Mohon tunggu...
Tobari
Tobari Mohon Tunggu... Dosen Pascasarjana bidang Manajemen dan alumni S2 Fak.Psikologi UGM 1998 kekhususan Psikometri.

Berharap diri ini dapat bermanfaat bagi orang lain, berusaha aktif menulis artikel inspiratif. Menjadikan tulisan sebagai sarana pencerahan jiwa, agar hidup tak sekadar berjalan, tetapi bermakna untuk mencari bekal kehidupan kekal di akhirat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Si Mata Empat dan Si Pahit Lidah: Ketika Dosen Kehilangan Integitas

2 Agustus 2025   04:30 Diperbarui: 3 Agustus 2025   17:39 10551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Belajar dari Si Mata Empat dan Si Pahit Lidah: Ketika Dosen Kehilangan Integritas
Oleh: Tobari

Di bumi Sumatera Selatan, kita mengenal dua tokoh legendaris yang sarat filosofi: Si Mata Empat dan Si Pahit Lidah. Keduanya bukan sekadar cerita rakyat, tapi pancaran kearifan lokal yang mengandung makna mendalam tentang kepemimpinan, pengawasan moral, dan tanggung jawab sosial.

Si Mata Empat, yang dalam legenda memiliki empat mata, melambangkan penglihatan yang tajam dan wawasan yang luas. Ia tahu mana yang benar dan mana yang salah, bahkan sebelum orang lain menyadarinya. Ia bukan hanya melihat dengan mata fisik, tapi juga dengan mata hati dan mata nurani.

Sementara itu, Si Pahit Lidah dikenal karena setiap ucapannya menjadi kenyataan. Tapi bukan berarti ia suka mengutuk sembarangan. Justru, ia menjadi penjaga moral, pengingat bagi siapa pun agar tidak bertindak semena-mena. Ia adalah simbol ketegasan moral dan integritas yang tak tergoyahkan.

Kini, mari kita menoleh pada dunia akademik masa kini. Di tengah gedung-gedung tinggi ber-AC, dengan gelar dan jabatan akademik yang mentereng, adakah "Si Mata Empat" atau "Si Pahit Lidah" yang masih hidup dalam diri para dosen kita? Ataukah keduanya telah terkubur oleh rutinitas, ambisi pribadi, dan sikap masa bodoh?

Tidak sedikit dosen yang menjalankan tugasnya sekadar menggugurkan kewajiban. Hadir mengajar, tapi tidak hadir dalam nurani. Memberi nilai, tapi tidak pernah benar-benar membimbing. Menulis untuk kenaikan pangkat, bukan untuk menyumbang ilmu. Ironisnya, mereka tahu yang benar, tapi memilih diam. Tahu ada kecurangan, tapi memilih nyaman.

Integritas tak lagi menjadi pedoman, kepedulian tak lagi jadi panggilan.

Padahal, dalam Tri Dharma Perguruan Tinggi, pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat adalah satu kesatuan utuh. Dosen bukan hanya pengajar, tapi pendidik. Ia bukan sekadar pembaca slide PowerPoint, tapi pembentuk karakter.

Dalam diri seorang dosen seharusnya hidup mata yang tajam seperti Si Mata Empat, dan lidah yang jujur dan tegas seperti Si Pahit Lidah.

Karakter seorang dosen bukan hanya dinilai dari seberapa banyak ia menerbitkan jurnal atau meraih gelar akademik, tapi dari seberapa dalam ia menyentuh hati mahasiswa dan menggerakkan nurani masyarakat. Ia menjadi pelita di tengah gelapnya pencarian makna, menjadi teladan dalam ketekunan, kejujuran, dan ketulusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun