Mohon tunggu...
Tommy Tampenawas
Tommy Tampenawas Mohon Tunggu... -

tommytampenawas.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kisah yang Sempurna

28 Mei 2012   10:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:41 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Plafon putih di langit-langit seakan berputar-putar saat kubuka mata dengan kaku. Tapi, baru saja mata kubuka, sekejap cahaya lampu begitu menyilaukan menusuk mataku yang telah lama tertidur, memaksaku mengernyitkan mata, dan membukanya kembali perlahan-lahan. Kepalaku terasa berat, dan belum sepenuhnya sadar apa yang sedang terjadi, tapi aroma khas yang merasuk di hidung memberitahuku dimana aku berada. Ya, aku berada di rumah sakit. Ku lihat sebuah televisi menggantung di sudut ruangan, kerai putih menjuntai dari atas plafon mengelilingi ranjangku, dan kantung infus berdiri tinggi di sampingku. Sementara mengamati sekelilingku, sebuah genggaman hangat meremas telapak tanganku. Ia berdiri dari duduknya, matanya berbinar memancarkan kelegaan, menarik nafas panjang, dan senyumnya mengembang di wajahnya yang manis.

"Hai Bram, selamat datang. Aku senang kamu sudah sadar," ia menyapa sembari tangannya kini mengelus pipiku. Aku diam sesaat menunggu semua memori tentang diriku dan gadis yang berdiri di samping ranjangku. "Hai, Jane!" jawabku singkat dengan suara parau. "Bagaimana keadaanmu sekarang, Bram?" tanyanya lagi. "Baik, cuma kepala ini terasa pusing," jawabku lagi sambil memegang kepalaku yang berbalut perban. "Satu Minggu kamu terbaring di sini Bram. Kata dokter, kamu mengalami geger otak ringan. Mungkin itu yang menyebabkan kepalamu pusing." "Apa yang terjadi?" tanyaku penasaran. Jane menceritakan mengapa aku terbaring di rumah sakit ini. "Kita baru saja pulang dari acara launching novelmu yang terbaru di Gramedia Matraman. Kamu ingat?" Aku mengganggukkan kepala. "Di tengah jalan mobil kita kecelakaan. Saat melewati daerah Rawamangun, dari trotoar tiba-tiba seorang anak kecil melepaskan tangan ibunya dan lari menyeberangi jalan. Kamu refleks membanting setir, mobil kita naik ke atas trotoar, menabrak pohon pembatas jalan, kepalamu membentur setir, lalu tidak sadarkan diri. Itulah alasan kamu ada di sini Bram." "Lalu bagaimana dengan anak itu?" tanyaku sambil menahan nafas, takut sesuatu yang buruk terjadi pada anak itu. "Anak itu tidak apa-apa Bram, ia selamat," ujar Jane menenangkan hatiku. "Syukurlah," kataku penuh kelegaan. Jane tersenyum, kini ia menggenggam tanganku, "yang penting sekarang kamu istirahat, ngak usah pikir macam-macam, mudah-mudahan kita bisa cepat pulang ke rumah."

*****

Tiga hari pasca bangun dari koma, dokter mengijinkanku pulang. Perban masih membalut di keningku, tapi rasa pusing itu sudah berkurang. Empat hari berada di rumah, aktivitasku hanya di seputar kamar. Jane selalu menemaniku beristirahat. Tapi selama empat hari ini, kebiasaan Jane banyak berubah. Tidak seperti biasanya ia suka menonton sinetron dan film di televisi, padahal ia tidak menyukainya. Ia lebih suka menonton berita. Dugaanku, mungkin ia mau mencegah agar aku tidak sampai menonton berita di televisi tentang seorang novelis yang telah menghasilkan lima novel romance terlaris di negri ini, mengalami kecelakaan hingga koma beberapa hari di rumah sakit. Itu dugaanku. Dalam beberapa hari ini sikap Jane juga berubah. Ia jadi lebih perhatian padaku. Padahal selama ini ia seorang istri yang.... kalau mau jujur kukatakan, tidak romantis; jarang membelai, memeluk, dan menciumku. Mungkin ia berubah seperti ini karena aku mengalami kecelakaan tragis yang hampir memisahkan cintanya dariku.

Malam itu, selepas menonton salah satu dvd koleksiku yang belum pernah kami tonton, Jane dan aku berbaring tempat tidur, banyak yang kami bicarakan. Aku sempat bertanya, mengapa saudara-saudaraku sewaktu di rumah sakit kelihatan tidak begitu gembira melihatku siuman? Yang aneh lagi, hampir semua memakai pakaian hitam-hitam, dan mereka tidak banyak berbicara padaku. Kuperhatikan saat itu Jane agak kebingungan menjawab pertanyaanku. Ia hanya memintaku agar tidak berpikir macam-macam, seharusnya aku lebih banyak bersyukur sudah bisa pulang ke rumah. Juga ia menambahkan bahwa aku harus beristirahat lebih awal malam ini, karena besok aku harus menghadiri acara meet and greet pasca launching novel terbaruku di Gramedia Matraman beberapa hari yang lalu.

*****


Keesokan harinya aku datang ke acara tersebut sebagai bagian dari kontrakku dengan pihak penerbit. Selama menjadi seorang novelis, baru pertama kulihat penggemarku tumpah ruah, menyemut di aula Gramedia Matraman; demi mendapatkan tanda tanganku. Banyak di antara mereka bercanda bahwa di dunia ini akulah satu-satunya novelis yang bangkit dari maut. Karena itu mereka bertanya adakah pengalaman spiritual dalam tidur panjangku itu, dan jikalau ada maka aku dapat menuliskannya dalam novelku berikutnya. Rupanya, kecelakaan mobil justru membuatku bertambah populer. Butuh tiga jam setengah untuk menandatangani semua novelku siang itu.

*****

Aku segera pulang begitu acara selesai. Jane tidak bersamaku siang itu. Ia lebih suka menunggu di rumah. Karena itu ia tidak merasakan panasnya sinar matahari yang tumpah tanpa ampun siang itu. Sekujur kulitku memuntahkan keringat bagaikan sedang mandi, meskipun aku berteduh di bawah halte bus untuk menunggu taxi yang akan mengantarkanku pulang. Lalu lintas siang itu agak lengang, sehingga para pengendara bebas memacu kendaraan mereka semaunya. Sementara menunggu taxi, seorang anak laki-laki kecil bersama ibunya berjalan ke arah halte bus tempatku berdiri. Usia anak itu kira-kira enam tahun, berkacamata dan dan bertubuh kurus. Tangan kanannya menggandeng tangan ibunya, sementara tangan kirinya memeluk bola kaki di dadanya. Ia berjalan begitu bahagia, karena di tangan ibunya ada kantong plastik Gramedia yang mungkin saja berisi buku cerita yang akan dibacakan ibunya nanti malam.

Tidak pernah kubayangkan kejadian yang akan terjadi beberapa detik kemudian. Ketika mereka sedang menunggu kendaraan di halte bus, seorang anak muda tergesa-gesa berlari dari arah belakang dan tidak sengaja menyenggol si anak kecil. Bola yang dipeluk anak itu terlepas dari pelukannya, dan menggelinding ke tengah jalan raya. Anak itu melepaskan tangan sang ibu dan berlari cepat mengejar bolanya. Refleks aku berteriak nyaring dan segera berlari secepat mungkin ke tengah jalan untuk menyelamatkannya. Namun aku terlambat! Sebuah mobil melaju kencang ke arah anak itu. Bannya berderit nyaring melawan aspal menyusul klakson mobil itu yang menyalak panik. Kuputuskan mendorong anak itu hingga ia terjatuh beberapa meter dariku. Sepersekian detik kemudian kurasakan tulang-tulangku hancur remuk terkena hantaman mobil dan terhempas ke aspal tak sadarkan diri.

*****

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun