Aliran progresivisme lahir di Amerika Serikat sekitar tahun 1870. Para reformis yang menamakan diri kaum progressive menentang sistem pendidikan tradisional yang sangat kaku, menuntut disiplin ketat, dan membuat peserta didik menjadi pasif. Â
Pendidikan merupakan tafsiran terhadap rangkaian pengalaman sedemikian rupa sehingga seseorang dapat mengertinya dengan lebih jelas dan dalam perspektif yang lebih benar.Â
Bertambahnya pengalaman bermakna tentang masa lalu dan masa sekarang memungkinkan seseorang untuk lebih tepat mengarahkan diri pada jalan menuju pengalaman mendatang, sehingga seseorang tidak hanya mengikuti arus, tetapi dapat menentukan jalannya sejarah. Pengalaman memiliki makna substansial dalam pengalaman belajar. Pengalaman yang dimaksud tidak sembarang pengalaman, tetapi seb
Progresivisme  menempatkan epistemologi sebagai pusat dari filsafatnya dan menolak metafisika. Mereka meyakini bahwa pengetahuan tidak ada artinya tanpa pengalaman manusia yang terus berproses dan disempurnakan.Â
Oleh karena manusia hidup dan berinteraksi dengan makhluk lainnya, baik yang  hidup maupun yang tidak, dalam suatu lingkungan hidup, manusia tidak dapat mengelak bahwa ia memperoleh berbagai pengalaman sebagai hasil dari interaksinya tersebut.Â
Kecerdasan atau intelegensi bukanlah sesuatu yang abstrak; bukan substansi yang ada di kepala manusia, juga bukan bagian dari otak manusia; melainkan hanyalah suatu kualitas berpikir yang bertujuan untuk menyelesaikan masalah kehidupan secara efektif.Â
Dengan kata lain, intelegensi atau kecerdasan adalah cara kita, manusia mendekati masalahnya untuk diselesaikan. Manusia memiliki intelegensi  adalah ketika dia mampu mengatasi masalahnya dengan cara-cara ilmiah. Orang yang cerdas adalah orang yang dapat berpikir dan menggunakan cara-cara yang efektif untuk menyelesaikan masalah hidup yang menghadangnya. Â
Kaum progressif meyakini bahwa nilai-nilai berasal dari masyarakat. Nilai-nilai bukan suatu kualitas yang sudah tetap dalam diri subjek, juga bukan sesuatu yang berasal dari wahyu, melainkan berpusat pada manusia itu sendiri.Â
Nilai-nilai mengungkapkan keinginan, hasrat, minat, aspirasi, dan ambisi individu-individu dan juga kelompok. Dengan kata lain, apa pun yang dipandang berharga, atau diinginkan, itulah artinya nilai bagi individu atau kelompok tersebut. Jadi, individu atau masyarakat menentukan nilai-nilainya sendiri.Â
Masyarakat menjadi wadah timbulnya nilai-nilai. Nilai-nilai bersifat relatif, Â tidak ada prinsip mutlak. Nilai timbul karena manusia mempunyai bahasa, dengan demikian timbul pergaulan.Â
Nilai itu benar atau salah, baik atau buruk dapat dikatakan ada, bila menunjukkan kecocokan dengan hasil pengujian yang dialami manusia dalam pergaulan manusia.Â