Mohon tunggu...
Tomy Michael
Tomy Michael Mohon Tunggu... Dosen - --

Nec scire fast est omnia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Balik Kereta Api dan Kehidupannya

25 Februari 2024   14:13 Diperbarui: 25 Februari 2024   14:21 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemilihan umum usai dan masyarakat harus mengawal visi misi para pemenang agar itu terpenuhi. Kalau dilihat dari debat kemarin-kemarin maka seluruh calon ingin Indonesia menjadi sejahtera. Dalam ajaran komunisme, sejahtera adalah sama rata semuanya sementara dalam ajaran keagamaan cenderung pada peningkatan kapasitas iman. Sementara bagi mereka yang mengagungkan hidup bahagia maka kesejahteraan identik dengan cuan.

Sebagai contohnya di Surabaya ketika masuk di Tunjungan Plaza mulai 1 hingga 6 maka semuanya terlihat sejahtera. Lampu yang berwarna, udara yang dingin hingga banyaknya jenis camilan menunjukkan pengunjung sejahtera semuanya. tetapi sejahtera sebenarnya yaitu ketika akan menuju ke suatu kota ke kota lainnya dengan kendaraan besi.

Kendaraan besi yang dimaksud adalah kereta api. Siapapu  mengakui bahwa kereta api adalah satu-satunya kendaraan yang tidak bisa dimiliki secara pribadi. Sekaya apapun diri kita tampaknya sangat susah memiliki kereta api sendiri beserta relnya. Untuk saat ini kereta api merupakan moda transportasi yang nyaman dan bersih, ketika ia lewat maka semua kendaraan akan patuh. 

Bagi yang sering berkereta api dari Surabaya ke Malang dan sebaliknya maka pemandangan akan berubah-ubah sedemikian cepat. Kereta yang berharga miliaran membelah “visi misi” pemimpin sebelumnya untuk menyempurnakan makna kesejahteraan. Bisa saja kita makan mie instan seduh selama sepuluh menit tapi jendela kereta api memberikan lukisan kehidupan. Kereta api melewati segala jenis kehidupan mulai pinggiran makam, lahan persawahan, sekolah negeri, tempat main gaple, kawasan militer, rumah yang lagi bersengketa hingga tempat pijit.

Saya yakin, tempat-tempat tadi jika ingin dijadikan novel maka bisa ratusan jilid karena semua penumpang kereta bisa melihatnya dengan asumsi pikirannya masing-masing. Katakanlah satu gerbong menampung minimal lima puluh orang yang terbagi menjadi dua kubu. Kubu sisi kiri dan kubu sisi kanan terutama mereka yang gemar duduk di dekat jendela akan menghasilkan cerita berbeda-beda. Pemandangan kiri bisa saja lapangan voli dan sisi kanan jalan raya dengan truk besarnya. Ketika kedua kubu diajak bersatu untuk memberi makna kesejahteraan maka mereka tidak akan bisa menemukan jalan keluarnya karena sisi yang dilihat berbeda. Namun perbedaan itu bisa menjadi bahan diskusi untuk memberikan jalan keluar yang bijaksana.

Saya berharap, presiden dan wakil presiden yang terpilih lebih sering melakukan kunjungan dengan kereta api dan mereka tidak boleh di sisi yang sama. Hal ini penting agar mereka bisa menghasilkan kebijakan yang membuat pemandangan dari jendela itu lebih baik. Namun bagaimana jika keretanya sangat cepat? Pemandangan apakah yang dilihat? Jujur saya belum pernah naik kereta api Woosh tetapi ketika naik kereta api di Perancis, mata saya masih mampu melihat ragam kehidupan walaupun tidak begitu jelas. Saya bisa memberikan deskripsi secara umum dan tentu saja membayangkan bagaimana jika saya menjadi warga yang dilewati kereta api.

Mungkinkah kehidupan yang dilewati kereta api semuanya bisa sejahtera? Tentu saja bisa asal sejahtera dimaknai dengan meingkatnya kepemilikan dana. Minimal terjadi perubahan pemandangan akan ketimpangan kehidupan dari Surabaya ke Malang. Kadangkala duduk di kereta merasa bahagia namun ketika memasuki stasiun tujuan maka kehidupan sebenarnya berlanjut lagi. Tetapi ada satu hal yang unik, ternyata tidak semua stasiun yang dilewati kereta api pasti menarik.

Tidak semuanya tersedia parkir mobil yang luas apalagi restoran yang bisa menampung puluhan orang. Tampaknya terjadi pembiaran akan nasib stasiun misalnya saja lokasinya kecil atau penumpangnya sedikit jadi dengan fasilitas tersebut pasti mencukupi. Pikiran liar lainnya keberadaan stasiun tersebut menyesuaikan dengan lingkungan disekitarnya yang tidak modern.

Pendapat F Budi Hardiman sangat menarik, ia mengatakan”Profesi adalah elemen fungsional masyarakat. lewat profesi, kita sebagai anggota-anggota masyarakat saling berbagi dan menghasilkan manfaat bagi yang lain”. Agak susah dipahami tetapi mengandung pesan yang mendalam setelah dibaca berulang kali. Jadi kesejahteraan tidak lagi di tengah kota tetapi kesejahteraan di pinggir rel. Ingat kalau kita naik ekreta api kemudian terlihat tanah yang tandus maka itu harus disejahterakan. 

Mungkin saja disana ada peninggalan masa lampau yang bisa menumbuhkan rasa empati kita. Hal-hal seperti ini harus menjadi perhatian negara, karena ketika kita naik kereta api dan ada orang yang senagja bunuh diri dengan menabrakkan diri maka apakah kita juga sebagai pelaku atau kita bisa membela diri bahwa tidak tahu. Jadi ketika ingin mengetahui makna kesejahteraan sebenarnya maka naiklah kereta api pagi hingga sore. Tidak disarankan malam hari karena kiat sebagai penumpang dan warga yang dilewati sama-sama melihat kegelapan yang akan sirna di pagi hari.

Saya berharap lagu anak-anak naik kereta api tidak berubah. Biarlah lagu itu tetap khas anak-anak dan tidak menjadi objek kampanye.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun