Mohon tunggu...
TOMY PERUCHO
TOMY PERUCHO Mohon Tunggu... Penulis - Praktisi Perbankan, berkeluarga dan memiliki 2 orang anak.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Agama : Islam. Pengalaman kerja : 1994-2020 di Perbankan. Aktif menulis di dalam perusahaan dan aktif mengajar (trainer di internal perusahaan) dan di kampus.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Artikel Kecil

8 Juli 2020   21:45 Diperbarui: 8 Juli 2020   21:49 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona


Suatu pagi ketika hendak berangkat kerja, "Ma...papa pergi dulu ya, daaah..."..tiba-tiba si ayah tercengang tatkala mendengar teriakan spontan putri kecilnya yang baru berusia 4 tahun..."dadaaaah papa..., jangan kolupsi ya Pa..." he3x...iya sayang, respon ayahnya. Dalam perjalanan ke tempat kerja, ia termenung, seketika ia menelepon istrinya untuk menanyakan dari mana si kecil tahu kata2 itu, khususnya istilah korupsi. "Ooo.. rupanya si putri kecilnya tadi mengetahui istilah korupsi dari seringnya ia melihat tayangan di televisi mengenai kasus korupsi. 

Terlepas dari hal tersebut, si ayah dalam hati berterima kasih pada anaknya tersebut karena ucapan si putri kecil seolah menjadi reminder dan alarm agar ia menjaga integritas diri dengan sebaik2nya bila tidak ingin masa depan diri dan keluarganya hancur. Suara "Alarm kecil" itu selalu terngiang-ngiang terdengar di telinga dan hati si ayah...

Yang memprihatinkan adalah merebaknya kasus fraud/korupsi di negara kita tercinta ini melibatkan banyak pihak dari berbagai kalangan dari mulai pengusaha, pejabat negara, wakil rakyat, dan lain sebagainya. 

Korupsi sepertinya telah membudaya, pelakunya tidak lagi memiliki rasa malu bahkan masih bisa tersenyum lebar layaknya artis di depan kamera, tidak ada lagi sense of belonging terhadap negara dan bangsanya yang ada hanyalah Ego pribadi, dan berakar serta beranak-pinak yang notabene sangat berlawan dengan karakteristik bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Agama, Pancasila dan UUD 1945 dalam pelaksanaannya seperti minyak dan air. Agama, Pancasila dan UUD 1945 dan aturan2 lainnya sekedar formalitas belaka zonder aplikasi dalam kehidupan sehari-hari.

Mencermati faktor penyebab utama merebaknya kasus korupsi di negara kita selain terbukanya peluang/kesempatan, lemahnya pengawasan, salah satunya adalah karena niat buruk untuk memperkaya diri karena adanya rasa "ingin dilihat orang sebagai sesuatu yang "Wah" yang mengundang decak kagum orang lain. 

Banyak orang memandang orang lain hanya berorientasi pada atribut yang dikenakan/melekat saja seolah identic dengan kekayaan atau kesuksesan tanpa pernah melihat "process" nya, struggle dan kerasnya upaya untuk mencapai hasil akhir tersebut.

Masyarakat kita berpandangan bahwa orang yang kaya adalah orang yang banyak hartanya dan hidup enak. Memandang arti kesuksesan adalah apa yang dilihat orang bagus, bukan apa yang kita rasakan. 

Oleh karena itu layaknya gula yang manis, semakin diminum semakin haus, godaan untuk memiliki materi agar cepat "kaya" dan cepat "sukses" tanpa perlu kerja keras mendorong para pelaku fraud/korupsi bermimpi, panjang angan-angan dan berpikir "cerdas", namun pendek akal dengan menempuh cara2 yang instant.

Pandangan yang demikian sangatlah keliru, karena makna kaya yang hakiki pada hakekatnya adalah kaya hati bukan sekedar kaya materi. Dan makna kesuksesan yang sebenarnya adalah ketika kita memiliki rasa "cukup", sabar serta selalu bersyukur dan dapat berbagi dan bermanfaat untuk orang lain. Dan orang dipandang lebih karena akhlak budi pekertinya, bukan karena pangkat, gelar, jabatan, kedudukan atau hartanya semata. 

Namun demikian, walaupun sudah mengetahui berbagai risikonya, tetapi tetap saja banyak orang berusaha mencoba2 untuk berspekulasi demi kesuksesan semu. Susah payah mengumpulkan hasil korupsi, selain tidak berkah, pada akhirnya juga tidak dibawa pulang (kelak), bahkan sebaliknya akan menuai kesengsaraan dan penderitaan.

Mari kita belajar dari sosok pribadi sederhana dan rendah hati (low profile) seperti tokoh2 di negeri sakura (Jepang). Mereka adalah tokoh yang sangat disegani oleh masyarakat Jepang. Mereka disegani bukan karena kekayaannya, tetapi karena kerja keras dan struggle dalam hidupnya hingga sukses membangun perusahaan raksasa yang mampu bertahan hingga puluhan tahun hingga saat ini! Ketika ada perbuatan yang tidak sesuai dengan aturan, mereka segera mundur. bahkan mereka melakukan harakiri (bunuh diri) karena menanggung malu!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun