Mohon tunggu...
Muhammad Fatkhurrozi
Muhammad Fatkhurrozi Mohon Tunggu... Insinyur - fantashiru fil ardh

Pengamat politik

Selanjutnya

Tutup

Money

RUU Migas Lagi-lagi Kandas

19 Oktober 2019   06:47 Diperbarui: 19 Oktober 2019   07:06 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Karena posisinya sebagai pemegang kuasa pertambangan, maka beberapa kalangan menilai bahwa BUK Migas lebih cocok di bawah presiden. Namun sebagian berpendapat bahwa BUK Migas lebih cocok di bawah kementerian BUMN mengingat adanya suntikan modal dari APBN di samping juga perannya sebagai badan usaha.

Setelah pembahasan panjang dan alot, pada September 2018 lalu, DPR telah menyepakati RUU Migas yang memuat sembilan poin penting. Yang paling pokok yakni soal bentuk BUK Migas. Menurut RUU Migas, rencananya, BUK akan berbentuk BUMN. 

BUK migas juga akan mengambil peran SKK Migas saat ini, yakni pihak yang mewakili negara dalam berkontrak dengan KKKS. Terkait perusahaan yang akan menjadi BUK migas, DPR menyerahkannya kepada pemerintah. Bisa Pertamina atau lembaga BUMN baru[5].

Perkembangan terakhir, pada Juni 2019 lalu, pembahasan RUU Migas sudah di taraf penggodogan Daftar Isian Masalah (DIM) oleh pemerintah. DPR masih menunggu pemerintah merampungkan DIM tersebut. Pihak pemerintah, diwakili Kepala Biro Hukum Kementerian ESDM mengatakan bahwa pemerintah sudah menyusun DIM. Hanya tinggal menunggu Menteri yang belum tanda tangan. Masalah sebenarnya tidak berhenti di situ. 

Berikutnya ada soal anggota DPR yang dijabat oleh orang baru, yang berarti perlu ada perumusan Prolegnas baru, pembentukan Panitia Kerja baru, dan pengkajian yang baru. Ketok palu UU Migas baru nampaknya masih terus molor[6]. 

Ada masa transisi yang memperpanjang dan menambah ketidakpastian lahirnya UU Migas yang anyar. Belum lagi soal regulasi turunan pasca UU terbit. Karena UU belum memuat detail pengaturan migas, perlu regulasi tambahan semacam Peraturan Pemerintah atau Peraturan Menteri agar kebijakan dapat dieksekusi. Waktunya pun juga tidak bisa sebentar. Pelaku industri migas terus digantung-gantung.

Di satu sisi, tantangan teknis dalam penemuan sumur baru akan semakin sulit. Seiring eksplorasi demi eksplorasi dilakukan, sumur cheap oil, sumur yang minyaknya di kedalaman kurang dari 1000 m, kini sudah hampir punah. Rata-rata minyak mentah hari ini harus disedot dari kedalaman 5000 m[7]. 

Artinya, pelaku industri dihadapkan pada kebutuhan teknologi mutakhir yang tentu mahal. Dibutuhkan insentif ekstra untuk meningkatkan keekonomian lapangan migas secara nasional.

Sebenarnya tidak sulit-sulit amat membaca Indonesia dalam kemelut migas tersebut. Minimal ada dua kepalsuan soal khittah permigasan negeri ini. Pertama soal keinginan (presiden) kita untuk menggenjot investasi namun di satu sisi berlaku agenda nasionalistik, dibuktikan dengan takover dua blok raksasa oleh perusahaan pelat merah Pertamina. 

Ada keinginan supaya pasar bebas dapat bekerja namun ekonomi dibawa kepada kondisi yang serba negara. Pasca ambilalih Blok Mahakam dari Total pada 2015 dan Blok Rokan dari Chevron pada 2018, pengamat internasional deras mengkritik. Pengamat melihat bahwa ambilalih tersebut merupakan populisme sesaat demi mengamankan kontes Pilpres 2019.

 Yang kedua adalah soal keinginan membesarkan Pertamina namun disatu sisi ada beban subsidi yang mesti ditanggungnya. Hal ini memang ironi. Padahal, modal besar mutlak diperlukan demi kelincahan bisnis Pertamina. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun