Mohon tunggu...
Ajeng Leodita Anggarani
Ajeng Leodita Anggarani Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan

Belajar untuk menulis. Menulis untuk belajar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menyoroti Dana Kas Kelas Saat Pekan Kenaikan Kelas

16 Juni 2023   07:02 Diperbarui: 16 Juni 2023   08:35 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kas kelas | Freepik.com/skata

Pekan ini murid-murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Bekasi sedang menikmati masa bersantai mereka setelah dua minggu lalu berkutat dengan soal-soal ujian akhir kenaikan kelas. 

Saat masa ujian berlangsung tentunya bukan hanya anak-anak yang menghadapi stress, para orang tua pun ikut mengalaminya, termasuk saya. 

Sebagai orang tua murid kelas 1, hal ini adalah pengalaman perdana untuk saya pribadi. Biasanya saya hanya stress menghadapi pekerjaan kantor, kini bertambah menjadi stress karena kekhawatiran pada urusan sekolah anak.

Banyak faktor yang menjadi buah pikiran saya (kita) sebagai orang tua menghadapi kenaikan kelas, diantaranya sbb :

  • Bagaimana nilainya? Naik atau tinggal kelas?
  • Hadiah apa yang akan diberikan jika anak naik kelas?
  • Penjelasan semacam apa yang akan diberikan untuk menguatkan jika anak harus tinggal kelas?
  • Apa kegiatan yang akan mereka lakukan selama masa libur panjang?

Namun, sebagai orang tua, hal-hal semacam itu masih pasti masih bisa teratasi. Artinya, tidak terlalu sulit mencari jalan keluarnya. Karena ini hubungannya antara orang tua dengan anak. Perilaku mereka sudah tentu bisa kita pahami betul dan kita tahu apa yang mereka mau.

Lantas, apakah ada hal lain yang lebih berat dari itu?


Ada!

Sebagai orang tua murid yang juga dilibatkan menjadi bendahara kelas, saya cukup pusing dengan satu perkara yang sepertinya sederhana namun bisa cukup fatal jika salah mengambil keputusan, apalagi ini berhubungan dengan uang dan itu sangat sensitif.

Sumber: www.mediaeducations.com
Sumber: www.mediaeducations.com

Seperti yang banyak diketahui dan sudah menjadi budaya, saat kenaikan kelas anak, para orang tua akan memberikan bingkisan pada guru (wali kelas). Walaupun ini sifatnya tidak wajib tapi mayoritas memang melakukannya. Ada yang memberikan secara pribadi maupun kolektif dengan menggunakan dana kas yang sudah terkumpul selama satu tahun ini, adapula yang sudah ikut kolektif namun tetap memberikan juga secara pribadi.

Yang menjadi issue di sini adalah, bingkisan semacam apa yang ingin diberikan para wali murid untuk guru.

Kami, 4 orang yang tergabung dalam koordinator kelas (korlas) benar-benar  memutar otak. Sebelum melempar ide pada wali murid, banyak hal yang kami pertimbangkan, diantaranya total uang kas yang terkumpul, hadiah apa yang cocok dengan kepribadian dan kebutuhan wali kelas, bingkisan apa yang cocok sebagai rewards untuk anak-anak setelah melewati masa ujian, dan sisa saldo yang harus ada untuk kebutuhan di kelas selanjutnya sehingga uang kas tidak kosong. 

Kebetulan di sekolah anak saya walaupun di tiap tingkat ada 3 kelas (contoh 1A, 1B, 1C, 2A, 2B, dst) jika kenaikan kelas tidak akan ada perubahan murid dalam tiap kelasnya, sehingga bisa dipastikan dari mulai masuk kelas 1 hingga kelas 6 mereka akan ada di kelas yang sama.

Akhirnya, kami pun melemparkan ide, mengingat wali kelas memiliki kepribadian yang agak tomboy dan juga beliau memiliki rutinitas yang cukup padat, kami tawarkan bagaimana jika membelikan air fryer saja. Alat ini berguna untuk memanaskan makanan. Kebetulan kami suka ngobrol dengan wali kelas yang katanya jarang masak di rumah dan lebih sering membeli makanan jadi. Kemudian sebagian dana kas dibelikan bingkisan untuk anak-anak berupa buku,  alat tulis, tumbler dan snacks.

Sebagian besar wali murid sepakat dengan pilihan korlas, alasannya karena barang tersebut akan bermanfaat untuk wali kelas dan bisa dikenang sebagai pemberian dari murid-murid tahun ajaran ini. Namun, ada sebagian kecil yang menolak. Mereka menyarankan jika wali kelas lebih baik diberikan perhiasan emas dengan alasan jika suatu saat nanti mungkin wali kelas membutuhkan uang, emas tersebut bisa dijual, sementara anak-anak tidak perlu diberi rewards karena itu sudah tugas orang tua masing-masing.

Di sini kami sebagai korlas tidak bisa mengabaikan pendapat atau saran lain yang muncul yang berseberangan dengan kami. Akhirnya korlas mengambil perwakilan dari masing-masing kubu untuk membuat diskusi terpisah untuk meminimalisir perdebatan banyak pihak.

Hal pertama yang korlas lakukan adalah mengingatkan kembali tentang apa yang menjadi alasan awal kami dulu membuat ide pengumpulan dana kas yang dibayarkan tiap bulan. Yang utama adalah untuk meringankan para orang tua murid akan biaya -- biaya yang muncul di luar SPP gratis dan buku paket yang dipinjamkan sekolah, seperti biaya fotokopi, pembelian perlengkapan kelas, uang donasi jika ada murid yang sakit, uang kedukaan jika ada murid atau anggota keluarganya yang meninggal dunia, sumbangan perayaan 17-an, dll. Walaupun memang ada pula alokasi dana untuk hadiah guru namun bukan menjadi yang utama.

Kedua, kami menunjukkan catatan kas dan saldo yang terkumpul. Di sana semua tertera siapa yang disiplin membayar dan siapa saja yang masih belum menyelesaikan kewajiban membayar kas sampai dengan bulan terakhir ini, yang sudah tentu kendalanya karena sedang mengalami masalah ekonomi. 

Kami para korlas pun tidak bisa memaksakan kemampuan masing-masing orang tua murid, walaupun sudah ada kesepakatan di awal untuk membayar tiap bulan. Tak lupa juga kami ingatkan bahwa anak-anak kita bersekolah di SD Negeri, yang mayoritas orang tua muridnya bukan dari kalangan ekonomi menengah ke atas. Sehingga dalam mendistribusikan dana harus benar-benar dilihat dari tingkat urgensinya.

Selanjutnya kami jelaskan pula bahwa anak-anak kita yang masih kelas 1 SD ini, masih suka dengan hadiah-hadiah sederhana. Hal itu memacu semangat mereka untuk mulai di kelas yang baru.

Akhirnya kami pun membuat penghitungan ulang dan membandingkan angka akhir pada kedua kubu. Alhamdulillah, setelah melakukan komunikasi dua arah dengan berbasis data juga alasan-alasan pendukung lainnya (walaupun ada debat-debat tipis), kami punya keputusan baru hasil dari kesepakatan bersama.

Bingkisan yang dipilihkan menjadi logam mulia yang seharga dengan air fryer dan juga bingkisan untuk anak-anak.

kolpri/ acara membungkus bingkisan untuk anak-anak
kolpri/ acara membungkus bingkisan untuk anak-anak

kolpri// acara makan bakso bersama
kolpri// acara makan bakso bersama

Kolpri // LM untuk wali murid
Kolpri // LM untuk wali murid

Dari kasus ini saya pribadi belajar untuk menghasilkan keputusan yang bisa diterima bersama, diperlukan komunikasi yang baik. Jangan memaksakan pendapat tanpa alasan-alasan yang kuat.

Tapi, sempat ada juga beberapa pertanyaan menggelitik dari beberapa wali murid di kelas anak saya, kenapa kita harus memberikan rewards atau kenang-kenangan pada guru? 

Jawaban saya sederhana. Pemberian kenang-kenangan ini sifatnya tidak memaksa, karena menjadi guru memang pilihan. Masa transisi anak kita dari TK masuk ke SD benar-benar menguras hati juga pikiran. Dan, kita bagi kesulitan ini dengan guru mereka di sekolah, orang yang tidak melahirkan mereka namun mau ikut mendidik, mengasuh, dengan kesabaran dan penuh kasih sayang.  

Tulisan ini hanya sekadar sharing untuk para koordinator kelas dari sekolah lain yang sedang mengalami masalah yang serupa, dan mungkin juga kondisi keuangan orang tua muridnya sama dengan yang ada di sekolah anak saya.

Tetap semangat.

Salam sayang,
Ajeng Leodita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun