Mohon tunggu...
Tanno Kamila Helaw
Tanno Kamila Helaw Mohon Tunggu... -

Seseorang dengan latar belakang teknik dan komputer, yang terjebak menjadi tertarik dengan dunia sosiologi, antropologi, psikologi, politik, humanisme, dan etnisitas

Selanjutnya

Tutup

Catatan

11 Juni

24 November 2014   22:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:57 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

04.30 Wib

“Abah...”

Cubitan kecil membuyarkan kantuk saya seketika. Dengan kepala masih berputar karena tidur yang tak sempurna, saya paksakan kelopak mata untuk bercerai, membiarkan kornea menemukan cahaya. Disamping, saya lihat isteri sedang meringis sambil memerhatikan perutnya yang buncit.

Pagi itu, Embun masih bergelayut manja di dedaunan pohon singkong yang berbaris teratur di samping rumah kami. Tonih, lelaki kurus berkaca mata tebal yang menjabat sebagai ketua RT di lingkungan kami,  memanfaatkan waktu luangnya menyulap semak yang mengerikan menjadi kebun singkong yang sejuk. Tidak hanya menyejukkan mata, para tetangga pun kerap memetik helai daunnya sekedar untuk lalapan ataupun dibuat gulai daun singkong. Menurut ibu mertua, daun singkong yang enak dimasak adalah lima helai teratas setelap kuncup. Isteri saya, yang adalah anak mertua saya juga bermazhab seperti itu. Tidak demikian dengan saya. mamah mengajarkan jangan suka melakukan perbuatan yang mubazir. Menyia-nyiakan daun singkong helai ke enam hingga delapan, buat beliau adalah perbuatan mubazir.

“rebus aja agak lamaan, nanti juga enak, empuk” sahut saya, apabila isteri ngedumel jika saya memasukkan helai ke enam hingga ke delapan untuk direbus menjadi lalapan, teman sambal ulek.

Barangkali tidak banyak yang tahu bahwa ketika masih berupa semak, lahan 1.300 meter persegi ini menjadi sarang dari berbagai jenis ular. Tidak jarang ular-ular itu tersesat ke rumah penduduk yang berdekatan dengan lokasi semak, salah satunya rumah kami. Sekitar enam bulan yang lalu, seekor kobra yang cukup besar sempat menghantui kami sebelum akhirnya berhasil  saya bunuh di kamar mandi. Selesai membunuh ular itu, saya terus berdoa, mudah-mudahan itu adalah ular terakhir yang masuk ke rumah kami.

“Abah...”

Ucapan manja itu kembali kudengar. Agaknya isteri saya hanya ingin memastikan suaminya tidak terpejam lagi. Sekedar menemaninya mengenalkan doa-doa bagi calon penghuni baru rumah kami.

05.30 Wib

Kolaborasi antara suara tokek kesepian yang bersarang di dapur kami dengan hentakan dangdut dari tetangga belakang rumah seolah menjadi penanda akan sesuatu yang besar yang akan terjadi. Menurut ibu mertua, jika sebuah rumah dihuni oleh tokek, apalagi sering berbunyi, maka penghuni rumah itu biasanya akan adem tentrem. Seperti biasa, seperti pagi-pagi sebelumnya, hentakan musik selalu beradu kencang dengan tausiah “mamah dedeh” di layar 21 inci di rumah kami. Tetapi, tidak seperti pagi-pagi sebelumnya, pagi ini ada yang tidak biasa di rumah kami. Sejak tengah malam, isteri saya mengatakan perutnya sering kontraksi, praktis dia tidak bisa memejamkan mata karenanya. Maklum, sedang hamil tua.

Seminggu yang lalu, Dokter Satria, dokter yang sebelumnya juga telah melakukan cesar sebagai pintu dunia bagi dua anak kami,  sudah menentukan kapan cesar akan dilakukan untuk anak ketiga kami kali ini.

“OK yaa..jadinya tanggal 19 nih?”

“Gak pengen lebih cepat lagi?”, sambungnya.

“Emang kelamaan yaa dok, kalo tanggal 19”, ujar saya dibarengi dengan anggukan isteri.

“Gak sih, menurut hitungan, tanggal segitu juga udah dimajuin dua minggu, gak masalah kok”

Seperti dua anak kami sebelumnya, saya memercayakan pemeriksaan anak ketiga kami juga pada dokter yang sama, dokter Satria Alam Pohan. Menurut pengalaman saya selama ini, berbagi pengalaman sesama pasien, juga pengakuan beberapa dokter profesional, dokter ini adalah salah satu dokter SpOG terbaik di Jakarta. Tidak heran jika beliau praktik sore di RSUD, pasien bisa antri hingga jam 10 malam, padahal praktik sudah dibuka sejak sore. Dokter ini juga ramah, tidak pelit bicara, dan tidak terganggu dengan anak-anak saya yang suka eksplorasi.

“Gak papa, mereka gak perlu terlalu banyak dilarang”, begitu selalu ujarnya ketika saya mengingatkan anak-anak agar duduk manis dan meletakkan kembali benda yang dipegangnya.

Karena percaya semua akan indah pada waktunya, maka saya sama sekali tidak memiliki prasangka apapun terhadap keluhan isteri saya atas perut buncitnya. Dengan memeluk dan mencium keningnya, saya berangkat ke tempat kerja.

10.30 Wib

Suara tangisan anak pertama saya membuyarkan konsentrasi terhadap apa yang terlihat di monitor CRT 14 Inch dihadapan saya. Ringtone Siemens C55 milik saya. Dilayar tertera nama penelepon, “My Honey”.

“Bah, ade ke rumah sakit yaa?, perutnya sakit sekali”, suara bergetar itu membuat saya mendadak tegang.

“Eeeee.....tunggu dulu.....nanti anak-anak sama siapa? Kamu nanti naik taksi sama siapa?”

“Insya Allah bisa, ade telepon taksiku, anak-anak ikut, nanti disana panggil ibu atau mpok iyem buat jagain anak-anak”

“Gak...gak....kamu tunggu sebentar yaa.....abah pulang sekarang”.

Gegas saya merapikan perlengkapan, ijin kepada atasan, langsung menuju stasiun. Sepanjang perjalanan saya berusaha tidak tegang, tetapi percuma. Wajah saya tidak bisa melakukan pencitraan dengan baik. Entah mengapa, keringat tiba-tiba datang berbondong-bondong. Mungkin karena saya sedikit berlari, atau karena perasaan saya yang gegas berlari menuju rumah. Kami tinggal diwilayah Cilodong, masih kampung, masih banyak jangkrik, kodok, undur-undur, cacing, ayam kampung, bebek, mentok, tupai, kelelawar, hingga ular. Masih banyak beragam binatang yang sudah punah di Jakarta, masih bisa ditemukan disini. Itulah barangkali sebabnya, mengapa para keponakan saya senang main kerumah kami. Semacam sekolah alam gratis.

Rumah sakit yang menjadi andalan kami sejak pertama berumahtangga adalah RSUD Pasar Rebo. Pilihannya karena rumah sakit itu dekat dengan tempat tinggal keluarga dari pihak isteri saya. Selain itu, tentu karena murah tetapi profesional. Saya belum pernah menemukan rumah sakit pemerintah yang lebih profesional dari rumah sakit ini. Mungkin karena beberapa waktu yang lalu rumah sakit ini pernah dikelola secara profesional oleh swasta, tetapi belakangan diambil-alih kembali oleh pemerintah.

12.15 Wib

Ketika saya membuka pintu rumah, saya melihat wajah anak empat tahun dan dua tahun yang terlihat bingung. Di sampingnya tergolek isteri saya, matanya mengalir air mata. Bukan menangis, tetapi menahan sakit. Saya segera menyiapkan perlengkapan yang diperlukan, memasukannya ke dalam tas. Taksiku sudah menunggu di luar. Perlahan saya papah isteri menuju taksiku. Kami berangkat.

Sepanjang perjalanan adalah sepanjang kecemasan, auranya memenuhi ruangan dalam mobil, membuat hangat suhu 22 derajat celcius yang keluar dari penyejuk udara. Anak pertama saya duduk di depan, wajahnya bingung memerhatikan supir taksi yang lebih panik dari saya. Muka pak supir pias, keringatnya berkali-kali diusap. Air mineral berkali-kali ditenggaknya, mencoba mengusir tegang. Duduknya tidak lagi menyender, supir itu menegakkan tubuhnya persis didepan kemudi. Matanya tak henti menatap spion dalam untuk memastikan tidak terjadi sesuatu pada  penumpang dibelakangnya.

Saya duduk disamping isteri. Menyediakan lengan saya untuk diremas dan dicabiknya. Biarlah terluka, asalkan luka itu bisa mendamaikan isteri dan anak di dalam perutnya. Tetapi, faktanya tidaklah demikian. Guratan di lengan itu sama sekali bukan apa-apa jika dibandingkan apa yang sedang dirasakan isteri saya. Bahkan seujung kuku pun tidak. Saya menyaksikan bagaimana perut itu bergolak, kanan, kiri, berputar. Agaknya manusia di dalamnya ingin menentukan jalannya sendiri. Dia tidak mau terlalu diatur mengenai kapan dia harus hadir didunia. Dia tak mau terlalu diatur bagaimana jalan hidupnya. Dia akan memilih jalannya sendiri, jalan yang sudah tertulis di Lauh Mahfuz. Jalan yang diridhoi oleh Tuhannya, semoga.

14.10 Wib

Tiba digerbang rumah sakit, saya langsung arahkan supir menuju ruang UGD. Di ruang UGD, ternyata sudah menunggu ibu mertua dan kakak ipar saya. Anak-anak saya serahkan ke mereka, dan saya gegas lapor ke pihak UGD untuk menyiapkan tempat.

Di ruang UGD, kesakitan isteri saya sama sekali belum berkurang, malah kian bertambah. Saya katakan bahwa kami adalah pasien dokter satria, dan mestinya jadwal cesar tanggal 19 Juni nanti. Saya mengharapkan yang akan menangani adalah dokter satria juga.

“Maaf pak, dokter satrianya sudah pulang jam 12 tadi, sekarang yang kosong ada dokter Budi, dokter jaga”

Mendengar hal itu saya mendadak makin tegang, tapi saya tetap berusaha setenang mungkin. Tidak lama kemudian isteri saya langsung dipindahkan ke ruang persalinan. Di ruangan itu terdapat tiga orang perawat, salah satunya kami kenal. Maklum, rumah sakit ini langganan kami. Salah seorang perawat menghampiri saya.

“Pak, sepertinya ini gak bisa dicecar pak, karena saya periksa tadi sudah pembukaan delapan. Kalo Cesar persiapannya aja butuh sekitar dua jam, gak keburu nanti pak. Tapi nanti gak tahu deh, tergantung dokternya”.

Mendengar penuturan perawat itu saya hanya membatin, “lha terus kalo gak cesar gimana? Dasar perawat sok tahu”. Pengetahuan yang saya peroleh selama ini memberi pemahaman pada saya bahwa anak saya tidak mungkin lahir dengan cara normal karena beberapa hal. Pertama, anak pertama saya lahir dengan cara cesar, dan baru setahun lebih beberapa bulan isteri saya sudah hamil lagi. Kedua, anak kedua saya juga lahir dengan cesar. Sama dengan abangnya, baru setahun lebih beberapa bulan, isteri saya kembali hamil. Menurut ilmu kedokteran, perempuan yang melahirkan cesar masih memungkinkan untuk bisa melahirkan normal, dengan catatan jarak kehamilannya sekitar lima tahun. Hal itu untuk memastikan bahwa rahimnya sudah kuat - akibat robekan saat cesar - untuk mengejan pada saat melahirkan. Untuk kasus isteri saya, secara kedokteran mana mungkin isteri saya bisa (baca: boleh) melahirkan dengan cara normal?.

Sesosok berperawakan kecil, kurus, dengan wajah yang tenang hadir diruangan. Rupanya dialah dokter jaga itu, namanya Budi. Terus terang, saya hapal banyak dokter SpOG di rumah sakit ini, tapi melihat dokter ini, saya sangat asing. Dokter Budi meminta isteri saya berbaring untuk diperiksa. Baru saja dibaringkan dan mengangkat kedua kakinya, mendadak menyembur cairan bening dan lengket, tepat menguyupi seluruh tubuh dan wajah perawat yang berdiri persis di depannya. Saya kaget, apa itu?. rupanya ketuban sudah pecah. Baru kali ini saya menyaksikan ketuban menyembur sedemikian rupa, persis iklan pompa air merek ternama. Saya pun bertambah panik.

“Pak, ini kondisinya gak mungkin di cesar, sebaiknya kita coba normal dulu yaa?”, ujar dokter budi masih dengan wajah tenangnya.

Saat itu sebenarnya saya marah sekali, terutama karena dokter itu menggunakan kata “COBA” untuk menangani isteri saya. Dalam scene yang tidak terjadi, saya marah hingga memaki-maki dan mendorong tubuh sang dokter sambil berkata,

“Loe kira isteri dan anak gue apaan hah? Barang percobaan? Hah!!!”.

Untung saja, scene itu memang tidak pernah terjadi. Tapi serius, scene itu sempat ada di kepala saya, bahkan masih saya ingat hingga hari ini. Scene itu mungkin tidak terjadi karena marah saya saat itu juga dicampur dengan bingung dan kalut. Ditambah lagi, saya terpesona oleh ketenangan sang dokter yang super duper cool. Padahal, isteri saya sudah bicara ngaco gak keru-keruan, mirip seorang pahlawan yang hendak menuju medan juang untuk mati. Pantas saja, agama yang saya yakini menghadiahkan syahid bagi perempuan yang gugur karena melahirkan. Karena itu, sejatinya setiap perempuan adalah pahlawan. Pahlawan kehidupan.

15.15 Wib

Isteri saya terus mengejan. Mencoba mengeluarkan anak manusia dari rahimnya. Saya sempat melihatnya. Melihat kepala anak saya itu. saya upayakan yang memang bisa saya upayakan. Lagi-lagi yang bisa saya sediakan hanyalah tubuh saya untuk dicengkeram sepuas-puasnya. Barangkali dengan cara itu tenaga saya tersalurkan ke isteri saya. Saya harap begitu. Dokter dan perawat juga hanya bisa sebatas menjadi “cheer leaders” di pertandingan basket. Hanya sebatas memberi semangat. Setelah beberapa lama, hasilnya kurang maksimal. Isteri saya lelah. Dokter memutuskan untuk melakukan proses vakum. Mendengar hal itu, isteri saya menolak. Cara menolaknya dengan mengatakan, “Sebentar dok, saya coba lagi”. Isteri saya kembali mengejan, dan kembali gagal.

Kami khawatir dengan proses vakum, utamanya isteri saya. Dia mengatakan bahwa terdapat kasus anak yang lemah otaknya karena terlalu lama di vakum. Selain itu, dia juga khawatir kepala anak kami nanti agak penjol. Melihat kondisinya yang kian melemah, saya menguatkan isteri saya untuk mau melakukan proses vakum.

“Insya Allah gak apa-apa”.

Akhirnya proses vakum dilakukan. Alhamdulillah, prosesnya singkat sekali, hanya dalam hitungan detik, si bayi sudah keluar, putih sekali. Rupanya si bayi memang sudah di pintu. Jika saja isteri saya tidak kelelahan, mungkin proses vakum tidak perlu dilakukan.

Saat sibayi dikenalkan puting susu ibunya, tali pusat masih menempel. Proses-proses itu sempat saya dokumentasikan. Tak lama kemudian, saya pun disuruh keluar oleh dokter dan para perawat.

“Bapak tunggu di luar dulu yaa, ibu dan bayinya mau dirapikan”.

Azan ashar terdengar. Saya pun keluar, menemui anak sulung saya, ibu mertua, dan kakak ipar.

“Abang adiknya laki-laki, seperti keinginan abang, nanti ajak main bola yaa?” ujar saya kepada anak sulung saya. Anak sulung saya hanya senyum-senyum saja, entah dia paham atau tidak.

Tidak lama kemudian, perawat datang sambil menggendong seorang bayi dan menyerahkannya kepada saya. Bayi itu tertidur, putih, wajahnya tenang sekali.

Epilog

Pada pemeriksaan kandungan terakhir, dokter menyatakan bahwa nanti ketika cesar, isteri saya harus disteril, diikat saluran sel telurnya. Dokter menyatakan bahwa rahim isteri saya sebelah kiri lemah, ditambah nanti sudah dirobek tiga kali, jadi jika melahirkan lagi akan rentan bagi ibunya. Saya pun saat itu pasrah, baik dari segi mental, juga materil. Karena, saya harus menyiapkan biaya cesar+steril+perawatan. Saya membayangkannya saja sudah ikhlas hehehe. Ikhlas itu mudah ternyata, saya tinggal menyerahkan semuanya pada Tuhan, selesai.

Tuhan berkehendak lain, dia sangat tahu kemampuan hambanya. Bayangan harus menyediakan biaya yang cukup besar dijawab Tuhan dengan caraNYA. Bahkan, uang muka yang sudah saya setorkan dikembalikan lebih dari separuhnya. Subahanallah. Alhamdulillah. Karena rasa syukur yang tidak terkira, saat aqiqah anak ini, saya memotong tiga ekor kambing.

Hari inni, ashar tadi, bayi itu genap 5 tahun. Alhamdulillah bayi itu tumbuh sehat, cerdas, dan berkeinginan kuat. Momen lima tahun lalu itu tidak pernah bisa saya lupakan. Karena itulah, bayi itu saya beri nama FABIAN. Nama itu saya ringkas dari salah satu ayat yang diulang-ulang dalam surat Ar Rahman. Artinya, nikmat Tuhanmu yang mana lagi yang engkau dustakan.

Kado Abah Buat Fabian

11 Juni 2014

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun