Mohon tunggu...
Tommy Setiawan
Tommy Setiawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pribadi

Hanya pembaca dan pemerhati. Bukan penulis. Tapi kadang-kadang menuangkan pikiran atau ide atau perasaan yang bergejolak.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

PDIP : Pokoknya Dengerin Ibu Pimpinan

10 Maret 2016   16:51 Diperbarui: 10 Maret 2016   17:23 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) adalah sebuah partai besar di negeri ini. Dia bahkan menjadi partai pemenang dalam pemilu 2014 lalu baik di tingkat nasional maupun di tingkat  lokal. Banyak kader yang menjadi kepala daerah. Sebut saja gubernur Jawa Tengah dan walikota Surabaya. Juga pimpinan DPRD DKI adalah orang dari PDIP. PDIP sejatinya juga adalah partainya wong cilik, yang membela kaum cilik seperti petani, nelayan, warga menengah ke bawah, dan lainnya.

Para orang tua dahulu mengidolakan PDIP (Dahulu PNI, berafiliasi menjadi PDI) sejak zaman Soekarno. Saya pribadi pun, jujur, adalah pendukung PDIP walaupun hanya sebagai warga biasa, bukan simpatisan, kader, atau lainnya. Saya tertarik dengan sosok ibu Megawati yang memiliki sifat keibuan, mengayomi masyarakat kecil, pantang menyerah dalam berjuang. Tapi itu dulu....

Lambat laun saya mulai sebal dan tidak begitu lagi menyukai PDIP. Terutama sejak PDIP kalah dalam dua kali pemilu (tahun 2004 dan 2009). Terlebih saat mantan anak buah Megawati, Menko Polkam saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY, menjadi presiden menggantikan dirinya. Selama 10 tahun menjadi oposisi di pemerintahan, selama 10 tahun pula sang ibu, diam seribu bahasa, tak lagi mau kenal dan berjabat tangan dengan SBY, yang dianggap sebagai rivalnya.

 Suatu hal yang tidak elok dan etis dilakukan oleh seorang pemimpin sebuah partai besar.  Bukankah kalah menang adalah hal biasa dalam politik? Bukankah mengakui kemenangan orang lain adalah bentuk kebesaran hati, dan mengampuni atau memaafkan adalah bentuk kerendahan hati? Namun hal-hal itu tidak dimiliki oleh sang ibu ketua. Saya kecewa dengan sikap tersebut. Saya mulai tidak menyukai partainya ibu ketua, tapi saya pun tidak menjatuhkan pilihan atau melabuhkan hati saya kepada partai lain. Saya masih menunggu perubahan dari partai idola saya. Tapi sampai kapan?

Sekarang, kita lihat sendiri. PDIP seperti partai yang sombong, belagu. Mentang-mentang partai pemenang, PDIP ingin dihormati, dihargai, sok ngatur. Semua berpusat kepada sang pimpinan, ibu Megawati Soekarnoputri. Herannya, PDIP memiliki kader yang hebat-hebat.

Terlebih saat ini, menjelang pemilihan gubernur DKI periode 2017-2022. Semua berlomba ingin menjadi gubernur. Sang petahana, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok, telah mendeklarasikan diri maju melalui jalur independen. PDIP gerah. PDIP takut terancam eksistensinya sebagai parpol pembesut kepala daerah yang “selalu” berhasil. PDIP pula yang memulai istilah Deparpolisasi, ketakutan atau ketidakpercayaan masyarat terhadap sebuah partai politik (Parpol). 


Ketika Ahok “memaksa” PDIP untuk memberikan Djarot Saiful Hidajat (wakil gubernur saat ini) untuk menjadi pedampingnya, PDIP tidak segera merespon, mengulur waktu. Padahal Ahok butuh kepastian karena waktu sudah mepet, terlebih Ahok sudah memberikan kepercayaan kepada “Teman Ahok” untuk mencalonkan dirinya menjadi gubernur DKI periode kedua kali. Dan hal ini Ahok dianggap “kurang ajar” karena berani “memaksa” partai.

Yang lebih gila lagi kearoganan PDIP adalah ketika sang ketua umumnya, ibu Megawati menyatakan “perang” terhadap Ahok dalam pencalonan gubernur DKI. Perang yang dimaksud adalah menyiapkan kader terbaik untuk melawan Ahok. Dan ini didukung oleh kader-kader PDIP sendiri. Seakan-akan perintah sang ketua umum adalah perintah Tuhan yang harus dituruti. Apakah memang demikian sifat sang ketua umum? Padahal jika kita membaca beberapa hari sebelumnya bahwa ketika Ahok bertemu secara pribadi dengan ketua umum PDIP mengutarakan maksudnya untuk maju secara independen, ibu Megawati setuju, tidak marah. 

Jadi, apakah ini sebuah sandiwara politik? Entahlah. Menurut hemat saya, akan lebih elok dan baik jika PDIP justru mendukung Ahok sebagai calon terkuat gubernur DKI dengan melakukan berbagai cara, seperti yang dilakukan oleh Partai Nasdem, yang katanya, akan membantu mengumpulkan 1 juta KTP untuk Ahok. Bukan sebaliknya, menyatakan perang, menyatakan permusuhan dengan rakyat yang sudah kepalang “cinta” pada Ahok.

PDIP bukanlah partai milik Megawati dan keluarga Soekarno. PDIP sudah menjadi milik rakyat. Sudah seharusnya PDIP menurut apa kata rakyat. Tapi apakah sang ketua umum mau? Gengsi dong...

Jika memang demikian apa yang dilakukan sang ketua umum dan di”iya”kan oleh para semua kader di bawahnya, maka sudah sepantasnya PDIP disingkat menjadi “Pokoknya Dengerin Ibu Pimpinan.” 

Wallahualam...

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun