Mohon tunggu...
Tonang Dwi Ardyanto
Tonang Dwi Ardyanto Mohon Tunggu... Dokter - Akademisi dan Praktisi Pelayanan Kesehatan

Dosen, Dokter, ... Biasa saja.

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Tidak Ada Gawat Darurat Versi BPJS

23 Januari 2016   07:45 Diperbarui: 23 Januari 2016   09:33 13306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Pertama kali ditulis pada 7 Juni 2015) 

Salah satu keluhan yang sering muncul dalam diskusi soal JKN adalah "ditolak di IGD". Di lapangan, keluhan itu berlanjut ke: apa sih sebenarnya kriteria gawat darurat itu? Maka terjadilah ketegangan dan perdebatan. Tidak jarang, pasien sampai membawanya ke media sosial. Begitu juga, ada politikus yang membawanya ke media nasional. 

Kalau ditanya secara mendasar: yang berhak menentukan gawat tidaknya kondisi seorang pasien adalah Dokter Pemeriksa saat itu. Untuk itu, ada Standar Pelayanan Profesi. Berdasarkan standar itulah, dokter di lapangan menilai suatu kegawatan. 

Kalau itu suatu ranah profesional, mengapa tetap harus ada kriteria tertulis lagi? Karena tindakan profesional itu adalah ruang gerak, bukan ruang berbatas tegas, bukan hitam putih. Justru karena itu harus ada standar, ada kriteria, untuk membantu agar ruang gerak itu tidak mengarah ke penyimpangan. Dengan kriteria itulah para profesional berpegang. 

Dalam era JKN, masalah ini mengemuka karena dianggap "aturan baru" tentang penilaian kegawat daruratan. Apalagi, mengapa BPJSK yang membuat aturan? Memang, seperti dalam lampiran, kesan kuat bahwa itu adalah aturan dari BPJSK. Begitu juga dalam Buku Panduan Pelayanan Kesehatan BPJSK untuk Gawat Darurat, kesannya kuat sekali. 

Akibatnya, BPJS yang menjadi sasaran tembak. Padahal seharusnya tidak perlu terjadi yang demikian. Bila dirunut, konsep pelayanan gawat darurat itu mulai diatur lebih terpadu sesuai KMK 856/2009 tentang Standarisasi Instalasi Gawat Darurat. Hal itu juga sudah dibahas sekilas pada tulisan terdahulu. Prinsipnya ada ruang gerak bahwa "IGD pada kualifikasi tertentu, berarti harus mampu menangani kasus sampa level tertentu, sekaligus harus merujuk ke level yang lain bila ternyata standar kualifikasinya tidak mampu menangani kasus tersebut". 

Dalam salah satu lampirannya, terdapat daftar Kriteria Kasus yang masuk sebagai layanan Gawat Darurat. Selanjutnya, kriteria itu menjadi dasar juga pada Permenkes 416/2011 tentang Standar Tarif Pelayanan ASKES. Kemudian dirujuk lagi pada Permenkes 40/2012 tentang Pelayanan Jamkesmas. Kriteria-kriteria ini yang kemudian dirujuk oleh BPJS seperti dalam gambar di bawah. 

Apakah salah BPJSK menggunakannya dan menempelkannya di tempat-tempat pelayanan? Apakah boleh BPJSK terlibat dalam hal "mengatur" pelayanan gawat darurat ini sehingga menyusun panduan? Sayangnya, memang BPJSK berhak. Dasarnya? Pasal 40 Perpres 12/2013 tentang JKN. Dalam ayat  (5) disebutkan: Ketentuan lebih lanjut mengenai penilaiankegawatdaruratan dan prosedur penggantian biayapelayanan gawat darurat diatur dengan PeraturanBPJS Kesehatan.

Apakah kriteria itu tidak boleh berubah? Sangat boleh. Jalurnya? Sesuai Permenkes 1438/2010, maka Organisasi Profesi dan Kolegium yang menjadi rujukan bagi Menteri untuk menetapkan Standar Pelayanan Kedokteran. Maka, mari kita perjuangkan perubahan bila memang itu adalah hasil kajian dari Masyarakat Ilmiah Kedokteran melalui Kolegium.

Sementara itu, bagaimana di lapangan? Saya berpendapat, kriteria itu tetap bisa menjadi pegangan. Anggap saja itu semacam Panduan Bersama. Namun, sebagaimana juga isi Permenkes 1438/2010, maka DPJP berhak melakukan modifikasi dengan syarat hanya dapat dilakukan atas dasar keadaan yang memaksa untuk kepentingan pasien, antara lain keadaan khusus pasien, kedaruratan, dan keterbatasan sumber daya. Modifikasi itu harus dituangkan dalam rekam medis sebagai pertanggung jawaban profesi dan ilmiah. 

Dengan memahami kondisi itu, maka berarti ada ruang diskresi. Sebagaimana pegangan yang hati-hati, diskresi hanya digunakan dalam keadaan terpaksa dan semata-mata demi kepentingan pasien dan masyarakat, bukan untuk suatu kepentingan lain. Di titik inilah, antara pemberi pelayanan dan petugas BPJSK di lapangan, harus dapat saling menghormati sekaligus saling menjaga agar ruang diskresi itu tidak kemudian menjadi disalah gunakan. 

#SalamKawalJKN

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun