dalam konteks agama, sementara dalam birokrasi dan organisasi, saya menyebutnya sebagai perbudakan relasi kekuasaan.
Tentu kita akan menemukan bahwa di setiap kerumunan, selalu ada tokoh yang diidolakan. Bahkan, tokoh tersebut sampai lelah melayani permintaan foto, atau setiap tingkah lakunya dijadikan video reels oleh para penggemarnya.
Terkadang, tradisi "ngawulo" dan "gumunan" bisa saling bertentangan. Contohnya, ketika fatwa haram sound horeg dikeluarkan oleh seorang kiai, hal itu justru menjadi ajang olok-olokan di media sosial oleh para "manusia kerumunan" penyembah sound horeg. Dalam kasus ini, agama, yang seharusnya berfungsi sebagai kontrol sosial atas praktik fanatisme, malah di-bully oleh para penyembah sound horeg. Sebagai umat Islam, tentu ini sangat menyedihkan.
Mengapa masyarakat kita begitu mudah takjub dan fanatik?
Apakah mereka tidak menyadari bahwa kefanatikan hanya akan dimanfaatkan dan diombang-ambing oleh opini?