Mohon tunggu...
T M Farhan Algifari
T M Farhan Algifari Mohon Tunggu... Freelancer - Perenung Profesional

Partisan dalam Ideologi

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Profesi Ojek Daring dalam Fenomena Prekariat

15 Oktober 2019   12:54 Diperbarui: 15 Oktober 2019   13:00 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: situs resmi gojek

Surprus populasi relatif dan perkembangan teknologi mendorong lahirnya kelas-kelas pekerja baru. Perkembangan dan inovasi teknologi melahirkan berbagai lapangan pekerjaan baru bersamaan dengan lahirnya kelompok pekerja rentan atau precariat. Konsep precariat menurut Guy Standing mengacu pada kelas baru di luar proletariat yang dipersatukan oleh pekerjaan yang tak menentu dan labil.

Kelas tersebut terdiri dari kaum terdidik yang tidak mendapatkan pekerjaan sesuai tingkat pendidikan mereka, kaum imigran (terutama di negeri-negeri maju) dan juga orang-orang yang terhempas dari jenis kerja yang secara tradisional berkaitan dengan kaum buruh Industri. Karl Marx mendefinisikan surplus populasi relatif sebagai populasi yang berlebihan terhadap kebutuhan rata-rata kapital untuk penaikan nilainya sendiri, surplus bersifat relatif karena seberapa pun kecil jumlahnya, kapital tetap butuh sejumlah populasi untuk memproduksi komoditas.

Kasus lahirnya precariat terjadi pada sektor informal pengemudi ojek daring.  

Pengemudi ojek daring merupakan profesi informal dengan pertumbuhan jumlah pekerja yang signifikan. Jasa transportasi berbasis daring telah menarik minat konsumen dengan harga yang bersaing dan fleksibilitas yang memanjakan konsumen.

Permintaan konsumen yang meningkat mendorong peningkatan jumlah pengemudi ojek daring. Pada awal 2017 jumlah pengemudi Gojek mencapai 250.000 orang.

Setahun setelahnya, pada Januari 2018 pengemudi go-jek diperkirakan sudah mencapai 400.000 orang yang tersebar di 50 kota di Indonesia.

Kemudian pada akhir tahun 2018 diperkirakan jumlah mitra pengemudi Gojek mencapai satu juta orang. Pertumbuhan angka pengemudi gojek tersebut memunculkan berbagai polemik 

Polemik yang muncul antara lain adalah kekosongan payung hukum menyangkut hubungan industrial Go-Jek dengan pengemudi. Kekosongan hukum tersebut pada awalnya tidak diantisipasi oleh pemerintah. Setelah tujuh tahun sejak awal pendiri baru lah pemerintah mengeluarkan legal standing yang mengatur eksistensi Gojek melalui Permenhub No.108 Tahun 2017 dengan memberikan prasyarat khusus pengemudi Go-Jek.

Hadirnya peraturan tersebut tidak menjawab fenomena lahirnya kelompok pekerja rawan, sebab peraturan tersebut tidak memberikan kerangka hukum yang jelas mengenai hubungan industrial antara Go-Jek dan Mitranya. Hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua pihak nyaris tidak tersentuh 

Regulasi yang tidak matang mengakibatkan menguatnya kerentanan "mitra" gojek. Kondisi tersebut mencerminkan realitas sebagaimana yang diungkapkan oleh ILO bahwa pekerja rentan  mesti bekerja dalam kondisi yang pilu dengan kualitas pekerjaan yang buruk, tidak produktif, dn pendapatan rendah yang tidak diakui dan dilindungi hukum, absennya hak-hak saat bekerja, tidak memadainya perlindungan sosial dan kurangnya perwakilan dan hak bersuara khususnya di level paling bawah.

Akumulasi kapital kolektif yang dihasilkan oleh mitra pengemudi ojek daring terpusat pada pemilik modal dan pemilik perusahaan. Ilusi distribusi ekonomi yang merata dan jaminan sejahtera yang akan didapatkan oleh mitra ojek daring justru tidak terwujud ditengah rasio permintaan dan penawaran yang tidak proporsional.

Pusat Kajian Komunikasi Universitas Indonesia (Puskakom UI) di bulan mei 2017 menemukan kalau penghasilan rata-rata ojek daring berada di kisaran 1,9 juta rupiah, jauh dibawah UMR DKI Jakarta yang mencapai tiga juta rupiah.

Ketimpangan tersebut sejalan dengan pandangan Bernstein, yang menganggap pekerjaan yang tidak stabil dari segi upah maupun keamanan kerja menjadi trend ekonomi kontemporer.

Untuk menguatkan dugaan tersebut, saya melakukan wawancara sederhana dengan beberapa pengemudi ojek daring di beberapa kota diantaranya Malang dan Jakarta.

Melalui Wawancara singkat dengen pengemudi, saya menemukan fakta-fakta pahit yang harus dihadapi oleh mitra ojek daring. Jam kerja yang tidak terbatas, hak-hak yang tidak terpenuhi, ancaman pemutusan kerja sepihak, dan sebagainya.

Belum lagi risiko yang harus dihadapi pengemudi ojek daring seperti kecelakaan, konflik dengan penyedia jasa transportasi konvensional, dan legalitas yang belum jelas. Kerentanan tersebut mendorong lahirnya kelas precariat pada kelompok pengemudi ojek daring. 

Pengemudi ojek daring merupakan potret precariat yang ada di kota-kota besar. Mike davis dalam bukunya The Planet of Slums menduga bahwa kondisi semacam ini lahir akibat miliaran orang di dunia berjubel memadati kota-kota megapolitan negeri negeri pinggiran seperti Mexico CitySao Paolo, Mumbai, Jakarta, Buenos Aires, Manila, Lagos dan Istanbul, hidup dalam rumah-rumah semi permanen, tanpa akses air dan sanitasi memadai serta ketidakpastian hak tempat tinggal yang terus mengintai kedamaian keluarga mereka. Surplus populasi relatif menumpuk khususnya terkonsentrasi di kota-kota besar.

Marx berargumentasi bahwa akumulasi kapital mesti berurusan dengan persoalan hambatan alamiah dalam bentuk populasi pekerja yang bisa dieksploitasi. Ekspansi kapital mustahil tanpa diiringi meningkatnya jumlah pekerja yang siap untuk diserap dalam akumulasi kapital.

Dalam perspektif ini, kapital tidak bisa menggantungkan dirinya pada pertumbuhan penduduk alami untuk menghasilkan populasi pekerja yang dibutuhkan akumulasi.

Kerentanan yang dihadapi oleh pengemudi ojek daring tidak linier dengan peningkatan mitra baru. Meskipun berbagai jaminan dan hak-hak ketenagagakerjaan diabaikan, dalam kondisi surprus populasi relatif yang tinggi perusahaan memiliki posisi tawar yang sulit diimbangi bahkan oleh serikat sekalipun. Surplus populasi relatif menyediakan fungsi upah, berlimpahnya surplus relatif punya peran menekan permintaan kenaikan upah dari pekerja aktif. Tuntutan kenaikan upah pekerja aktif dapat diabaikan sepanjang masih banyak barisan pekerja yang tersedia untuk menggantikan pekerja aktif yang tidak mudah diatur.

Semakin besar proporsi surplus populasi relatif dibanding pekerja aktif, maka semakin rendah upah yang diterima pekerja aktif yang berimplikasi pada pemotongan ongkos produksi dan kian optimumnya profit yang diperoleh kapital.

Argumen tersebut sangatlah relevan, dalam beberapa kasus tertentu surplus populasi relatif terbukti dari kekhawatiran pemutusan hubungan kerja yang dialami oleh pengemudi ojek daring bersamaan dengan maraknya penjualan akun aplikasi ojek daring yang memiliki angka permintaan relatif tinggi. Fenomena tersebut menguatkan argumen penulis bahwa pengemudi ojek daring merupakan bagian dari kelas precariat dengan gambaran kerentanan yang telah disebutkan sebelumnya.

Kesan pengemudi ojek daring sebagai bagian dari kelas precariat dihilangkan dengan predikat mitra pada pekerja-pekerja lepas tersebut. Fleksibilitas pengemudi yang tinggi diimbangi dengan penyebutan yang menempatkan pengemudi sebagai mitra "setara" seakan memunculkan kesan bahwa mitra dapat mendapatkan keuntungan sama besarnya dengan perusahaan, atau paling tidak memunculkan harapan pendapatan yang barangkali berada diatas UMR.

Akan tetapi realitas di lapangan kontradiktif dengan tujuan tersebut. Pengemudi justru di eksploitasi dengan mendorong mereka menciptakan surplus value yang relatif besar dengan tingkat kerentanan kerja yang tinggi. 

Selain itu terdapat pula fenomena kerentanan aplikasi penyedia jasa yang seringkali dimanipulasi oleh "mitra". Manipulasi tersebut semakin menempatkan pengemudi dalam posisi yang termarjinalkan.

Order-order fiktif yang seringkali terjadi di lapangan menyulitkan pengemudi yang memang menggantungkan hidupnya pada sektor informal tersebut karena mata pencaharian mereka yang terganggu. Perusahaan dengan akumulasi kapital yang masif tidak menempatkan keamanan aplikasi sebagai prioritas, terlebih keamanan pengemudi yang seringkali diabaikan.

Untuk itu pantas rasanya menyematkan kelas precariat pada pengemudi ojek daring yang semakin terpinggirkan.

Referensi :

1. Guy Standing,The Precariat and Class Struggle, RCCS Annual Review [Online], 7 | 2015, Online since
01 October 2015, connection on 30 April 2019. URL : http://journals.openedition.org/rccsar/585 ; DOI :
10.4000/rccsar.585

2. Karl Marx, Capital Vol.1: A Critique of Political economy (Harmondsworth: Penguin Books Ltd, 1976).

3. Kumparan, 250.000 Driver Go-jek kini Kuasai Jalanan Indonesia, https://kumparan.com/@kumparannews/250-000-driver-go-jek-kini-kuasai-jalanan-indonesia

4. Tempo, Driver Gojek 1 Juta Lebih, Berapa yang dilindungi Asuransi?, https://bisnis.tempo.co/read/1140188/driver-gojek-1-juta-lebih-berapa-yang-dilindungi-asuransi/full&view=ok

5. Tribunnews, Permenhub Nomor 108 Tahun 2017: Berpihak pada Pengguna dan Penyedia Jasa Transportasi, http://www.tribunnews.com/nasional/2017/11/03/permenhub-nomor-108-tahun-2017-berpihak-pada-pengguna-dan-penyedia-jasa-transportasi

6. ILO, Decent Jobs and Informal Economy, Report VI Submitted To The 90th Session of International Labor Conference (Jenewa:ILO, 2002

7. Youth Proactive, Penghasilan Rata-rata Ojek Online Cuma Rp 1.9 Juta Sebulan, Data Terbaru, http://youthproactive.com/201803/perspektif/penghasilan-rata-rata-ojek-online-data-terbaru/

8. Mike Davis, The Planet of Slums (London: Versobooks, 2006)

9. Muhtar Habibi, Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran: Relasi Kelas, Akumulasi, dan Proletariat Informal di Indonesia sejak 1980an (Serpong: Marjin Kiri, 2016)

10. Kumparan, GOJEK Gandeng Polda Metro Jaya Basmi Sindikat Pelaku Order Fiktif (Kumparan: 14 Februari 2019) https://kumparan.com/@kumparantech/gojek-gandeng-polda-metro-jaya-basmi-sindikat-pelaku-order-fiktif-1550114134768330629

11. Pengemudi Ojek Daring yang bersedia diwawancarai 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun